[JAKARTA] Ujian nasional (UN) boleh saja tetap dilaksanakan, asalkan rumus kelulusan diperbaiki, dengan memakai standar normal, bukan standar mutlak. UN boleh dilaksanakan hanya dipakai untuk pemetaan mutu pendidikan, dan pemetaan untuk masuk perguruan tinggi.
Demikian dilontarkan pengamat pendidikan, Arief Rachman di Jakarta, Jumat (27/11) dan anggota Tim Advokasi Korban Ujian Nasional (TeKUN), Muhammad Isnur Sabtu (28/11) berkaitan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi dari pemerintah soal pelaksanaan UN. Keduanya menyatakan, kalau pemerintah mau jalan terus, silakan saja, asalkan UN diselenggarakan untuk pemetaan pendidikan, bukan untuk menjadi syarat kelulusan peserta UN.
Arief Rachman mengatakan, UN jangan digunakan sebagai standar mutlak kelulusan, sebab kemampuan siswa di setiap daerah berbeda, sehingga standar mutlak tidak memenuhi asas keadilan pendidikan. Dia menjelaskan, pemerintah tidak bisa memakai standar mutlak tanpa menjamin paling tidak seperdua dari kualitas guru, sarana prasarana, dan fasilitas sekolah serta akses informasi sudah merata di seluruh daerah di Indonesia.
"UN boleh-boleh saja karena di negara lain juga ada, tetapi jangan pakai standar mutlak. Standar mutlak bukan mengukur kemampuan anak, tetapi mengukur mutu pendidikan secara menyeluruh. Memperbaiki rumus kelulusan saja sampai sekarang pemerintah masih keliru," katanya.
Dia menambahkan, kebijakan UN bisa jadi sebagai bentuk reaksi ketidakpercayaan pemerintah terhadap sekolah. Karena dengan standar normal, kecurangan sekolah untuk meluluskan siswanya seratus persen kemungkinan terjadi.
Hanya Tuntut Hak
"Tetapi, bukan berarti diganti dengan standar mutlak. Kalau dituntut standar nilai 5,5, apakah mutu siswa dan guru di sekolah sudah ditingkatkan belum. Jadi, pemerintah hanya tuntut hak, tetapi tidak menjalankan kewajiban," katanya.
Muhammad Isnur juga mengatakan, UN boleh dilaksanakan, tetapi tidak menjadi syarat kelulusan. UN justru mendidik siswa untuk tidak jujur. Anak stres karena materi ujian yang dia dapat, berbeda dengan yang diajarkan. Akibatnya, mereka tidak fokus belajar untuk memiliki ilmu, tetapi bagaimana mencari angka, mencari jawaban, atau mencontek," katanya.
Menurut dia, pemerintah harus lapang dada untuk menerima putusan pengadilan dan MA yang telah berkekuatan hukum tetap. Diakui, apabila UN tetap dilaksanakan untuk syarat kelulusan, secara perdata, pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum, tetapi di sisi lain juga tidak ada sanksi hukum.
Soal rencana pemerintah mengajukan peninjauan kembali (PK), Isnur mengatakan, harus dengan bukti baru. "Tetapi, lebih baik tidak usah menyibukkan diri dengan PK, fokuskan untuk terima putusan dan memperbaiki Sisdiknas, antara lain kebijakan UN sebagai standar kelulusan," pungkasnya.
UN 2010 Jalan Terus
Sementara itu, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Muhammad Nuh mengatakan, persiapan untuk pelaksanaan UN 2010 akan terus berlangsung, sebab hingga kini Depdiknas belum menerima putusan MA terkait penolakan kasasi tentang UN. Ditegaskan, UN yang dilaksanakan bulan Maret 2010 akan jalan seperti biasa.
Di sisi lain, Depdiknas akan menyiapkan diri apabila isi putusan MA sama dengan hasil putusan Pengadilan Tinggi pada 3 Mei 2007. "Apabila putusan MA terkait dengan putusan pengadilan tinggi, maka sesungguhnya pemerintah telah melaksanakan poin-poin yang menjadi tuntutan putusan tersebut, yakni enam poin," katanya.
Namun, dari enam poin putusan pengadilan tinggi tersebut, tidak ada satu kata pun yang menyatakan larangan bagi pemerintah untuk melaksanakan UN. [Ant/D-13]
Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 28 NOvember 2009
No comments:
Post a Comment