-- Tommy Awuy*
TEORI evolusi, sejak terbitnya buku Charles Darwin, On the Origin of Species, 24 November 1859, hingga sekarang menunjukkan perkembangan yang demikian meyakinkan, bukan saja bagi ilmu Biologi itu sendiri, tetapi juga merambah ke berbagai disiplin lain, terutama sejak terbitnya buku Richard Dawkins, The Selfish Gene, 1976, yang melengkapi kekurangan penjelasan Darwin tentang seleksi alamiah, yakni konsep meme (baca mem). Pesona teori evolusi masa kini terletak pada akurasinya menjelaskan fenomena global dari berbagai disiplin, seperti periklanan, seni rupa kontemporer, terorisme, teknologi komputer, dan media massa. Kecenderungan para ahli Biologi masa kini memang gemar berbicara tentang kebudayaan.
Demikian pemikiran yang mencuat dari diskusi ”Menyambut 150 Tahun Teori Evolusi”, 24 November di Philo Art Space, Kemang, berdasarkan makalah berjudul Evolusi Teori Evolusi yang disampaikan Eko Wijayanto, dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok.
Munculnya teori evolusi memang sangat kontroversial sekalipun sebenarnya Darwin belum begitu meyakinkan menjelaskan maksud dari seleksi alamiah berdasarkan kerja gen. Konsep evolusi itu sendiri muncul berdasarkan kerja gen (replikasi) menuju kondisi kesempurnaan, tetapi tidak menjawab bagaimana replikasi itu memproses otak manusia yang menjadikannya spesies tertinggi atau sebagai makhluk yang berbudaya. Adapun kebudayaan tak semata merupakan hasil kreasi pikiran demi progresivitas, tetapi juga sebuah daya untuk mempertahankan apa yang dianggap terbaik di masa lalu (repetitif). Apakah kreasi budaya zaman dahulu kala, seperti arsitektur, lukisan di goa-goa, patung, dan mitologi, adalah rendah dibandingkan kreasi budaya zaman sekarang dan akan datang?
Richard Dawkins kemudian menjawab kekurangan teori evolusi tentang replikasi gen ini dengan penemuannya bahwa sesungguhnya evolusi terjadi bukan disebabkan hanya satu replikator gen, tetapi ada replikator lain, yakni meme. Replikator gen bekerja secara imanen, sekalipun memperbanyak diri tetapi tetap mempertahankan identitasnya sebagai rangkaian DNA, sementara mem adalah replikator memproses kerja otak yang bergerak secara sangat fleksibel, bisa melompat lepas, ke masa lalu, ke masa depan, atau bertahan pada masa kini.
Manusia sebagai pencapaian akhir dari evolusi tampak menjadi unik karena memiliki mem, kemampuan atau daya otak untuk meniru (mimesis). Peniruan ini tentu saja dilakukan mem atas mem yang dianggap tertinggi atau terkuat tanpa batasan waktu dan tempat demi survive lalu pada gilirannya mem ini melompat ke otak-otak lainnya sebagai virus pikiran. Maka, mem membutuhkan wadah kolektif (institusi) sebagai efek dari daya tularannya agar bisa menyangga atau menopang caranya bertahan dan mungkin saja hal itu pada saat-saat tertentu terjadi bersamaan dengan proses replikatif gen. Demikianlah sebuah kebudayaan terbentuk tanpa harus terhalang oleh semata-mata keinginan gen pada kesempurnaan progresif.
Menariknya, hubungan gen dan mem bersifat kompleks. Di satu pihak mereka sama-sama replikator yang memungkinkan terjadinya evolusi, tetapi di lain pihak keduanya bisa berseberangan, bahkan bisa mengatasi satu atas lainnya. Pilihan seseorang untuk hidup selibat, tanpa bereplikasi sama sekali, adalah dorongan kuat dari mem mengalahkan keinginan gen untuk bisa dan terus bereplikasi. Mengapa demikian? Jika memang pilihan selibat adalah pilihan wajib atau perintah tak bersyarat dari sebuah norma yang dianggap tertinggi, replikasi gen harus dikorbankan. Penemuan mem oleh Dawkins menjadikan teori evolusi Darwin pun berevolusi, lebih terbuka luas dan mampu menjelaskan bagaimana evolusi itu terjadi tak semata-mata menganggap masa lalu lebih sederhana atau rendah daripada masa depan. Kerja mem bisa memperalat pencapaian yang baik di masa lalu untuk meneruskan replikasinya ke masa depan. Evolusi kebudayaan tak lain adalah penularan replikasi mem, virus pikiran. Bagaimana virus ini bekerja?
Replikasi mem bersifat ekstrem, dikotomistik, radikal, dan provokatif: baik-buruk, benar-salah, mengancam-merayu, surga dan neraka. Dan memang sifat seperti inilah yang mampu menarik perhatian sehingga akan mudah mem bereplikasi di otak-otak lainnya.
Replikasi mem sekarang ini terlihat mencolok pada dunia periklanan dan media massa, yang bahkan sampai agama pun memanfaatkan kedua unsur tersebut untuk bisa bertahan.
* Tommy Awuy, Pengajar Filsafat di Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Minggu, 29 November 2009
No comments:
Post a Comment