-- Budi Suwarna & Ilham Khoiri
AZYUMARDI Azra (54), cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia, menghiasi rumahnya dengan kaligrafi ”al-asma’ al-husna” alias nama-nama Allah yang baik. Katanya, ”Saya yakin, nama-nama indah Tuhan itu bisa melindungi kami sekeluarga.”
Di antara koleksi buku di rumah lamanya yang dijadikan perpustakaan.(KOMPAS/ PRIYOMBODO)
Kaligrafi Arab bergaya Tsuluts itu terukir indah pada sebidang kayu jati. Ukurannya cukup besar, sekitar 1,5 meter x 2 meter. Hiasan yang sekaligus berfungsi sebagai partisi itu tampak menonjol di tengah ruang keluarga.
Tak jauh dari situ, ada dua lukisan dan dua guci. Lukisan dan guci itu juga bertuliskan nama- nama indah Allah. ”Di dalam masih ada lagi kaligrafi al-asma’ al-husna,” katanya sambil menunjuk ruangan lain.
Kenapa Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2007-sekarang) itu tertarik memajang kaligrafi tersebut? ”Nama-nama Allah itu bukan sekadar ekspresi keislaman dan keindahan, tapi juga sarana yang menuntun kami mengingat Tuhan,” tambahnya.
Secara psikologis, katanya, nama-nama Tuhan itu membuat keluarganya lebih nyaman. ”Rumah menjadi sejuk, atmosfernya tidak panas,” ujar Rektor UIN Jakarta (dulu bernama IAIN) periode 1998-2002 dan 2002-2006 ini.
Kami mengobrol di rumah Azyumardi bersama istrinya, Ipah Farihah (50), Kamis (19/11) siang yang gerimis. Bangunan itu berada di perumahan Puri Laras II, Pisangan Barat, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Meski hanya berjarak 200-an meter dari Situ Gintung yang jebol pada Maret lalu, kompleks itu selamat dari terjangan air bah karena terletak di daerah tinggi, yakni di sebelah selatan situ.
Rumah tersebut dihuni Azyumardi, Ipah, dan keempat anaknya sejak tahun 2004. Sebelumnya, mereka tinggal di sebuah rumah besar di luar perumahan Puri Laras II. Rumah lama yang dibeli tahun 1981 dan rumah baru itu hanya dibatasi tembok perumahan dan jalan kecil.
Jarak keduanya hanya sekitar 5 meter. Setiap saat Azyumardi bisa bertandang ke rumah lamanya melalui pintu samping rumah baru. ”Lantai pertama rumah lama saya jadikan perpustakaan. Lantai dua disewakan kepada beberapa mahasiswa kedokteran (UIN),” katanya.
Azyumardi memutuskan membeli rumah itu secara kredit karena rumah lamanya sudah penuh dengan buku. Kami sempat bertandang ke rumah lama itu. Ribuan buku memenuhi beberapa ruangan di rumah itu.
Ditata rapi
Azyumardi memperlakukan rumah barunya dengan cara yang amat berbeda. Dia tidak ingin rumah barunya ”dijajah” belasan ribu buku seperti rumah lamanya. Dia ingin rumah barunya menjadi sebuah hunian yang nyaman dan fungsional.
Rumah itu seluas 160-an meter persegi di atas lahan sekitar 180 meter persegi. Bangunan itu terdiri dari dua lantai ditambah satu basement. Di lantai satu ada ruang tamu merangkap ruang keluarga, minibar, satu kamar tidur tamu, serta satu kamar tidur utama. Kamar utama dilengkapi kamar mandi dan ruang kerja.
Lantai dua terdiri dari empat kamar tidur untuk keempat anaknya dan ruang keluarga. Basement dipergunakan untuk kamar pembantu, ruang makan, kamar mandi, dapur basah dan kering, gudang, tempat olahraga, serta garasi untuk dua mobil.
Azyumardi merancang rumah itu agar lapang dan terbuka. Di ruang tamu di lantai satu, misalnya, dia memasang jendela dan pintu lebar-lebar serta kaca patri besar. Dengan begitu, cahaya matahari dan udara bisa leluasa menerobos ke dalam rumah.
Ruang kerjanya juga dilengkapi sebuah jendela cukup besar. Dia meletakkan meja kerjanya tepat di depan jendela itu. Jika duduk di kursi kerja itu, dia bisa memandang langsung pepohonan dan taman yang tertata di luar rumah.
”Suasana lapang dan terbuka itu penting untuk menjaga pikiran dan jiwa tetap segar. Itu membantu saya menyusun gagasan saat menulis kolom untuk surat kabar atau makalah-makalah panjang.”
Lebih dari itu, keterbukaan itu juga memungkinkan interaksi antaranggota keluarga.
Selain lapang, rumah itu juga rapi. Kursi, meja, lukisan, kaligrafi, dan perabotan di ruang tamu tertata baik dan enak dipandang mata. ”Saya ini orang yang ingin semua hal diletakkan pada tempatnya. Saya tak bisa berpikir kalau tinggal di rumah yang berantakan.”
Buat Azyumardi, rumah barunya cukup menyenangkan meski ukurannya lebih kecil daripada bangunan rumah lama yang seluas 220 meter persegi di atas lahan seluas 320 meter persegi. Di rumah baru itu, pada pagi hari, dia bisa membaca koran di ruang tamu sambil menghirup udara segar. Dia juga bisa olahraga di ruang fitness sambil menonton berita pagi televisi.
Malam hari dia bisa bekerja dengan tenang di ruang kerjanya atau menonton pertandingan sepak bola. ”Hari ini (Kamis dini hari) saya nonton pertandingan Perancis melawan Irlandia. Perancis menang, tapi caranya curang. Bolanya dimasukkan dengan tangan, tapi wasit tidak melihat,” kata penggemar sepak bola itu.
Azyumardi mengaku senang dan cocok dengan rumah dan lingkungan sekitarnya. Selain jaraknya dekat dengan kantornya di Pascasarjana UIN, kawasan itu juga masih rimbun dengan pepohonan. Orang-orang yang tinggal di sana pun, menurut dia, cukup agamais.
Satu hal yang mungkin bisa mengusik ketenangan Azyumardi dan keluarganya adalah sejak tanggul Situ Gintung jebol, kawasan itu terancam kekurangan air tanah. ”Sekarang sudah mulai terjadi. Rumah-rumah yang ada di luar kompleks ini sumurnya sempat kering. Ini tidak pernah terjadi sebelum situ jebol,” kata Ipah.
Sumber: Kompas, Minggu, 22 November 2009
No comments:
Post a Comment