Judul Buku: Santri Eropa
Penulis: Rohman Budjianto
Penerbit: Jaring Pena, Surabaya
Cetakan: Pertama 2009
Tebal: IV+216 halaman
TURKI adalah negeri muslim dengan paham sekuler, paham yang sudah dianut negeri itu sejak masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk. Meskipun 90 persen dari 70 juta jiwa penduduknya adalah musulman (muslim), Turki terlihat sangat berbeda dengan kaum muslim di negeri-negeri sekitarnya. Terutama dalam hal busana. Mereka sangat kental dengan kesan ''kosmopolitan''. Kebanyakan berpenampilan seperti orang Eropa. Kalau dilihat dari segi fisik, memang orang-orang Turki mirip orang Eropa.
Berbeda dengan negara-negara lain yang berpenduduk mayoritas muslim, saat bulan puasa di Turki, kedai dan kafe -bahkan hiburan malam- tetap buka seperti biasa. Warganya diberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri. Namun, meski sekuler, Turki tetap menunjukkan ciri Islam yang bisa kita lihat pada fasilitas umum seperti tersedianya musala (mescit, bahasa Turki). Presiden Turki Abdullah Gul dan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dikenal sebagai muslim yang sangat ''santri''.
Hal unik yang juga bisa kita temukan di Turki adalah adanya aturan yang melarang wanita menggunakan jilbab di kantor-kantor pemerintahan dan perguruan tinggi. Partai ''santri'' yang merupakan partai milik presiden terpilih ingin mengamandemen undang-undang tersebut, tetapi menghadapi tantangan dari penjaga sekuralisme, yaitu militer. Militer Turki memiliki semacam hak veto dalam menjaga garis nasionalisme sekuler dan stabilitas.
Sekolah tidak istirahat pada waktu salat Jumat, tak terkecuali sekolah madrasah. Dengan begitu, murid-murid yang taat bergama harus membolos dari sekolah agar dapat menjalankan ibadah salat Jumat. Warga yang taat sedikit terobati dengan acara-acara TV pada bulan Ramadan. Sebab, sebagian besar TV menayangkan acara-acara Ramazan (Ramadan) seperti ceramah agama dan acara keagamaan lain. Televisi-televisi itu juga menayangkan jadwal buka dan sahur.
Dalam buku ini, penulis juga menggambarkan bagaimana warga Turki sangat menghormati dan mengagungkan sosok Mustafa Kemal Ataturk yang dianggap sebagai ''Bapak Bangsa''. Hal itu bisa dilihat dengan dibangunnya sebuah mausoleum yang sangat megah, tempat jenazah Ataturk dibaringkan. Setiap 10 November sekitar pukul 09.05, setiap warga Turki diinstruksikan untuk mengheningkan cipta karena pada waktu itulah Mustafa Kemal Ataturk meninggal. Sama seperti kita di Indonesia, setiap 10 November juga diperingati sebagai hari pahlawan bagi bangsa Turki.
Kalau di Baghdad, Irak, kita mengenal kisah jenaka Abunawas yang hidup pada zaman Khalifah Harun Al Rasyid, di Turki juga hidup seorang sufi kocak bernama Nasruddin Hoja. Banyak kutipan kisah-kisah lucu tentang Nasruddin Hoja disajikan penulis buku ini. Nasruddin Hoja memang menjadi salah satu ikon bangsa Turki. Namanya tersohor hingga Afghanistan, Iran, dan Uzbekistan. Pengaruhnya bahkan sampai ke dunia Arab.
Pada satu bab dalam buku ini, penulis juga menceritakan kunjungannya ke tempat-tempat bersejarah seperti gua legendaris Ashabul Kahfi, Aya Sofia (katedral yang kini jadi museum), serta Istana Topkapi.
Pelukisan yang juga tidak kalah menariknya adalah berkaitan dengan negara Siprus. Negara itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu Siprus Turki dan Siprus Yunani. Di Siprus Turki terdapat sebuah masjid yang terkenal dan banyak dikunjungi turis asing. Bangunan masjid ini dahulu merupakan katedral yang sudah beralih fungsi menjadi masjid. Keaslian bentuk bangunannya tetap dipertahankan, hanya hiasan-hiasan dindingnya yang berubah.
Sama halnya di Turki, gaya dan penampilan masyarakat Siprus Turki sudah sangat Eropa. Namun, banyak juga wanita yang mengenakan jilbab walaupun tidak sebanyak di Turki. Peradaban Eropa lain yang sudah menjadi bagian hidup di Siprus adalah kasino dan judi. Bisa dibilang, menemukan kasino sama mudahnya dengan menemukan masjid. Warga Siprus Turki tak bangga dengan keislamannya.
Pemandangan yang terlihat di Siprus Turki berbeda dengan Siprus Yunani (Republik Siprus). Di Siprus Yunani, pengunjung tidak bisa menemukan bangunan-bangunan masjid yang banyak seperti di Siprus Turki. Sebagai alat pembayaran, Siprus Turki memakai lira, sedangkan di Siprus Yunani menggunakan euro. Nama-nama toko menggunakan bahasa Yunani. Tetapi, karena bahasa Yunani dianggap terlalu sulit, digunakan juga bahasa Inggris.
Cerita tentang dua bagian Siprus tersebut disajikan dengan sangat menarik sehingga membuat pembaca penasaran dengan fenomena yang terjadi di negara itu.
Dalam kisah Tongkat Musa Ternyata Hanya Sebatang Ranting, diceritakan kemegahan istana sultan yang berisi penuh dengan benda-benda peninggalan sejarah. Terdapat logam kuning kemilau yang berbentuk tangan, mulai siku sampai jemari. Di katalog tertulis: ini adalah tangan Prophet John (Rasul Johannes) alias Nabi Yahya. Selain itu, ada juga benda yang terkait dengan tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Koleksi tersebut berupa Tongkat Nabi Musa.
Membaca buku ini, kita mungkin bisa membandingkan perbedaan gaya hidup masyarakat muslim di Turki dengan Indonesia. Inikah gambaran wajah Islam yang diharapkan oleh dunia Barat?
Buku ini sangat penting, terutama untuk menambah wawasan kita tentang negara-negara Islam. Selain menyuguhkan cerita perjalanannya yang mengesankan, penulis juga memanjakan indra penglihatan pembaca dengan foto-foto yang bercerita tentang lokasi-lokasi eksotis di Turki dan Siprus yang dikunjunginya. (*)
Taufik Suadiyatno, Mahasiswa Unesa, dosen IKIP Mataram, NTB
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 29 November 2009
1 comment:
kuk masih susa y dapetin buku ni d pasaran....hohoho
Post a Comment