-- Franki Raden*
ITULAH kesan yang saya dapatkan setelah menonton grup dari UK dan USA yang bernama The Ting Tings dan Musiq Soulchild di International SoulNation Festival, yang diselenggarakan oleh Java Festival Production di Istora Senayan tanggal 30 & 31 Oktober lalu. Katakanlah, jenis musik ini berkembang pesat setelah membakukan formatnya dalam sebuah formasi band yang terdiri dari gitar, bas gitar, drum, keyboard, dan seorang penyanyi sekitar lima dekade yang lalu.
Berangkat dari tradisi sebuah musik klasik Eropa yang biasa menggunakan berpuluh-puluh alat musik dalam bentuk orkestra, tantangan dunia musik populer (semua genre) adalah bagaimana membuat bahasa musik tersebut menjadi langgeng, laku, akan tetapi terus-menerus inovatif hanya dengan menggunakan segelintir alat musik dan (seorang) penyanyi. Hal inilah yang luput dari pemikiran para kritikus budaya massa, seperti Theodor W. Adorno. Entah kenapa, umumnya hanya para pemusik dari UK dan Amerika yang berhasil menunjukkan kreativitas mereka yang luar biasa dalam jenis musik ini.
Pada tahun-tahun 60-an, para pemusik dari UK, seperti Gentle Giant, mampu membuat musik rock (sebuah genre musik populer) menjadi sedemikian kreatifnya. Mereka membuktikan bahwa rock hanyalah sebuah jenis musik yang lain dari musik klasik atau kontemporer dan bukan sesuatu yang dapat dianggap sepele. Unsur pemikiran musikal yang dapat dituangkan ke dalam jenis musik ini tidak kalah bobotnya dengan musik klasik atau kontemporer.
Setelah periode tahun 60-an ini, bermunculan kemungkinan lain untuk membuat jenis musik ini menjadi tetap inovatif, laku, dan langgeng. The Ting Tings yang tampil pada malam pertama International SoulNation Festival berhasil menunjukkan kemungkinan terbaru dalam menggarap ”agenda” musik pop ini. Dari penampilan lagu pertamanya yang dimulai hanya dengan permainan ritme akor pada keyboard, mereka sudah melontarkan tesis yang kuat, yaitu bagaimana menggarap sebuah musik secara sederhana, tetapi penuh dengan gagasan baru.
The Ting Tings hanya beranggotakan dua orang, cowok dan cewek muda, Jules de Martino dan Katie White, yang memainkan alat musik, seperti gitar, bas gitar, drum, keyboard, dan bernyanyi secara bergantian. Grup ini tampil dalam bentuk live-DJ yang banyak menggunakan program aransemen baku di dalam alat sequencer.
Kunci untuk memahami keberhasilan mereka adalah satu, yakni musik dan penampilan mereka memang tampak sederhana, tetapi referensi yang menjadi dasar kreativitas grup ini sangat luas. Di dalam musik mereka, kita dapat merasakan adanya denyut estetika musik punk, techno, Afrika, kontemporer (minimalis), dan sebagainya.
Yang luar biasa dari dua anak muda ini adalah kemampuan mereka dalam meramu semua pengaruh-pengaruh musik tersebut dan menciptakan sebuah bahasa musik pop yang orisinal. Alhasil, gaya musik mereka menjadi sangat luwes, sulit untuk dikategorikan dalam genre dan gaya musik pop tertentu.
Inilah yang membuat penampilan mereka seketika mencuat di dunia musik internasional. Satu hal yang sangat jelas dalam mengamati proses kreativitas mereka adalah kedua anak muda berbakat ini membentuk musik mereka tidak serta merta mengambil model sebuah gaya atau genre musik pop tertentu. Mereka tampak mulai dari sesuatu yang sangat mendasar dalam membuat musik, yaitu mencari kemungkinan membuat suara-suara yang baru dari instrumen yang mereka mainkan. Suara-suara baru ini kemudian mereka gabungkan secara inovatif, sambil tetap menjaga keasliannya.
Oleh karena itu, yang muncul bukan sebuah aransemen lagu yang kompleks, seperti halnya pada grup Gentle Giant, tetapi kesederhanaan yang sangat segar dan memikat imajinasi para pencinta musik. Pendekatan kompositoris yang mendasar seperti ini bukanlah hal yang enteng. Dalam sejarah musik abad ke-20 di Barat hanya para tokoh komponis, seperti Edgar Varese, Pierre Schaffer, dan John Cage, yang berani dan mampu melakukan hal tersebut.
Jika The Ting Tings adalah grup yang sangat orisinal dan inovatif, Musiq Soulchild adalah grup yang berhasil mengembangkan aransemen genre R&B secara maksimal. Titik penekanan garapan mereka adalah pada penyulaman akor-akor lagu yang sangat progresif dan pelebaran spektrum suara dari akor-akor tersebut, terutama di wilayah suara bawah. Untuk itu, grup ini menggunakan dua pemain keyboard.
Dalam konteks spektrum suara akor yang luas ini, pemain drum, gitar, dan bas gitar (semuanya cewek) masing-masing mengambil posisi pendukung yang sangat vital. Alhasil, grup Musiq Soulchild ini mampu bermain dengan satu napas, sesuatu yang jarang terlihat pada grup musik pop lokal kita. Di tingkah aransemen dan permainan yang sangat kokoh ini, Taalib Johnson (satu-satunya cowok), sang vokalis, menulis dan menyanyikan lagu-lagunya dengan sangat melismatik, mengingatkan kita pada tradisi musik vokal Afrika dan masyarakat hitam Amerika yang sangat kuat.
Musik R&B yang keluar dari grup ini terasa merupakan hasil dari pergumulan kreativitas yang sangat panjang dalam konteks estetika dan budaya masyarakat kulit hitam Amerika. Pembaruan mereka ini juga menjadi sangat efektif karena didukung oleh perkembangan teknologi perlengkapan tata suara yang beberapa tahun belakangan ini mampu menyajikan wilayah suara rendah secara maksimal.
Apa yang saya uraikan di atas adalah sebuah fenomena estetik perkembangan serta terbentuknya sebuah gaya musik pop yang baru dan menarik. Di balik itu sebenarnya terdapat fenomena lain yang lebih besar, yaitu bagaimana kita melihat suatu masyarakat menghargai sebuah daya kehidupan yang bernama kreativitas.
Untuk membuat musik yang sederhana seperti grup The Ting Tings, jelas diperlukan sebuah keberanian untuk berekspresi secara tidak konvensional. Keberanian ini hanya ada pada seorang individu pemusik yang memiliki keyakinan besar. Unsur yang paling penting agar seorang pemusik dapat memiliki keyakinan yang besar tidak lain adalah dukungan masyarakat luas terhadap setiap tindakan anggotanya yang kreatif, bukan larangan-larangan yang umumnya banyak terjadi di dalam pagar budaya negara-negara terbelakang yang konservatif.
Dengan kata lain, konservatisme tidak akan pernah membuat suatu masyarakat menjadi kreatif dan produktif dalam semua bidang kehidupan, tidak terkecuali musik.
Hal inilah yang mungkin sulit terjadi di Indonesia. Apalagi dunia musik pop di Indonesia tidak tumbuh secara organik, tetapi mencangkok dari Barat. Para pemusik pop Indonesia selalu mulai membuat musik dengan mengambil sebuah model yang sudah jadi. Alhasil, yang muncul hanyalah tiruan-tiruan dari produk yang datang dari Barat. Oleh sebab itu, manfaat besar dari terselenggaranya festival musik internasional, seperti International SoulNation Festival, Java Rockin’ Land, ataupun JavaJazz, adalah melihat secara langsung di atas panggung bagaimana grup-grup top dari Barat menggarap musik mereka secara organik.
Pernyataan ini tentu saja mengandaikan adanya kemampuan para pemusik lokal kita untuk melihat permasalahan ini dengan jelas. Apabila mereka menangkap grup-grup yang orisinal seperti The Ting Tings atau Musiq Soulchild hanya sebagai sebuah model yang baru untuk kembali dicontek, kreativitas dunia musik pop di Indonesia tidak akan pernah tampak.
Namun, dalam setiap festival musik di sini selalu ada saja satu-dua grup musik lokal yang mencoba membuat sesuatu dengan pendekatan yang menarik. Ini adalah fungsi lain yang sangat bermanfaat dari perhelatan festival musik internasional di negeri sendiri.
Pada International SoulNation Festival kemarin, ada grup hiphop lokal yang menggunakan pengiring sebuah Brassband. Gagasan ini cukup memikat dan berani. Penampilan mereka di panggung Axis (sponsor utama festival) pun sangat menarik. Di samping itu ada lagi grup bernama Sundanese dari Bandung yang mengangkut rombongan kecapi-suling lengkap untuk iringan mereka. Bandung tak pelak lagi adalah kota yang dapat menjadi tumpuan untuk mendorong munculnya kreativitas musik pop lokal. Sementara itu Jakarta dengan festival-festivalnya akan menjalankan fungsinya sebagai arena kontestasi.
* Franki Raden, Etnomusikolog
sumber: Kompas, Minggu, 8 November 2009
No comments:
Post a Comment