Tuesday, November 10, 2009

Pahlawan Hati Nurani Rakyat

-- Josef Purnama Widyatmadja*

ENAM puluh empat tahun lalu, tepatnya 10 November 1945, Bung Tomo bersama arek Suroboyo dengan gagah berani melawan tentara sekutu. Pada hari itu, tidak ada pilihan lain bagi arek Suroboyo bersama rakyat Indonesia kecuali merdeka atau mati. Tidak seorang pun berpikir untuk kepentingan dan memperkaya diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa perjuangan arek Suroboyo mengilhami pemimpin nasional menjadikan pertempuran Surabaya sebagai hari pahlawan.

Kepahlawanan arek Surobyo dan rakyat Indonesia bukan semata-mata kepahlawanan dari mereka yang memiliki senjata canggih dan pasukan terlatih, juga kepahlawanan dari rakyat yang memiliki hati nurani. Hati nurani ini tak bisa dibeli dan diganti dengan durian yang bisa membuat mabuk dan lupa diri. Berbekal hati nurani rakyat berani melawan musuh yang memiliki senjata yang lebih canggih dan tentara yang terlatih. Hati nurani rakyatlah yang kita peringati sebagai Hari Pahlawan saat ini.

Kepahlawanan rakyat Indonesia dalam era Reformasi pada 1998 sekali lagi tidak diperankan oleh mereka yang membawa bedil dan menyandang jabatan tinggi. Tapi, justru dari buruh, tani, mahasiswa, pengacara, dan budayawan yang menjadi korban tirani. Tidak sedikit aktivis meringkuk dalam bui oleh pengadilan yang tak bersih. Bedil dan bui telah menelan korban manusia yang menyuarakan hati nurani. Pahlawan reformasi yang mati dalam tragedi Trisakti atau Semanggi sampai saat ini belum bisa menerima keadilan semestinya. Reformasi Indonesia tidak ditandai kepahlawanan mereka yang memiliki senjata dan jabatan di Istana atau Senayan. Kepahlawanan dalam reformasi sesungguhnya adalah kepahlawanan dari rakyat dan mahasiswa yang masih memiliki hati nurani untuk membebaskan Ibu Pertiwi dari penindasan tirani.

Sebelas tahun setelah reformasi di tengah peringatan Hari Pahlawan, rakyat Indonesia menyaksikan sekali lagi perang hati nurani yang disajikan oleh media televisi dan cetak. Semangat reformasi untuk memperbarui diri kian memudar di antara penegak hukum karena tergerus oleh keserakahan harta. Budayawan Romo Mangunwijaya pernah memperingatkan bahwa reformasi yang terjadi tahun 1998 baru sekadar tambal sulam dan pergantian orang. Belum menyentuh perubahan hati nurani dan nilai kemanusiaan.

Yang dibutuhkan Indonesia, menurut Romo Mangun, adalah transformasi yang mampu mengubah mental budaya dan tatanan sosial dalam segala bidang. Keadilan tidak bisa diharapkan tanpa transformasi tatanan nilai dan praktik hukum yang bisa dibeli.. Dan transformasi ini yang tidak terjadi setelah sebelas tahun reformasi. Perang hati nurani terjadi di sidang Makamah Konstitusi, Tim 8 dan DPR. Adegan tayangan televisi yang kita saksikan merupakan bukti bahwa reformasi yang berjalan baru merupakan slogan dan belum kenyataan.

Bisa Diatur

Kriminalisasi bisa diatur dan keadilan dijualbelikan. Perseteruan bukannya terjadi antara penegak hukum pemberantas korupsi melawan koruptor pelaku korupsi. Perseteruan justru terjadi di antara sesama penegak hukum yang mendapat mandat dan biaya dari rakyat untuk memberantas korupsi. Sesama penegak hukum seyogianya bekerja sama untuk mengusut korupsi yang merugikan uang rakyat, bukannya berantam sendiri dan memberikan kesan salah satu pihak telah dibeli oleh pelaku korupsi.

Pertarungan sesungguhnya bukan pertarungan antarinstitusi, tapi pertarungan hati nurani dari penjabat yang duduk dalam institusi. Bukan pertarungan antara lembaga KPK dan Polri karena keduanya mendapat mandat dari konstitusi. Sesungguhnya pertarungan itu terjadi adalah pertarungan antara KPK (Komunitas Pemberantasan Korupsi) melawan KPK (Konspirasi Pembela Korupsi). Komunitas Pemberantas Korupsi dan Konspirasi Pembela Korupsi bisa saja berada dalam diri KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), Polri, kejaksaan, tim 8, Makamah Konstitusi, media, lembaga DPR, dan sebagainya. Baik dalam lembaga yang dicap jahat maupun lembaga yang dicap bersih, keduanya bisa terdapat orang yang memiliki hati nurani serta orang yang memiliki jiwa korupsi.

Sebelas tahun setelah reformasi, lembaga perwakilan rakyat yang dipilih rakyat malah ditinggalkan rakyat karena dianggap tidak lagi memiliki hati nurani. Curahan hati rakyat setelah sebelas tahun reformasi disalurkan dalam bentuk parlemen jalanan dan facebook bukan ke Senayan. Rakyat tidak ingin menyaksikan pengadilan kasus korupsi akan mengulang korban seperti yang terjadi dalam kasus Sum Kuning, Sengkon-Karta, Pak De dan Dice.

Era reformasi merupakan kesempatan baik bagi setiap orang untuk menjadi pahlawan hati nurani, di mana kebenaran dan keadilan dijunjung tinggi, bukannya hukum prosedural dan kata-kata mati yang didewakan. Dalam kampanyenya Presiden SBY dikenal sebagai presiden yang santun, penuh pesona, dan memiliki susila yang tinggi untuk memberantas korupsi. Di tengah peringatan Hari Pahlawan, rakyat menagih janji agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa memenuhi janji dan membuktikan diri menjadi pahlawan hati nurani yang akan diingat sejarah Ibu Pertiwi.

* Josef Purnama Widyatmadja, pengamat sosial budaya dan pembangunan

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 10 November 2009

No comments: