Sunday, November 22, 2009

[Buku] Pikiran, Ucapan, dan Tindakan JK

-- Veven Sp Wardhana


KOMPAS/PRIYOMBODO

• Judul buku: Solusi JK: Logis, Spontan, Tegas, dan Jenaka
• Penulis: Hamid Awaludin
• Penerbit: Gramedia Widiasarana Indonesia
• Edisi: I, 2009
• Tebal: xxiv + 197 halaman
• ISBN: 968-979-0259-29-4

SELAIN spontan dan cepat, ternyata Jusuf Kalla juga berani dan gamblang dalam menangani setiap persoalan bangsa. Sosok JK, di mata penulisnya, menjadi pribadi fenomenal yang sulit ditemukan pada diri pejabat-pejabat negara saat ini.

Untuk memaparkan isi pikiran dan argumentasi atas tindakan berkenaan dengan suatu peristiwa, ternyata tak harus melalui penulisan buku tebal. Dengan jumlah tak sampai 200 halaman, kita bisa paham apa saja yang bergejolak dalam benak Muhammad Jusuf Kalla (JK), Wakil Presiden RI 2004-2009.

Ada 49 kisah ringkas—rata-rata empat halaman, terpendek satu halaman, terpanjang tujuh halaman—yang memaparkan berbagai hal sepanjang JK menjadi Wakil Presiden, Menko Kesra, dan ”kenangan” saat menjadi pengurus masjid di Makassar. Dari beberapa potongan kisah itu, kita bisa merumuskan kadar keterlibatan JK dalam proses perdamaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Perdamaian dengan GAM

Sebagaimana ditulis Hamid Awaludin, karib JK yang kini menjadi Duta Besar RI untuk Federasi Rusia di Moskwa, tidak sedikit peran JK dalam kaitannya dengan Aceh. Sebelum terca- pai kesepakatan perdamaian GAM-NKRI pada Agustus 2005, JK pernah memanggil Duta Besar Swedia untuk Indonesia. Kata JK kepada Dubes Swedia, ”Hasan Di Tiro dan dr Zaini Abdullah adalah warga negara Swedia, dan Malik Machmud, meski bukan warga negara Swedia, ia tinggal di Swedia. Mereka adalah para pemimpin tertinggi GAM yang menentukan tiap langkah GAM. Bujuklah mereka agar mereka duduk berbicara dengan Pemerintah Indonesia, lalu damai” (hal 19).

Yang terpenting dari salah satu prolog perdamaian itu bukannya permintaan JK kepada Dubes Swedia, melainkan latar belakang pemikiran JK. Seperti dikatakan JK kepada Pak Dubes, ”Indonesia tidak segan memutuskan hubungan bila Swedia tidak mau menangani warganya sendiri yang merugikan Indonesia. Buktinya, kita kan sudah memutuskan tidak lagi memakai produk Swedia. Sedan Volvo buatan Swedia sudah kita ganti dengan Toyota Camry untuk para menteri. Jelas bagi kami di Indonesia bahwa jika Anda tidak mau berteman baik, ya sudah. Kami juga tidak rugi-rugi sekali” (hal 20).

Terhadap GAM yang tak membubarkan diri, bahkan memiliki bendera dan lagu sendiri, JK bersikap santai. Padahal, banyak kalangan menyatakan, pemberian kebebasan itu sama maknanya dengan memberikan kemungkinan Aceh melepaskan diri dari NKRI.

Di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diundang ke rumahnya, JK menyatakan, ”Asosiasi pencinta motor Harley Davidson saja punya bendera, apalagi provinsi. Lagi pula, bukankah kenyataannya sekarang ini tiap provinsi di Indonesia masing-masing punya bendera khas, misalnya DKI memiliki bendera dengan logo Monas. Apa yang salah dengan ini? Kan tidak ada dalam perdebatan itu bahwa Aceh menggantikan bendera Merah Putih?”

Demikian juga soal lagu. ”Kita harus membedakan antara national anthem dengan hymne. Asosiasi penggemar burung perkutut saja punya himne. HMI, PMKRI, Dharma Wanita, dan seterusnya, semuanya punya himne. Masa Aceh tidak bisa punya itu. Lagian, kan mereka tidak menuntut mengganti ”Indonesia Raya” sebagai lagu kebangsaan” (hal 179-180).

Spontan dan gamblang

Terkesan enteng bicara dan spontan kendati pastilah JK tidak asal bicara. Padahal, umumnya pejabat Indonesia justru mengamankan diri di wilayah abu-abu, termasuk bungkam, terutama jika bersinggungan dengan persoalan sensitif.

Saat menghadapi tuntutan sebuah komunitas di Sulawesi Selatan untuk memasukkan syariat Islam ke dalam peraturan daerah, Menko Kesra JK merasa sangat terhina dengan misi komunitas itu. Kilah JK, dengan memasukkan syariat Islam ke dalam peraturan daerah, sama maknanya dengan menempatkan Al Quran dan Hadis sekelas peraturan daerah.

”Syariat Islam tidak lain tidak bukan adalah enam pilar tauhid yang kita semua sudah tahu, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat lima kali sehari, puasa pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, naik haji bagi yang mampu, dan memercayai takdir dan hari kiamat. Sekarang, apakah ada larangan di negeri ini agar Anda tidak mengucapkan dua kalimat syahadat? Apakah Anda dilarang shalat lima kali sehari? Apakah kita dibatasi berpuasa pada bulan Ramadhan? Apakah kita dihalangi naik haji?” (hal 22).

Membandingkan cara pikir dan bicara JK sebagaimana dicontohkan tadi dengan rata-rata pejabat lain, boleh dihitung JK tak sebatas ”encer” bicara, melainkan juga berani menyatakan pendapatnya secara gamblang.

Hanya saja, lantaran berbagai kisah dalam buku ini terkesan dilepaskan oleh penulisnya sebagai penggalan-penggalan pengalamannya, masing-masing kisah kurang menunjukkan kesinambungan benang merahnya. Buku ini juga minim refleksi dalam diri pengisah yang tak lain Hamid sendiri.

Sikap JK atas syariat Islam yang didesakkan sebuah komunitas di Makassar itu sesungguhnya bisa diacukan atau diperbandingkan dengan penerapan syariat Islam di Tanah Rencong, yang belakang hari menerapkan hukuman rajam dalam qanun jinayah atau peraturan daerah tentang kriminalitas.

Perujukan atau pengacuan— bisa lewat pertanyaan Hamid kepada JK—perihal syariat Islam di Aceh itu, menurut saya, mestinya menjadi sebuah keniscayaan mengingat betapa dekatnya JK dengan pelbagai persoalan berkait Aceh. JK-lah yang mengerahkan ratusan pemilik perahu Bugis-Makassar—yang sedang berlayar dekat-dekat kawasan Aceh yang dilibas tsunami—untuk membantu memasok berbagai makanan hingga ke pelosok yang tak mungkin dicapai oleh pesawat dan kapal laut dari negara asing.

Rinci

JK penuh detail atau rincian. Itu sebabnya kisah-kisah ringkas dalam buku ini begitu kaya. Namun, lantaran terlalu rinci, JK kadang terkesan naif. Saat bicara melonjaknya harga cabai keriting menjelang Lebaran, umpamanya. Katanya, naiknya cabai keriting dan lain-lain tadi justru membuat petani ketiban rezeki dan dengan begitu para petani bisa membeli pakaian baru untuk berlebaran. Tak terpikir oleh JK bahwa naiknya harga cabai dan lain-lain tadi merupakan akibat terusan sehingga harga pakaian pun ikut melambung.

Sungguh sebuah kenaifan—jika benar demikian—yang sangat manusiawi. Justru dengan begitu JK jadi tampak jujur dan tak ngotot menjaga citra yang malah memerangkap seseorang menjadi artifisial, tidak meyakinkan, dan palsu.

Kesalahan saya—bukan kesalahan buku ini—adalah saya terlalu berharap JK memaparkan pikirannya sepanjang dia berpasangan dengan SBY dalam membahterai republik ini. Seberapa kesejajaran di antara mereka serta terutama seberapa beda di antara mereka, satu hal yang sesungguhnya mudah terbaca dari pelbagai pemberitaan media.

Saya yakin ada perbedaan mendasar di antara mereka, yang tentunya juga ditangkap Hamid, yang sengaja menyimpan dan tak menuliskannya.

* Veven Sp Wardhana, Penikmat Budaya Massa

Sumber: Kompas, Minggu, 22 November 2009

No comments: