Saturday, November 21, 2009

Jurnalisme Iptek: Astronomi dalam Ranah Budaya

-- Bambang Hidayat*

RANGKAIAN berita penting dan peka dalam dunia keilmuan sering memperoleh tempat di halaman depan media cetak atau di ruang-waktu kritik dalam media elektronik. Contoh terakhir dari sederetan pemberitaan seperti itu adalah serangan influenza A, ” flu babi” yang berawal dari Meksiko menyebar ganas ke seluruh dunia terbawa virus H1N1.

Pewartaan H1N1 cepat melebar luas menjadi milik masyarakat khas dan awam berkat kerja sama ilmuwan di belakang meja laboratoriumnya dengan juru warta berpandangan ilmiah yang menyerap informasi rumit menjadi berita terurai. Sungguh sebuah pencerahan bagi awam. Berita itu menjadi kekayaan intelektual publik yang mendambakan.

Tidak hanya kelahiran pewartaan, tetapi bersamaan dengan itu juga lahir kelas baru komunikasi, yakni jurnalisme ilmiah. Juru warta kelas baru ini dalam dunia-berubah-cepat diharapkan menerobos tembok pembatas laboratorium menghubungkan dengan dunia pemanfaatan.

Bukan hanya pemanfaatan yang teraba kaidah ekonomi, tetapi lebih penting lagi, mendorong dan menyajikan inspirasi dalam alam pikir kebudayaan. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan adalah ranah budaya. Merekalah yang akan membangun masyarakat beralas pengetahuan dan menjauhkan masyarakat dari segala serba takhayul dan kepercayaan buta.

”Ensiklopedi Astronomi”

Dalam hubungan ini, penulis tertarik pada Ensiklopedi Astronomi oleh Rohmat Haryadi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009. Haryadi adalah seorang wartawan. Kenapa wartawan menulis ensiklopedia astronomi. Jawabannya: kenapa tidak? Tidak ada salahnya karena nyatanya astronomi dan obyeknya adalah ilmu yang ramah, selain mudah di nikmati, juga menimbulkan rasa padu dengan alam yang indah. Prof Franz Magnis Suseno dalam ceramahnya di ITB (2003) menyatakan bahwa pembelajaran astronomi, selain mempertinggi latihan olah pikir ilmiah (kaidah utilitarian), juga mendekatkan pencintanya kepada alam dan Penciptanya.

Rohmat Haryadi, penulis buku itu, adalah wartawan yang berlatar belakang pendidikan nirastronomi. Sejak lama keinginan dalam diri saya untuk membuat astronomi lebih memasyarakat, mengajak publik menjadi lebih berselera menguak rahasia alam.

Dia mampu mengeja, memilah secara tematik, dan mengungkap kembali penemuan astronomi dalam susunan kalimat runut, gamblang, dan menyajikannya dengan kadar pedagogik melalui bahasa Indonesia benar dan anggun. Sesuai dengan kaidah penyebaran keilmuan, penulis tak terperosok menghadirkan sensasi yang menimbulkan kemelut. Dia tak menyinggung tahun 2012—kini jadi waktu yang menakutkan karena konsep astronomi disalahartikan.

Pendekatan multidisipliner dalam ilmu pengetahuan dewasa ini merupakan tindak penting untuk mengetahui lingkungan kita, dari yang terdekat sampai kepada skala alam semesta. Dia juga mengajak menjenguk lembah terdalam suatu pengertian dan pemaknaan, mengajak mampir ke pelosok dingin, gelap materi antarbintang tempat pembangkitan bintang baru.

Disajikan untuk pembaca dari berbagai lapisan umur dan strata intelegensia sehingga buku ini dapat dengan mudah disimak.

Seperti diharapkan dalam pendidikan ilmiah modern ensiklopedia ini bukan glosarium klasik (penuh definisi teknis) dan tidak membuat orang berpikir ensiklopedik karena alur pikir yang mengalir, menumbuhkan kegembiraan menemui makna baru, bak seorang anak kecil temukan kerang indah di pantai.

Sebagai sumbangan ilmiah ensiklopedia ini merangkum tiga pilin dasar logika. Yang pertama ialah keterbatasan ilmu pengetahuan sebagai sebuah disiplin budaya yang mengandalkan pengamatan, penemuan, pengukuhan logika, dan ketekunan merangkum teori dasar. Pilin kedua adalah dunia tampak yang harus dapat dieja dengan seperangkat pengetahuan dasar. Ini diperlihatkan dengan baik umpama dalam bab mengenai ”Debat besar” (tahun 1920-an) yang membicarakan hakikat galaksi kita, Bimasakti. Pilin ketiga mengetengahkan kesinambungan dalam keubahan. Artinya, teori dan interpretasi lama bisa berubah karena penemuan baru yang sahih setelah melalui tes taat-asas. Bab mengenai penemuan planet di luar tata surya kita merupakan contoh yang baik dan unik untuk membicarakan kehidupan dalam semesta.

Untuk menutup tulisan ini, perkenankan saya mengutip diktum profetik Henri Poincare, matematikawan bangsa Perancis, pada tahun 1903—lebih dari 100 tahun yang lalu—tentang astronomi sebagai budaya: ”Astronomy is useful because it raises us above ourselves; it is useful because it is grand; it shows us how small is man’s body, how great his mind. His intellegence can embrace the whole of this dazzling immensity in which his body is only an obscure point, and enjoys its silent harmony...”.

Astronomi berguna karena mengajarkan hal indah di luar kita dan intelegensi dapat menimangnya.

Di banyak negeri penulis ilmiah menampakkan diri sebagai pemegang peran penting untuk mendorong majunya olah pikir keilmiahan masyarakat. Yang perlu dijaga adalah kerja sama timbal balik antara penulis ilmiah dengan ilmuwan agar dapat menyajikan wawasannya secermat mungkin.

* Bambang HIdayat, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber: Kompas, Sabtu, 21 November 2009

No comments: