-- ST Sularto
FRANKFURT Book Fair 2009 berlangsung di Frankfurt, Jerman, 14-18 Oktober. Diikuti lebih dari 7.000 penerbit yang berasal dari 100 negara, pameran itu selama lima hari penyelenggaraan dikunjungi total lebih dari 570.000 orang.
Gerai China terlihat paling menonjol dalam Frankfurt Bookfair di Frankfurt, Jerman, 14-18 Oktober 2009. Dibandingkan penyelenggaraan pada tahun-tahun sebelumnya, pameran kali ini sepi pengunjung. (KOMPAS/ST SULARTO)
Pada hari pertama terdapat 45.753 pengunjung khusus pebisnis perbukuan, hari kedua 102.205 orang, ketiga 152.530 orang, keempat 227.164 pengunjung, dan drop lagi pada hari terakhir, Minggu (18/10), yaitu sekitar 40.000 orang. Dibandingkan tahun lalu, setiap hari pameran kali ini mengalami penurunan 2.000-3.000 orang, kecuali hari pertama, hanya berselisih sekitar 350 orang.
Tahun ini sepi dibandingkan dengan tahun lalu? ”Dari sisi jumlah pengunjung ya, tetapi dari segi keramaian bisnis perbukuan—utamanya kontak bisnis terjemahan—tahun ini tetap ramai,” kata Sam Missingham dari Bookseller, London. Mengapa? Tidak tegas menjawab sebagai dampak krisis ekonomi global tahun 2008, Missingham menjelaskan, banyak faktor yang mengambil peranan. Di antaranya, faktor ekonomi global, tetapi tidak kalah penting faktor mulai berkembangnya electronics-book (e-book) atau buku elektronik—produk virtual yang merambah dan mulai semakin ramai sejak pameran tahun lalu.
Membandingkan dengan tahun 2000, 2002, dan 2004, pameran tahun ini paling sepi. Bukan oleh riuh, gemerlap, dan kesibukan acara-acara yang digelar setiap peserta yang diselenggarakan di semua hall (ruang pameran)—mulai dari hall 0 hingga 11 dengan keluasan masing-masing—tetapi terutama oleh bergegasnya pengunjung, yang disebabkan oleh takut kalah berebut atau mungkin sekaligus menghilangkan cuaca dingin. Pada tiga tahun itu sungguh, orang Indonesia—mohon maaf dalam hal ini hanya terlihat sebagai noktah kecil—harus berdecak kagum. Adapun pada tahun ini, menurut beberapa rekan yang rajin menyambangi setiap tahun, pengunjung lebih sepi, setelah pada tahun 2007 dan 2008 Indonesia sempat merasa optimis.
Pengakuan mereka serupa yang disampaikan pengunjung lain. Bagi pebisnis buku—khususnya ”pemburu” hak cipta terjemahan—hari pertama tetap perlu perjuangan bersaing, terutama dengan penerbit-penerbit yang rajin mengirimkan delegasi semacam kelompok Penerbit Gramedia yang mengirimkan lebih dari 8 orang, bahkan Penerbit Erlangga tak mau kalah dengan mengirimkan 13 orang.
Pengunjung baru terlihat ramai pada hari-hari berikutnya, terutama Sabtu. Pameran diramaikan juga oleh pengunjung yang memanfaatkan hari libur akhir pekan. Nah, pada hari-hari itu pengunjung berjubel—walaupun lagi-lagi terasa lengang. Adapun pada hari terakhir, pebisnis sudah jarang terlihat. Petugas pameran sebagian besar diganti oleh satpam, bukan lagi orang berjas rapi ataupun perempuan-perempuan cantik.
Ketika ditanya, ke mana para petugas kemarin? ”Sudah pulang,” kata seorang penjaga di gerai Vintage dari London yang sibuk mengemasi buku, Minggu (18/10). Lantas siapa yang datang hari Minggu itu? Mereka yang mengadu untung beli obralan buku, dijual antara 5 euro sampai 25 euro, dengan tetap mempertahankan harga banderol untuk beberapa judul buku. Siapa lagi? Mereka yang menangguk kesempatan dengan memunguti buku-buku yang rupanya sengaja ditinggalkan oleh pemilik gerai.
China paling menonjol
China, yang tahun ini menjadi tamu kehormatan (guest of honor), tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan menempati satu hall penuh produk yang berkaitan dengan buku dan nonbuku dihadirkan juga. China go global, China mengglobal. Dengan moto tradition & innovation yang dipilihnya, China sudah lebih dari dua tahun mempersiapkan, setelah pada tahun 2007 ditetapkan sebagai tamu kehormatan. ”Kami all out dan memperoleh dukungan penuh dari pemerintah, utamanya kami ingin menjadi jembatan antara Barat dan Timur. Kami ingin belajar dari Barat, utamanya Jerman, dan sebaliknya, kami pun ingin dimengerti,” ujar Wapres China Xi Jinping.
Penerbit-penerbit dari Inggris, Amerika, tentu selain Jerman dan China, mendominasi aura pameran. Semua hall yang ditempati Jerman, maklum sebagai tuan rumah, selalu dipadati pengunjung. Para pemburu hak cipta berjubel di gerai-gerai ini, selain karena dominasi jumlah judul dan buku-buku ditulis bahasa Inggris, juga selama ini judul-judul buku yang laris di pasaran luar Eropa pun terbitan Inggris atau Amerika. Adapun Jerman? Diburu oleh para pemburu hak terjemahan ke bahasa Inggris atau bahasa-bahasa daerah lain. Pengunjung yang berjubel adalah mereka yang sehari-hari berbahasa Jerman, penduduk yang menempati sebuah negara terpadat di Eropa.
Bagaimana Indonesia? Kalau pada tahun 2007 ada optimisme akan ikut serta dalam pameran tahun 2008, yang ternyata gagal, tahun ini tak satu pun penerbit dari Indonesia tampil. Pada tahun-tahun 2000, 2002, dan 2004 masih terlihat ada satu-dua buku yang diterbitkan oleh penerbit Indonesia terselip di hall religion menyatu dengan penerbit dari Amerika soal politik dan agama, tetapi tahun ini tak ada lagi. ”Kami absen, tak ada yang mau pameran,” kata Setiadarma Madjid, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Pusat. Diamini Sukartini dari Obor, ketidakhadiran penerbit Indonesia memang karena faktor keuangan.
Dalam pameran 2004, ketika terorisme masih banyak dibicarakan orang, sempat Haidar Bagir dari Mizan memberikan ceramah di gerai Ikapi. Namun, Indonesia tidak berkecil hati, dibandingkan Argentina, misalnya, yang tahun depan sebagai guest of honor. Perbukuan Indonesia lebih ”tampil” daripada Argentina. Gerai Argentina biasa-biasa saja, terkesan minder terimpit oleh gerai-gerai besar dan sibuk di sebelahnya.
Tema-tema dan judul yang ditulis pun berbeda dengan tahun-tahun lalu. Tahun ini judul-judul nonfiksi lebih menonjol ketimbang fiksi. Kalau dulu banyak dijumpai tema-tema terorisme dan kesehatan China, kali ini tema dan judul amat beragam, bahkan cenderung pada persoalan amat luas, yakni tentang perkembangan budaya—khususnya peradaban manusia. Meskipun dengan perkembangan teknologi digital, tetap saja buku adalah rekaman dari peradaban kemanusiaan, sebuah industri paduan antara idealisme dan bisnis.
Ya, industri buku tidak akan lenyap, bahkan setelah mesin cetak ditemukan Gutenberg di Jerman pada abad ke-16 sampai abad ke-21, tampaknya cetak—seperti halnya koran cetak—tetap akan lestari. ”Seperti koran, buku cetak tak akan habis,” kata Setiadarma Madjid. Namun, hingga kini belum ada yang meramal seperti Thomas Meyer bahwa pada tahun 2040 koran cetak akan mati. Buku (dan koran) tetaplah rekaman peradaban manusia yang terus lestari dan menjanjikan!
Sumber: Kompas, Rabu, 11 November 2009
No comments:
Post a Comment