-- Dahono FItrianto & Mohammad Bakir
”SAYA tidak mengira akan sedahsyat ini,” tukas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD di Jakarta, Kamis (5/11), saat ditanya apakah ia sadar implikasi politik dari pemutaran rekaman menghebohkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa pekan lalu.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Langkah majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut dianggap sebagai tonggak sejarah baru penegakan hukum di Indonesia. Banyak pihak memuji langkah tersebut sebagai terobosan menembus kebuntuan pemberantasan korupsi di negeri ini, yang terkait erat dengan dugaan kriminalisasi dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Meski banyak juga yang masih bingung, apa relevansi pemutaran rekaman penyadapan telepon terhadap Anggodo Widjojo tersebut dengan substansi sidang uji materi terhadap Pasal 32 Ayat 1c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Apa sebenarnya yang mendasari MK membuka rekaman tersebut dalam sidang ini?
Bibit dan Chandra itu kan mengajukan uji materi Pasal 32 Ayat 1c itu. Kata mereka, ini diskriminatif, melanggar asas praduga tak bersalah dan asas kesetaraan. Lalu, dikatakan juga pasal ini digunakan orang yang tidak suka kepada mereka untuk merekayasa agar mereka segera menjadi terdakwa.
Lalu, saya tanya apa buktinya ada rekayasa sehingga pasal ini harus diuji? Ada rekamannya, kata mereka. Kalau ada rekaman, bawa ke sini, kita buka. Nah, itu alasan dan relevansinya. Salah kalau orang mengatakan itu tidak lazim dan tidak ada relevansinya.
Jadi bukan disengaja sebagai langkah politik terkait kasus tersebut?
Mungkin berdampak politik, tetapi itu bukan langkah politik sama sekali.
Bahwa ada dampak politik setelah itu apakah dipertimbangkan majelis hakim?
Sudah pastilah. Saya mengira, dampak politisnya hanya akan memberi konfirmasi kepada masyarakat (soal rekaman) dan kemudian akan muncul protes kepada pemerintah agar semua itu diluruskan. Tetapi, ternyata dampaknya luar biasa.
Mahfud kemudian bercerita, malam sebelum sidang terbuka tersebut, ia sempat ditelepon Ketua Sementara KPK Tumpak Hatorangan Panggabean. Tumpak mengungkapkan kekhawatirannya bahwa akan ada banyak orang yang marah jika rekaman tersebut diperdengarkan secara terbuka. Bahkan, menurut Mahfud, Tumpak sempat mengusulkan alternatif pemutaran rekaman tersebut di forum terbatas atau bahkan tertutup hanya untuk majelis hakim saja.
”Tapi saya katakan, persidangan harus terbuka. Karena, menurut Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 40 UU Mahkamah Konstitusi, sidang terbuka itu merupakan syarat sahnya sidang. Masyarakat berhak untuk tahu masalah ini. Ini juga menyangkut masa depan negara,” tandas Mahfud.
Ada yang bilang Anda dapat telepon dari orang Sekretariat Negara untuk tidak membuka rekaman itu?
Sama sekali tidak. Saya jamin tidak ada orang dari Istana maupun Setneg yang pernah ikut campur masalah ini. Hakim konstitusi itu kompak. Tak ada yang menyetujui (sidang) ini tertutup. MK, dengan segala risikonya, akan memperdengarkan (rekaman) ini kepada masyarakat melalui sidang terbuka dan siapa pun tidak bisa menghalangi.
Mahfud mengaku perlu menekankan soal siapa pun tidak bisa menghalangi sidang tersebut karena sempat ada kekhawatiran polisi lebih dulu menyita rekaman itu dari tangan KPK.
”Saya mendapat banyak masukan agar MK segera mengambil rekaman itu sebelum disita polisi. Saya bilang tak usah meski sebenarnya saya khawatir juga,” kenang Mahfud.
Namun, setelah Mahfud berbicara kepada media massa dan menekankan hal itu, opini publik pun memihak kepada MK. ”Presiden juga tiba-tiba memanggil empat tokoh itu, Minggu malam. Saya menangkap itu sebagai isyarat politik. Tidak mungkin polisi menyita kalau presiden sudah bersikap seperti itu,” tuturnya.
Tetapi pertanyaannya, sampai sekarang Presiden kan belum berbuat banyak, kecuali membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) itu? Apa maknanya?
Saya tidak tahu, itu urusan Presiden. Tetapi, kalau saya melihat, ada beberapa kemajuan. Pertama, Presiden kan membentuk TPF, dan TPF itu harus didengar, kan? Begitu MK memperdengarkan rekaman itu, TPF kan ke Kapolri, minta pembebasan Chandra-Bibit. Itu berbuat artinya.
Lalu sesudah Presiden bilang, pejabat yang disebut dalam rekaman itu harus dinonaktifkan, langsung muncul pernyataan dari Kapolri dan Jaksa Agung bahwa keduanya (Kabareskrim Komisaris Jenderal Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga) sudah mengundurkan diri.
Jadi, menurut saya, apa yang dilakukan Presiden ini cukup signifikan. Meskipun itu berdasarkan tekanan opini publik dan tekanan dari anggota TPF, yang mengancam akan mengundurkan diri. Kita tak perlu terlalu pesimistis terhadap Presiden. Pembentukan TPF itu sudah isyarat politik bahwa kasus ini harus diselesaikan.
Mengapa untuk menyelesaikan kasus seperti ini harus keluar usaha yang sedemikian besar, termasuk melibatkan MK dan pembentukan TPF oleh Presiden?
Dari hasil rekaman itu bisa disimpulkan, aparat penegak hukum kita sudah tersandera. Saya yakin lebih dari 100 persen, rekaman yang dibuat oleh KPK itu benar dan asli. Banyak oknum penegak hukum kita yang disandera oleh permainan mereka dengan para markus (makelar kasus) atau cukong perkara.
Itulah sebabnya, kalau menyangkut perkara orang yang punya uang, lalu jadi lama (kasusnya). Saya tidak mengatakan institusi, tetapi oknum yang ternyata tersandera sehingga tak bisa keluar membuat langkah-langkah hukum proporsional.
Mahfud menambahkan, secara pribadi, ia berpandangan positif terhadap Kepala Polri. ”Saya melihat Pak BHD (Jenderal Bambang Hendarso Danuri, Kepala Polri) ini orang baik. Tetapi saya kira dia tersandera oleh sebuah lingkungan kerja. Polisi-polisi bagus lainnya juga telanjur tersandera dan sulit keluar,” papar mantan Menteri Pertahanan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Melihat kondisi para penegak hukum yang tersandera seperti itu, tingkat kerusakan penegakan hukum dalam bidang pemberantasan korupsi itu sudah separah apa?
Tingkat kerusakannya berat. Korupsi sulit diberantas di seluruh Indonesia karena hampir semua lembaga tersandera oleh pengalaman masa lalu. Mau baik itu sudah susah. Taruhlah ada hakim yang sudah niat baik-baik menangani satu kasus, tetapi dia didatangi, diancam akan dibongkar bahwa dulu dia juga pernah melakukan permainan.
Itulah perlunya reformasi dan shock therapy. Hampir semua aparat birokrasi pemerintahan tidak bisa keluar dari penyanderaan tersebut, kecuali melalui jalan darurat, seperti pembentukan TPF, campur tangan Presiden dalam arti positif, peran media massa, lalu penggalangan massa dan penggalangan opini. Jadi, memang tidak melalui proses-proses normal.
Tetapi saya yakin, kalau kita bisa keluar dari persoalan Chandra-Bibit dan Anggodo sekarang ini, jalan ke depan agak mulus. Kalau gagal di sini, ya, kita berat.
Dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta, Mahfud pernah menyebut bahwa hukum di Indonesia terjebak pada hukum formal dan prosedural. Mahfud menambahkan kepada Kompas, hukum pun bisa dibelokkan melalui alasan-alasan prosedural, bukan karena substansi keadilan. ”Membelokkan hukum berdasarkan prosedur itu, misalnya, kalau mau menjadikan orang sebagai tersangka itu lalu dicari-cari dalil hukumnya, contohnya seperti kasus Bibit-Chandra,” kata Mahfud.
Jadi polisi belum menetapkan Anggodo sebagai tersangka sampai hari ini juga karena alasan formalitas itu?
Kalau dalam analisis ilmu hukum yang saya yakini, ya seperti itu. Mereka mencari alasan untuk tidak ketemu pasalnya. Bahkan, orang yang bukan ahli hukum saja bisa bilang gampang untuk menyatakan Anggodo sebagai tersangka. Presiden atau negara tinggal melaporkan Anggodo bahwa dia telah memfitnah atau mencemarkan nama baik Presiden. Itu kalau dipakai kan bisa, wong jelas-jelas ada suaranya.
Tapi polisi berpendapat itu tidak bisa karena diucapkan dalam pembicaraan pribadi di antara dua orang saja?
Tetap saja itu pencemaran. Karena, dia membicarakan sesuatu yang menyangkut martabat Presiden dengan orang lain, hanya kebetulan ini disadap. Orang bicara berdua kalau ketahuan, ya, tetap penghinaan.
Penegak hukum itu mestinya punya sikap menegakkan keadilan. Bukan sekadar yang formal-prosedural seperti itu. Menegakkan keadilan itu selalu sejalan dengan common sense masyarakat. Yang prosedural kalau tidak bernilai keadilan, tidak akan didukung oleh common sense.
Taruhlah kasus Antasari Azhar, itu common sense-nya ketemu, kan? Jadi, orang tidak ribut karena penjelasan logikanya runtut dan cukup profesional cara pembuktiannya meski tentu saja pengacaranya pasti beda sudut pandang. Tapi, common sense masyarakat dalam kasus ini bisa menerima, jadi ya sudah, kita tunggu saja di pengadilan. Kalau (kasus Bibit-Chandra) ini, orang tidak mau nunggu pengadilan karena common sense-nya tidak ketemu.
Saya sendiri sudah declare, MK tidak menegakkan hukum, tetapi menegakkan keadilan. Di dalam keadilan itulah ada hukum. Hukum selalu diartikan dengan UU, tertulis, prosedur, sementara keadilan tidak (cuma itu), tetapi perpaduan common sense dan UU.
Sumber: Kompas, Minggu, 8 November 2009
No comments:
Post a Comment