Friday, November 27, 2009

Bisakah Indonesia Jadi Negara "Superpower"?

-- Hadianto Wirajuda dan Diaz Hendropriyono*

SECARA geopolitik, Indonesia dikelilingi oleh beberapa negara besar dan kuat. Di bagian utara, terdapat Tiongkok, dengan status ekonomi terbesar ketiga di dunia, dengan pertumbuhan diprediksi melampaui 10% pada akhir tahun ini. Di bagian barat laut, terdapat India, negara nuklir dengan kekuatan militer yang sangat besar dan salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Sedikit di bawah Indonesia ada Australia, middle power, yang dikategorikan oleh IMF sebagai advanced economy. Beberapa kota besar di negara itu mendapat julukan sebagai most liveable cities di dunia. Merujuk pada kapasitas yang kita miliki, apakah masih ada harapan dan optimisme bagi Indonesia untuk dapat menjadi negara adidaya?

Dalam bukunya yang berjudul Indonesia's Foreign Policy Under Suharto, Leo Suryadinata (1996), mengemukakan beberapa faktor yang menguatkan kredibilitas Indonesia di forum internasional. Pertama, secara geografis, Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN. Secara demografis, Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk terbesar di dunia, setelah Tiongkok, India, dan AS. Kedua, Indonesia merupakan emerging economy di Asia dan mendapat sebutan "Macan Asia." Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu sekitar 7% per tahun dan jika bukan karena krisis finansial pada 1997-1999, ekonomi Indonesia mungkin akan jauh lebih baik. Ketiga, kekuatan militer Indonesia merupakan yang terkuat di bagian tenggara (southeast) Asia. Berbagai kapasitas tersebut merupakan regional entitlement bagi Indonesia, sebagaimana diutarakan oleh Michael Leifer, profesor ternama ilmu hubungan internasional.

Era Soeharto telah berlalu. Sekarang, kita berada pada era yang baru. Sebuah era yang menuntut kemakmuran ekonomi dan kebebasan politik berjalan berdampingan; era yang menuntut kepemimpinan yang kuat dan tidak hanya bersandar pada besaran geografis negara; era yang menuntut toleransi terhadap perbedaan pendapat dan keyakinan di masyarakat. Secara geografis dan demografis, negara kita tidak banyak berubah sejak zaman Orde Baru. Indonesia masih merupakan salah satu negara terpadat di dunia dan yang terbesar di ASEAN.

Sekitar 230 juta dari 570 juta penduduk ASEAN tinggal di Indonesia. Secara ekonomi, ketahanan bangsa kita dalam menghadapi krisis finansial, saat ini, menempatkan Indonesia sebagai satu-satunya negara dari Asia Tenggara sebagai peserta forum ekonomi bergengsi dunia, G-20.

Percaya Diri

Dari persepsi politik, Indonesia merupakan pendukung kuat perkembangan politik di ASEAN. Seperti kita ketahui, forum ASEAN selama ini lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dibandingkan perkembangan politik. Ini bukanlah suatu keanehan, bahwa ASEAN, tidak seperti Uni Eropa, berintikan negara-negara dengan sistem politik yang tidak seragam. Ada junta militer hingga demokrasi penuh.

Berkaca dari kenyataan tersebut, tidaklah mudah untuk mempromosikan kebebasan politik dalam konteks ini. Tetapi, perkembangan demokrasi yang sehat, sejak 1999, telah menyuntikkan rasa percaya diri Indonesia untuk mempromosikan signifikansi kebebasan berpolitik melalui Bali Concord II pada tahun 2003. Inisiatif yang disebut sebagai ASEAN political development, bukan democratization, ini pada akhirnya berhasil dimaktubkan dalam ASEAN Charter yang mulai berlaku pada Desember 2008.

Terlepas dari perdebatan apakah Indonesia harus meratifikasi piagam tersebut mengingat masih banyak ruang kosong yang harus diperbaiki, Indonesia tetap bersikeras mendukung inisiatif tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan, tanpa sebuah piagam yang mengikat semua, ASEAN tetap akan menjadi organisasi yang longgar, yang akan dapat mengurangi komitmen negara-negara anggotanya dalam upaya pengembangan demokrasi di kawasan.

Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk mengingat posisi Indonesia sebagai pihak yang pernah menolak nilai-nilai demokrasi Barat, karena dianggap bertentangan dengan Asian values.

Kapasitas lainnya mencakup status Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS dan India, dan negara Islam terbesar di dunia. Indonesia adalah tempat di mana Islam, modernitas dan demokrasi dapat tumbuh kembang secara bersama-sama. Namun, Indonesia juga masih harus menghadapi beberapa tantangan. Termasuk di dalamnya adalah konflik horizontal di kalangan masyarakat. Tetapi, hal ini jangan sampai menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi fundamentalisme di Indonesia, sehingga dapat mengancam karakter ketoleransian bangsa ini.

Seperti dikemukakan oleh Ramage dan MacIntyre dalam laporan ASPI, berjudul Seeing Indonesia as a Normal Country, ketakutan akan fundamentalisme dan antipluralisme di Indonesia adalah keliru karena mayoritas masyarakat Muslim Indonesia adalah kaum moderat. Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa tidak satu pun negara di dunia ini yang dapat dijadikan model sebagai demokrasi yang sempurna. Bahkan, di AS sekalipun, konflik kesukuan dan ras masih terjadi.

Di samping itu, korupsi masih merupakan masalah untuk Indonesia. Berdasarkan laporan dari Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih setara dengan negara korup seperti Ethiopia dan Uganda. Tetapi, kesuksekan kita dalam memberantas korupsi telah memperbaiki indeks tersebut sebanyak 37% sejak 2002. Namun, kekisruhan kepastian hukum, yang terjadi saat ini, jelas menuntut ketegasan pemerintah agar tidak berlarut-larut, yang mana dikhawatirkan dapat memengaruhi tingkat kepuasan publik terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Kebebasan Berbicara

Dalam hal kebebasan berbicara, Reporters Without Borders (RWB), sebuah organisasi nonpemerintah internasional yang fokusnya pada kebebasan pers dan advokasi jurnalis, melaporkan bahwa kebebasan tersebut menurun sejak 2002 (peringkat 57), membuat kita setingkat dengan Guinea dan Mauritania, di mana kebebasan bicara tidak begitu dijamin. Pada Feburari 2008, misalnya, Bersihar Lubis, editor Koran Tempo, harus berhadapan dengan tuntutan hukum karena mengutip sebuah pendapat seorang tokoh yang kemudian diinterpretasikan pendapat tersebut sebagai penghinaan terhadap sebuah institusi hukum di Indonesia. Akan tetapi, ranking Indonesia mengalami perbaikan dari posisi 111 ke posisi 100 setahun terakhir.

Kemiskinan di tengah masyarakat juga merupakan tantangan bagi siapa pun yang memegang tampuk kepemimpinan di negeri ini, walaupun tercatat bahwa pemerintahan SBY berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran di Indonesia beberapa tahun terakhir, masing-masing ke tingkat 14% dan 9%.

Sebagai penutup, bukanlah sebuah mimpi belaka untuk bercita-cita bahwa Indonesia dapat menjadi negara superpower melihat potensi yang kita miliki, yang juga dimiliki oleh sebuah negara adidaya secara garis besarnya. Tetapi, untuk melihat Indonesia menepati posisi itu, kita masih harus banyak bersabar.

Tidak ada yang instan dalam proses ini -bandingkan usia kita dalam berdemokrasi yang baru sekitar 11 tahun dengan AS yang sudah mencapai lebih dari 230 tahun. Tetapi, jika kita pelihara dan kembangkan potensi ini, paling tidak Indonesia bisa menjadi superpower di wilayah Asia, walau agaknya masih sulit untuk menjadi world super- power.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita mengembangkan potensi ini menjadikan kekuatan yang sesungguhnya, sehingga kita dapat berdiri sejajar dengan (atau malah di atas) Tiongkok, India, Rusia, dan AS? Ini adalah pertanyaan dan pekerjaan rumah besar yang menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia.

* Hadianto Wirajuda adalah kandidat PhD dari LSE London School of Economics and Political Science, UK. Diaz Hendropriyono adalah kandidat PhD dari Virginia Tech University, USA. Keduanya adalah pemrakarsa Youth Initiative for Indonesia's Democracy and Development (YIDD).

sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 26 November 2009

No comments: