Sunday, November 22, 2009

[Persona] Tantangan: Mendamaikan Dua Soal

HIDUP senantiasa membuka peluang dan kemungkinan. Jalan senantiasa terbuka lebar bagi yang berniat menemukannya. Nasib tidak ditentukan siapa pun, kecuali diri sendiri.

”Ibu saya sudah mendapatkan pekerjaan untuk saya di toko furnitur ketika saya lulus SMP,” kenang Robertus Robet.

Tentu bukan itu keinginan Robet. Si sulung itu ingin terus sekolah. Kecerdasan, dan terutama tekad kuat, membawa dia pada perjumpaan-perjumpaan bermakna yang membuka akses pada sejumlah beasiswa. Semua perjalanannya kemudian seperti meniti setapak demi setapak keajaiban menuju pada pilihan-pilihan.

Jalan yang dia rintis itu seperti membukakan pintu bagi tiga adiknya untuk menyelesaikan pendidikan S-1, sebagian juga dengan beasiswa. ”Ayah saya buruh di bengkel. Ibu saya mengkreditkan barang kebutuhan sehari-hari.”

Sampai Robet duduk di kelas VI SD, keluarga itu terus berpindah dari rumah ke rumah yang mau memberi tumpangan. ”Baru kelas enam, kami punya rumah sangat sederhana sehingga tidak pindah-pindah lagi.”

Tertantang

Entah apakah latar belakang berpengaruh pada nama lahir yang hanya terdiri dari satu kata. ”Katanya, bapak saya punya keponakan yang namanya sama. Dua adik laki-laki saya, namanya juga cuma satu kata. Baru adik bungsu perempuan yang namanya agak panjang,” tutur Robet yang mendapat marga Sitanggang setelah menikah dengan Atnike, aktivis Lembaga Advokasi dan Studi Masyarakat (Elsam).

Akan tetapi, ”Sejujurnya latar belakang sosial keluarga sangat mewarnai pembentukan intelektual saya,” kata Robet, ”Bapak saya, Salvilius Susanto, sekarang usianya 65 tahun, adalah campuran Sunda, Jawa, dan Tionghoa. Ibu, Felicia Susanti, sekarang, 56 tahun, berasal dari keluarga Tionghoa penggemar gambang kromong dan keroncong.”

Dengan latar belakang itu, Robet selalu merasa tertantang untuk menjawab dua persoalan sekaligus identitas dan ekualitas. ”Saya terobsesi untuk bagaimana mendamaikan politics of equality dengan politics of recognition. Itu yang membuat saya kesengsem dengan ideal civic humanism atau republikanisme.”

Pada saat bersamaan, kegemaran mengajar tak pernah ditinggalkan. Maka, ketika ada tawaran menjadi dosen pegawai negeri sipil, ia menerima. ”Atnike yang mengantar tes PNS,” ungkap Robert. (MH/IAM)

Sumber: Kompas, Minggu, 22 November 2009

No comments: