Saturday, November 28, 2009

Puisi-puisi Aksentuasif

-- Beni Setia*

ADA luka ketika harus membolak-balik buku kumpulan puisi dua penyair Solo ini, yang dihadirkan dalam tehnik saling lekat punggung - singkur - singkuran mirip pengantin cemburu. Risalah Abad Bandung Mawardi itu menarik, dan Pigura Haris Firdaus sangat menarik, jadi kenapa harus menghadirkan yang satu dengan membalikkan yang lain? Apa tak bisa tertib disusun searah berdasarkan abjad dan diberi judul Solo Berdua?

Saya tertarik pada pengantar Geger Riyanto untuk kumpulan puisi Haris Firdaus - yang terdiri dari 20 puisi, yang bercerita tentang dinding yang eksis berghiaskan potret, kaligtafi atau lukisan yang selalu dikukuhkan pigura.

Karenanya kehadiran pigura kosong mengandaikan sebuah persiapan dan kebelumtuntasan kerrja, sedang kaligrafi, potret dan lukisan di dinding tanpa pigura akan menunjukkan sebuah kegagapan mengaksentuasikan kehadiran yang akan diapresiasi amat sangat berselera. Jadi apa makna pigura bagi Haris Firdaus? Jadi pigura itu mewakili tehnik penandaan tematik dan pola eksprersi-estetika (Haris Firdaus) apa ?

Jawabannya adalah aksentuasi. Tapi sebuah aksentuasi akan hampa dan sia-sia bila hanya menghadirkan kekosongan, untuk itu pembuat pigura - dalam hal ini Haris Firdaus sebagai penyair - menganggap pigura adalah cara untuk mengekalkan moment opname dari sebuah laju serentetan kejadian dan peristiwa yang senantiasa bersipatkan perpetual motion, untuk dikekalkan atau sekedar dimaknai dan dilihat orang lain-mengharap orang lain punya komentar akan hal itu. Dan bila tiap peristiwa dan kejadian dikekalkan dalam pigura, maka momentum terjadinya semua peristiwa dan kejadian itu dikekalkan dalam kalenderG - bukti kalau watu hanya bisa ditandai telah atau sedang bergerak lewat dan tak mengekalkan siapapun dan apapun.

Seluruh estetika dan ekspresi puisi Haris Firdaus terletak dalam bingkai pigura - yang menujuk ke kejadian dan peristiwa, atau kalender, yang menunjukkan kesia-sian fana dan waktu yang tak meninggalkan apapun selain jejak sejarah atau cuma angka. Dan dengan kepekaan yang tinggi, daya analisis yang jernih dan pilihan diksi yang ringan dan lembut tapi mengalir Haris Firdaus menghadirkan semuanya dalam kesederhanaan yang mood-nya amat terjaga. Secara tehnis ia telah selesai, sebagai penyair ia bisa menemukan obsesi obyek yang intensif-eksploratif digalinya. Tinggal, tema apa lagi yang dicarinya?

Pada sajak-sajak Bandung Mawardi, ada 20 puisi pendek, saya menemukan tehnik aksentuasi yang sama. Bedanya kalau Haris Firdaus memotret dan mencatat lalu memberi pigura untuk memberi aksentuasi dan memaksa orang menjenguknya, Bandung Mawardi malahan lebih ekspresif, dengan menghadirkan kanvas kosong.

Di mana seluruh kejadian yang diamati diabstraksi kegalibannya sehingga tertinggal ciri uniknya, yang tergantung dari subyektivitas si penyair, yang dihadirkan dengan aksentuasi warna, garis dan tanda representatif yang menyarankan dan menunjuk ke arah sesuatu di sana.

Karenanya semua apresiator harus menafsirkan warna, garis dan tanda itu, dan melengkapi ruang kosong yang selalu mengusung kehadirannya dengan referensi pribadi.

Tidak heran kalau sajak-sajak Bandung Mawardi (dalam kumpulan Risalah Abad) berkesan dibuat dengan simplisifikasi rumusan yang ensiklopedik, yang amat menuntut perumusan intelektualistik di satu sisi.

Semacam kehadiran kata dan diksi yang setara dengan goresan ekspresif dalam satu lukisan Cina, yang meninggalkan ruang kosong dan pembayangan subyektif buat melengkapi yang mendominasi, yang jadi representasi dari satu hal, kejadian, peristiwa atau panorama.

Sebuah upaya yang terkadang membuat kita cuma mengerutkan kening dan terlongo karena tak mampu menangkap apa maksud dari penampakan yang dominan, itu semua mewakili apa saja, dan bagaimana melengkapi yang hilang atau dihilangkannya itu dengan referensi rasional. Setidaknya ketika upaya pemaknaan dilakukan tanpa menangkap nada dasar puisi dengan kepekaan rasa, seperti yang dilakukan Saifur Rohman dalam kata pengantar.

Sebuah model sajak gelap yang tak kabur karena diksi dan idiom, tapi oleh tehnik penulisan sajak yang sengaja menandai yang ingin diungkapkan dengan ciri abstraksi ensiklopedik dominan, yang representatif menyarankan bikinlah kelengkapan referensial. Tuntutannya menafsirkan secara tepat apa yang dijadikan diksi (kata) kunci. Merepotkan memang. Dan dari fakta kemudaan keduanya kita akan terus mengharapkan pencapaian estetik dan ekspresi puisi yang lebih baik. Karenanya: Lanjutkan!

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Nopember 2009

No comments: