Tuesday, November 10, 2009

'Reinventing' Nilai Kepahlawanan

-- Maulana Mukhlis

APA yang terbayang oleh kita setiap tanggal 10 November? Mungkin sekadar jawaban tentang peringatan Hari Pahlawan dan kemudian rutinitas tabur bunga di Taman Makam Pahlawan. Tak banyak yang dilakukan selain itu, termasuk minimnya refleksi tentang nilai apa yang muncul dari hari pahlawan itu selain mengingatkan kita para penerus bangsa mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Mengapa? Karena Hari Pahlawan dan nilai kepahlawanan hanya berpijak pada pengertian yang terlalu sempit, meskipun nilai kesetiakawanan juga muncul di dalamnya.

Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai keteladanan yang dimiliki para pahlawan tersebut dapat dijadikan pedoman dan tuntunan berperilaku, tidak hanya bagi generasi muda tetapi bagi seluruh komponen bangsa ini, terutama para tokoh dan pembesar negeri. Betapapun perilaku mereka-mereka yang merasa dirinya menjadi tokoh atau ditokohkan, sedikit banyaknya akan dijadikan model atau panutan oleh segenap komponen bangsa.

Bila para tokoh tersebut mampu menampilkan perilaku-perilaku jujur, akan jujurlah bangsa ini. Bila para tokoh tersebut mampu menunjukkan sikap-sikap yang memperlihatkan kehalusan budi, akan santun dan etislah para anak muda bangsa ini. Bila para tokoh tersebut mampu memperlihatkan sikap hidup sederhana, akan sederhana pulalah pola hidup bangsa ini. Bila para tokoh tersebut mampu memperlihatkan ketaatan terhadap hukum, akan tertiblah bangsa ini.

Sebaliknya juga, bila para tokoh tersebut memperlihatkan perilaku yang selalu melecehkan hukum, maka akan semakin terbiasalah bangsa ini untuk melakukan berbagai pelanggaran hukum dan hukum pun akan dipandang sebagai pisau bermata ganda, tajam manakala berhadapan dengan rakyat kecil dan menjadi tumpul atau tidak berfungsi sama sekali manakala berhadapan dengan penguasa atau pemegang uang.

Perspektif inilah yang tampaknya relevan untuk kita ketengahkan pada saat bangsa ini sedang diuji dengan kasus cicak-buaya yang membentuk lingkaran yang seolah tak berujung. Masing-masing pihak merasa tidak bersalah; apa yang dianggap publik salah, ternyata justru dianggap tidak bersalah. Presiden pun kemudian berada dalam posisi yang sangat sulit.

Djadjat Sudradjat (Refleksi Lampost, 8-11) bahkan menyatakan bahwa kasus ini bukanlah konflik yang biasa. Konflik antarpihak yang bukan antarsiapa-siapa. Bukanah konflik antara KPK dan Polri plus Kejaksaan. Ia adalah konflik antardua kekuatan yang menyatu dalam satu tubuh; dalam bahasa yang lebih jelas, konflik itu adalah perseteruan antara SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) melawan SBY sendiri; SBY sebagai negarawan yang visioner dan SBY yang seperti terbelenggu masa silam.

Dalam teori Sigmund Freud dinyatakan bahwa sebuah persoalan besar akan dapat diselesaikan jika ada suatu mekanisme penyesuaian antara dua kekuatan sekaligus, yakni berjalannya mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) dan mekanisme penyelesaian masalah (coping mechanism). Dan dalam kasus ini, dua kekuatan itu justru dipertentangkan sehingga permasalahan tidak dapat diselesaikan.

Yang justru dilihat publik adalah dominannya defense mechanism, yakni cara atau mekanisme pembelaan atau pertahanan diri yang digunakan seseorang untuk mengatasi ancaman atau permasalahan yang ditimbulkan oleh frustasi, konflik, dan kecemasan. Mekanisme pertahanan diri menunjukkan proses tak sadar yang melindungi individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan (Sigmund Freud).

Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif permasalahan dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Perilaku yang menggunakan mekanisme pertahanan diri memiliki implikasi dan konsekuensi yang memprihatinkan. Keprihatinan ini didasari pada dampak yang dapat menyesatkan.

Jika nilai kepahlawanan adalah juga nilai kesetiakawanan, dalam kasus cicak-buaya, sesungguhnya nilai kesetiakawanan ini juga muncul. Dalam arti sempit, kesetiakawanan berarti juga suatu pembelaan terhadap diri atau eksistensi kelompok yang egoistik, yang menitikberatkan pada suatu jargon "setia kepada teman" dan diuntukkan hanya pada kepentingan sempit dan jangka pendek semata guna semakin memperkuat eksistensi kelompok dalam menjalankan pergerakannya. Maka, kelompok sosial yang menjalankan sistem ini menggunakan rasionalisasi sebagai suatu mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) atau kelompok.

Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi berarti lawan dari katanya, di mana hal itu berbeda dengan pikiran rasional. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik atau yang baik adalah yang buruk. Rasionalisasi merupakan teknik adaptif yang cukup luas digunakan yang berfungsi untuk melindungi diri di dalam situasi yang tidak bisa diterima.

Itulah mengapa refleksi Hari Pahlawan untuk saat ini harus dimaknai dalam perspektif yang lebih luas. Sebutan atau gelar pahlawan terbuka bagi setiap orang, asalkan ia memiliki sikap-sikap yang unggul dan terpuji dalam keberanian, kepeloporan, dan kerelaan berkorban dalam membela kebenaran serta memperjuangkan kepentingan rakyat dengan cara yang rasional bukan merasionalisasi. Dalam konteks permasalahan bangsa, salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan reinventing nilai kepahlawanan. Teori reinventing sekaligus mengandung lima hal mulai reorientasi, restrukturisasi, aliansi, implementasi, dan evaluasi.

Reinventing nilai kepahlawanan (dalam perspektif luas) dilakukan dengan merubah perilaku defense mechanism, seperti di atas dengan suatu hal yang positif dan progresif, yakni dengan coping mechanism jika dihadapkan pada situasi yang mengancam atau permasalahan umum lainnya. Coping mechanism merupakan mekanisme yang dilakukan orang dalam menyelesaikan permasalahannya. Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku untuk menguasai, menoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan.

Dengan perkataan lain, strategi coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Jadi, proses "pertemanan" bisa dilandasi dengan penggunaan akal sehat dan objektivitas sebagai bagian dari bentuk coping mechanism sehingga kesetiakawanan tetap berada dalam posisi yang tegap dan tegak, yakni pemaknaan yang sebenarnya.

Apa yang dilakukan oleh publik dengan mendukung KPK adalah sikap kesetiakawanan; dan apa yang dilakukan presiden dan DPR kepada Polri (melalui rapat komisi IX beberapa hari lalu) adalah juga sikap kesetiakawanan. Jika kita sepakat, sikap kesetiakawanan itu adalah nilai kepahlawanan. Namun, mana di antara keduanya yang menunjukkan sikap pahlawan? Jadi, yang perlu bukanlah merasionalisasi melainkan reinventing nilai kepahlawanan itu sendiri.

* Maulana Mukhlis, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila

Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 November 2009

No comments: