-- Jakob Sumardjo*
DI situs kabuyutan Karangkamulyan, Bojong, Ciamis, terdapat sekitar delapan situs berupa tatanan batu-batu bujur sangkar atau segi empat dengan batu berdiri dan batu pipih terhampar. Pada dasarnya ada dua jenis bentuk, yakni segi empat dan lingkaran, batu berdiri dan batu pipih terhampar di tanah. Itulah simbol-simbol arketipe masyarakat Sunda lama.
Batu berdiri dan segi empat adalah simbol "lelaki kosmis", sedang batu pipih terhampar dan lingkaran simbol "kosmik perempuan". Lelaki bisa berarti bumi, gunung, muara, jasmaniah, segala yang terbatas, segala yang imanen, badan. Sementara simbol perempuan mengacu pada oposisi pasangannya lelaki, yakni langit, laut, hulu, rohani, yang tak terbatas, segala yang transenden, sukma. Dalam hubungan dengan laku rohani, simbol lelaki adalah badan, tubuh ini, sedangkan simbol perempuan adalah sukma atau badan halus atau spiritualitas. Ingat sebutan Sunan Ambu di mitos-mitos rakyat.
Bila Anda memasuki kompleks kabuyutan Karangkamulyan, setelah pintu masuk (bayar karcis), Anda akan menemukan situs yang pertama berupa pagar batu segi empat memanjang yang terbagi dalam tiga kotak ruang. Pada kotak ruang yang paling ujung (paling dalam) yang mengarah ke utara, terdapat batu-batu pipih terhampar yang arahnya juga ke utara. Dari susunan hamparan batu yang juga segi empat panjang tersebut, terdapat batu yoni. Yoni itu tidak berlubang, datar saja mirip meja.
Yoni jelas sekali simbol perempuan kosmis. Di masyarakat Jawa Hindu, yoni tidak pernah sendirian, tetapi dikawinkan dengan lingganya, sehingga disebut lingga-yoni. Di Sunda, simbol lingga (batu berdiri) dan yoni ternyata dipisahkan, tidak pernah dikawinkan atau disatukan dalam satu wujud struktural. Kesan seksualitas dihindarkan. Meskipun harus dikawinkan atau disatukan, lingga hanya berdampingan rapat dengan yoninya, seperti terlihat di Karangkamulyan dan di situs Kawali. Perkawinan kosmik digambarkan lebih halus, lebih tersamar, dan lebih bersih.
Pagar segi empat adalah simbol linearitas, garis lurus yang jelas awal dan jelas akhirnya. Inilah simbol keterbatasan dari segala sesuatu yang imanen ini. Kalau itu simbol tubuh manusia, jelas awal adanya tubuh dan akhir adanya tubuh pada seorang manusia. Segi empat adalah kefanaan manusia dan dunia ini.
Sementara itu, simbol batu perempuan juga masih dalam struktur segi empat. Akan tetapi, simbol perempuan itu lingkaran yang nonlinear, tidak ada awal dan tidak ada akhirnya. Kalau Anda menunjuk satu titik dalam lingkaran itu sebagai awal, maka itu juga berarti sebagai akhir. Awal adalah akhir dan akhir adalah awal. Itulah kebakaan, keabadian, kesekarangan yang terus menerus, nonlinear, suatu dinamika yang diam dan kediaman yang dinamik. Itulah alam transenden yang paradoksal, yang berarti kesatuan waktu lalu, sekarang, dan akan datang. Juga kesatuan ruang yang di sini dan di sana sekaligus. Di tempat tertentu dan di semua tempat empat penjuru mata angin.
Ada ungkapan Sunda yang berbunyi: kuring di jero kurung, kurung di jero kuring, aku dalam kurungan, kurungan dalam aku. Situs pertama ini mengacu pada ungkapan kuring di jero kurung. Kurungnya adalah bentuk segi empat panjang yang terbagi dalam tiga kotak. Itulah manusia pada umumnya, yakni sukmanya berada dalam tubuhnya. Manusia bertingkah laku secara duniawi, mementingkan tubuh. Hidup demi tubuh, demi keperluan duniawi, sedangkan sukma atau roh halusnya, yang perempuan, berada dalam kurungan tubuhnya. Gambarannya adalah "perempuan dikurung lelaki", atau "yang abadi transenden dikurung oleh yang imanen terbatas".
Situs empat persegi panjang ini merupakan situs terbesar di Karangkamulyan, tetapi yang berisi artefak hanya bagian kotak persegi yang paling dalam, paling utara. Mungkinkah ini simbol ratu? Dalam hal ini adalah tubuh atau badan jasmani raja Galuh-Kawali zaman itu? Karena terdapat beberapa situs lain yang rupanya disusun secara melingkar atau setengah lingkaran, yang mengarah ke kanan, maka konsep ini sesuai dengan pengertian mandala, ruang sakral tempat hadirnya yang transenden di alam imanen ini. Arah mengkanankan pusat (mandala) berarti gerak "naik" dari yang material ke rohaniah, dari materi ke energi gaib, dari badan ke roh atau sukma.
Dan tafsir ini mengarah kepada kenyataan itu. Kalau dari situs pertama ini Anda berkeliling mengunjungi situs-situs yang lain, maka terdapat pagar-pagar kotak batu yang sama mengarah pada bentuk bujur sangkar, dan di dalamnya terdapat artefak-artefak batu berdiri dalam susunan batu datar yang empat persegi panjang. Mirip bentuk kuburan zaman sekarang, sehingga tak heran kalau situs-situs demikian sering disebut sebagai kuburan.
Yang menarik dari deretan rangkaian situs-situs artefak ini adalah yang terakhir, yakni berbentuk lingkaran dari batu-batu yang cukup besar, dan di tengahnya terdapat kotak batu. Jadi kotak dalam lingkaran, kurung di jero kuring. Situs terakhir ini letaknya paling dekat dengan pertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy yang mengapit situs Karangkamulyan. Jadi mendekati dua sungai yang menyatu, yang mengesa. Sungai Cimuntur yang "perempuan", bersih, dan Sungai Citanduy yang "lelaki", keruh. Inilah konsep dualisme antagonistik yang diharmonikan menjadi kesatuan paradoksal, keperempuanan, dan kelaki-lakian.
Perjalanan ziarah Karangkamulyan adalah perjalanan tubuh ke sukma atau roh. Dari kuring di jero kurung menjadi kurung di jero kuring. Dari sukma dibungkus badan menjadi badan dibungkus sukma. Inilah yang di masyarakat Jawa dikenal sebagai meraga sukma. Sukma menjadi badan, dan badan dibungkus oleh sukma. Itulah tubuh spiritual. Itulah tujuan semua laku mistisisme, berbadan roh selama hidup di dunia ini. Itulah yang oleh kaum tasawuf disebut sebagai "mayat yang berjalan". Tubuh ini ditenggelamkan dalam laku atau perbuatan yang semata-mata rohaniah.
Dalam banyak cerita pantun, mungkin inilah "manusia sempurna", "manusia sejati", "dewa kamanusiaan". Inilah sebabnya para pangeran Pajajaran yang menjadi raja-raja (ratu) di daerah-daerah Pasundan mampu menghilang, beralih wujud, terbang, dan menghidupkan orang mati. Raja-raja semacam ini adalah raja yang bertubuh spiritual. Sebagai bertubuh sukma, ia mampu menguasai ruang dan waktu, lepas dari keterbatasan, lepas dari kotak-kotak tubuh ini, lepas dari ikatan kurung. Raja semacam ini menyatukan diri dengan kosmos dan mencapai metakosmos. Yang tidak ada menjadi hadir dalam ada dirinya. Yang transenden mengimanen, yang spiritual menubuh. Itu semua dengan metode mati-raga. Melenyapkan hasrat-hasrat ketubuhan-keduniawian. Menghadirkan "tubuh" yang lain, yakni tubuh sukma, tubuh roh, tubuh yang metafisik. Yang duniawi digantikan yang rohani. Ini juga berarti bahwa the life of sense menjadi the life of spirit.
Ajaran demikian ini mirip dengan tari Panji dalam Topeng Cirebon. Panji yang berkedok adalah kurung di jero kuring. Aku adalah kedok Panji, dan kurung atau badan penari dibungkus oleh kuring. Itulah sebabnya tarian Panji itu paradoks, sesuatu yang out world stillness (tampak) sedang di dalamnya in world work (di dalam yang sibuk). Gambarannya adalah penari berkedok yang diam tak bergerak sedangkan bunyi gamelan riuh rendah dalam irama sangat cepat. Itulah tujuan akhir dari tubuh spiritual, tenang di luar tetapi sibuk kerja di dalam. Kediaman yang dinamik, dinamika dalam kediaman. Konsep paradoks yang sulit diterima oleh mereka yang berpola pikir Aristotelian, yang menolak adanya kemungkinan ketiga dalam dunia kontradiksi. Tidak mungkin yang energi itu juga yang materi, dan yang materi itu juga energi. Paham Sunda lama ini justru menemukan kemungkinan ketiga yang ditolak logika Aristoteles, yakni sukma yang menubuh, energi yang memateri. Seorang yang mencapai tubuh spiritual adalah yang penuh energi gaib tak tampak, penuh kesakralan.
Situs Karangkamulyan mengandung ajaran metafisika tingkat tinggi. Bagaimana gambaran manusia (raja) menjadi bertubuh api ritual agar mendatangkan kesejahteraan bagi rakyatnya (Rama). Ajaran atau metode ini di kuasai oleh mereka yang sudah Resi. Resi, Ratu, Rama adalah kesatuan. Ini digambarkan dalam wujud situs Kawali (Resi), situs Susuru (Rama), dan situs Karangkamulyan (Ratu). Ketiga situs itu berada di sebelah kanan aliran Sungai Cimuntur yang mengalir ke selatan.***
* Jakob Sumardjo, budayawan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009
No comments:
Post a Comment