Jakarta - Pandangannya menekankan kritik objektif memandang karya sastra sebagai teks yang mandiri, bebas dari penulis, pembaca, dan dunia sekitarnya. “Aliran Rawamangun”, dengan salah satu penggerak utama MS Hutagalung, memberi kontribusi untuk kesusasteraan Indonesia.
Dia, MS Hutagalung. Kritikus yang berperan dalam proses perkembangan sastra Indonesia itu meninggal setelah tiga tahun menderita penyakit ginjal, Senin (23/11) lalu, di Rumah Sakit (RS) Cikini Jakarta, setelah sebelumnya disemayamkan di rumahnya di Jl Pemuda Asli II, Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta Timur.
MS Hutagalung yang dilahirkan di Tarutung pada 8 Desember 1937 itu adalah tokoh utama “Aliran Rawamangun” dalam dunia sastra Indonesia. Sebagaimana diungkapkan pengamat sastra dan pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia (FIB UI) Maman S Mahayana di situsnya mahayana-mahadewa.com, perkembangan kritik sastra akademis berutang pada kritik sastra aliran Rawamangun.
Kritik ini menekankan pada kritik objektif yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, bebas dari penulis, pembaca, dan dunia sekitarnya. Karya sastra menekankan kriteria intrinsik dan berhubungan dengan kompleksitas, koherensi, juga hal yang berkaitan dengan unsur pembentuknya.
Mendiang adalah guru para ahli sastra, bahkan sastrawan Indonesia di Universitas Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra UI (1964) dan memperdalam pengetahuannya di Leiden, Belanda (1971-1973), ia menjadi pengajar penuh di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini FIB UI) hingga pensiun pada 2002.
Ia sempat mengajar kesusastraan Indonesia di School of Humanities, University Sains, Penang, Malaysia (1977-1983), Institut Kesenian Jakarta (IKJ), sastra dan bahasa Indonesia di Universitas Kristen Indonesia (UKI), Fakultas Sastra Universitas Nasional (Unas), Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta, STT Cipanas, serta duduk dalam Komisi Bahasa Indonesia penyusunan “Alkitab Terjemahan Baru”.
Tak kurang dari sepuluh bukunya menjadi acuan penting, antara lain Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (Gunung Agung, cetakan 2, 1963), Tanggapan Dunia Asrul Sani (Gunung Agung, 1967), Hari Penentuan (BPK Gunung Mulia, 1967), Memahami dan Menikmati Puisi (BPK Gunung Mulia 1971--mendapat penghargaan dari Departemen Pemuda), Telaah Puisi (BPK Gunung Mulia, 1973), Kritik atas Kritik atas Kritik (Tulila, 1975), Membina Kesusasteraan Indonesia Modern (Corpatarin Utama, 1988), dan Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru (Tulila, 1989).
Tokoh ini pernah dihadapkan di Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir di Bandung, 8 September 1974 oleh penyair Slamet Kirnanto gara-gara di forum Universitas Indonesia tahun 1973 memunculkan urutan penyair, yaitu Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, barulah WS Rendra ini. Dia diprotes pendukung Rendra dan pendukung Sutardji Calzoum Bachri--tak pelak merupakan bagian sejarah sastra Indonesia.
Terlepas dari kontroversi di tengah hiruk-pikuk kesusasteraan, sastra Indonesia membutuhkan parameter dan penyikapan yang tegas seorang akademisi seperti MS Hutagalung. Saat ini, para akademisi justru dibutuhkan dalam suasana penilaian karya sastra yang makin hiruk-pikuk dengan berbagai pandangan tiap kubu praktisi sastr, yang terkadang justru melemahkan penilaian objektif terhadap karya sastra itu sendiri.
“Dulu, MS Hugalung bukan hanya berkubu, tapi juga akademisi sehingga apa yang dia katakan juga berpengaruh. Pengadilan puisi, salah satu contohnya. Sekarang, sepertinya akademisi kurang masuk. Saya juga tak mau bela diri. HB Jassin memberikan seluruh hidupnya, MS Hutagalung juga begitu, selain mengajar juga memberikan waktu untuk memeriksa puisi. Sekarang begitu banyak yang harus diemban akademisi, tampaknya mereka kurang waktu memberikan seluruh hidupnya atau karya juga penulis sastra sekarang sudah begitu banyak. Diperlukan waktu yang cukup untuk memeriksa dan membicarakan tiap karya,” tanggap pengajar FIB UI Riris K Toha Sarumpaet kepada SH, Sabtu (28/11).
Aktif hingga Akhir
Sebagaimana dipaparkan Riris, setelah pensiun, MS Hutagalung tetap tetap menulis tentang sastra dan bahasa Indonesia, bahkan masalah kebudayaan lainnya di berbagai koran dan majalah.
Bahkan dua bulan lalu, bersama Astar Siregar teman seasramanya di Daksinapati, Rawamangun, MS Hutagalung sempat menerbitkan sebuah antologi puisi: Permata Kehidupan: Sajak-sajak Lansia. Pada 31 sajak yang ditulisnya selama tahun 2007, dapat dibaca unsur perasaan, kepedulian, serta dedikasinya pada kehidupan.
Setelah tamat dari Universitas Indonesia, ia menjadi pembahas dan pembangun sastra dan bahasa Indonesia melalui kritik dan esei dan pengajaran sastranya. Pribadi MS Hutagalung sangat percaya pada pentingnya sastra dalam kehidupan, dan bagaimana sastra menambah kepekaan dan empati pada manusia untuk menghargai kehidupan, manusia, kerja, dan karunia Tuhan.
“Dia dikenal sebagai pengajar bahasa dan sastra Indonesia yang dengan halus mendengungkan pentingnya rasa kemanusiaan. Ia meninggalkan murid juga karyanya untuk melanjutkan kehidupan yang penuh tantangan dan menjadikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai identitas dan sarana yang memanusiakan bangsa Indonesia yang dicintainya,” papar Riris.
(sihar ramses simatupang/ berbagai sumber)
sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 28 November 2009
No comments:
Post a Comment