-- Heri C Santoso
PENGHARGAAN atau penghormatan bisa jadi menjadi suatu tujuan atau motivasi bagi siapa saja tanpa terkecuali, juga pada diri seorang penulis. Namun, berbeda dengan diri F Rahardi. Baginya, penghargaan bukan hal utama. F Rahardi adalah penulis yang memperoleh penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2009 atau Anugerah Sastra Khatulistiwa kesembilan atas novel Lembata pada Selasa pekan lalu (10/11).
"Bagi saya, sebenarnya penghargaan tidak terlalu utama. Kalau misalnya saya disuruh milih. Apakah karya saya mendapat penghargaan atau dibaca orang banyak dan bermanfaat, saya akan memilih yang kedua," kata F Rahardi saat Bincang-bincang Sastra bersama Komunitas Lerengmedini dan Forum Pengelola Taman Belajar Masyarakat (FPTBM) di Pondok Maos Guyub, Bebengan, Boja Kendal, Rabu (11/11) malam.
Mantan redaktur Majalah Trubus ini mengungkapkan, sejak dahulu mulai menulis, dirinya tidak pernah berharap untuk mendapat penghargaan. "Makanya juga tidak pernah ikut lomba. Kalau pun ada yang menilai dan memberikan penghargaan, ya terima kasih."
Rahardi bercerita, ketika misalnya baru tahu pada Selasa (10/11) malam, justru diberi informasi dari teman yang juga dikasih tahu kawan lainnya. "Saat diberitahu ya, biasa saja. Tidak terlalu kaget dan surprised," ujar penulis yang telah menulis sekurangnya 10 buku ini. Penerimaan penghargaan pun tidak diterimanya langsung karena diwakilkan kepada putranya.
Saat ditanya untuk apa uang hadiah dari buah pikirnya itu, dengan enteng lelaki yang bersahaja ini menimpali, "Ya, saya serahkan ke istri dan anak. Tidak tahu mau buat apa," tuturnya.
Dalam Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Sastra Khatulistiwa 2009 yang digelar di Plaza Senayan, Jakarta, F Rahardi meraih gelar untuk kategori Prosa Terbaik dengan karya berjudul Lembata. Penghargaan tahunan tersebut juga diberikan kepada penulis asal Bali, Sindu Putra (kategori Puisi Terbaik) untuk karyanya yang berjudul Dongeng Anjing Api. Sedangkan penulis muda berbakat terbaik dimenangkan oleh Ria N Badaria untuk karya berjudul Fortunata.
Lembata merupakan prosa tentang kritik kepada gereja Katholik dan pemerintah di daerah Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia mengkritik aktivitas bisnis gereja di dalamnya. Di daerah yang perekonomian masyarakatnya sulit, ujarnya, mengapa dalam prosesi misa atau peribadatannya, gereja Katholik menggunakan anggur yang diimpor dari luar negeri. Juga menggunakan roti dengan bahan gandum yang didatangkan dari luar.
"Kenapa tidak gunakan dengan bahan yang ada di lokal semacam jagung atau singkong. Atau jika tidak menggunakan anggur, bisa dengan menggunakan jenis minuman keras yang ada di sana," katanya.
Upaya menuju perbaikan perekonomian yang berbasis kerakyatan bisa dilakukan oleh otoritas gereja Katholik dengan membimbing masyarakat untuk menanam anggur dan gandum di ladang mereka sendiri, mengingat 90 persen warga Lembata merupakan penganut Katolik.
Pulau Lembata dipilih sebagai obyek novelnya karena pulau tersebut cukup menarik baginya dan tidak terkenal. “Jika ingin dapat berhasil, ciptakan setting yang belum biasa. Novel ini saya tulis bukan supaya hebat dan sebagainya. Harapannya, dengan novel ini pulau tadi berubah dan gereja Katolik tadi juga berubah.
"Saya berencana membeli benih gandum di Salatiga dan akan saya kirimkan ke Lembata."
Tahun 2009 mungkin menjadi tahun peruntungan bagi F Rahardi. Selain KLA 2009, beberapa pekan sebelumnya lelaki bernama lengkap Floriberti Rahardi ini memperoleh penghargaan The SEA Write Award 2009 di Bangkok. Ia mewakili Indonesia mendapat anugerah bergengsi di Asia Tenggara tersebut atas bukunya, Negeri Badak. Di negara Gajah Putih tersebut, Ia mewakili Indonesia bersama tujuh penerima lainnya dari negara Malaysia, Laos, Brunai, Singapura, Filipina, Thiland, dan Vietnam.
Penghargaan sastra diserahkan langsung oleh Yang Mulia Putra Mahkota Kerajaan Thailand, Pangeran Maha Vajralongkorn pada 9 Oktober 2009 di Mandarin Oriental, Bangkok Thailand. Dia menerima plakat dan sejumlah uang. Penghargaan the S.E.A Write Award dilakukan sejak tahun 1979 dan diberikan kepada sastrawan berprestasi di Asia Tenggara.
Negeri Badak merupakan prosa lirik, sebuah model penulisan sastra yang tidak banyak digeluti sastrawan lainnya. Rahardi berujar, dia belajar dan mengenal bentuk sastra ini dari sahabatnya sendiri, Linus Suryadi AG, lewat karya Pengakuan Pariyem. Sebelum Negeri Badak, F. Rahardi telah menulis prosa lirik dengan judul Imigrasi Para Kampret.
Sumber: Jurnal Nasional, Kamis, 22 November 2009
No comments:
Post a Comment