Judul Buku: Indonesia for Sale
Penulis: Dandhy Dwi Laksono
Penerbit: Pedati Surabaya
Cetakan: Oktober 2009
Tebal: xvi+316 halaman
SALAH satu tugas jurnalisme yang paling pokok dan penting adalah dua hal ini: mencerdaskan publik dan melancarkan kritik alias mengontrol kekuasaan. Ini melekat pada media dan juga jurnalis. Untuk mencerdaskan publik, jurnalis dituntut meramu dan menyuguhkan suatu yang kompleks dan rumit menjadi bahasa sederhana yang bisa dipahami masyarakat luas. Ia harus menulis untuk semua orang. Di sini, jurnalis wajib mengawamkan bahasa-bahasa teknis, tapi tak boleh kehilangan substansi --apalagi terdistorsi.
Tugas ini yang coba dilakoni penulis buku ini, mantan Kepala Seksi Peliputan RCTI Dandhy Dwi Laksono dalam buku dengan berjudul provokatif Indonesia for Sale. Saya menikmati buku ini sebagai reportase hidup penulisnya, khususnya dalam seting waktu antara 2006-2009, ketika ia menggawangi sebuah news room Seputar Indonesia. Pun begitu, ia menyisipkan pengalaman-pengalamannya di masa awal sebagai jurnalis, akhir 90-an. Jadi ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, penulis menggunakan pengalamannya itu untuk mengudar masalah ekonomi politik yang hadir di negeri ini. Kedua, dia membahas sejumlah topik dengan memanfaatkan pengalaman-pengalamannya itu agar dekat dengan pembaca.
Berhasilkah? Saya kira ya, setidaknya dalam mengawamkan topik-topik berat lewat sejumlah tokoh fiktifnya sopir taksi, tukang toilet, tukang parkir, dan mahasiswa. Diskursus neoliberalisme yang sempat mencuat ketika Boediono dipilih SBY untuk mendampinginya maju dalam Pilpresadalah suatu yang lebih mudah dilabelkan pada subjek tertentu ketimbang dipahami.
Peraih penghargaan AJI Jakarta untuk liputan investigasi televise tentang pembunuhan Munir tahun 2008 ini mencari jalan lain untuk menjelaskannya. Lewat praktik kebijakan yang mengejawantah di masa Megawati Soekarnoputri hingga SBY. Lihatlah pada bagian pertama (Orang Awam
Menggugat), bagian kedua (Komersialisasi sampai Mati) dan bagian keempat (Neoliberalisme Kegemaran Republik Indonesia). Tiga bagian ini membuat pembaca ''ngeh'' atas persoalan seperti alasan harga bahan bakar minyak (BBM) naik turun, barang Indonesia tapi harga luar negeri, hingga komersialisasi di bidang pendidikan (makin dikukuhkan dengan terbitnya UU Badan Hukum Pendidikan).
Ia tak sependapat dengan komersialisasi pendidikan yang ditiupkan UU BHP. Baginya ini jelas menghalangi masyarakat -terutama warga miskin-- untuk menikmati pendidikan hingga perguruan tinggi. UU ini memang mengatur bahwa biaya pendidikan yang ditanggung peserta didik tak lebih dari sepertiga, namun tetap saja itu tak menyelesaikan urusan. Rakyat kecil tak bakal mampu menjangkau perguruan tinggi --bahkan andaipun tetap berstatus kampus negeri yang pembiayaannya disuntik dana pemerintah.
Maklum di antara penduduk miskin yang berpenghasilan Rp 20 ribu per hari hanya 3,3 persen yang bisa menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Artinya, keluarga miskin yang tak pernah jadi sarjana, selamanya juga tak akan punya keturunan sarjana? Tak punya cucu dan cicit sarjana (hlm. 206-207).
Penulis menyesalkan sikap PDIP dan Golkar yang tak mau mengambil sikap bertolak belakang dengan Demokrat dalam urusan UU BHP. Maka, ''aku agak heran bila dalam kampanyenya, cawapres Prabowo Subianto menandatangani kontrak politik untuk mencabut UU BHP.'' Produk legislasi yang ikut disetujui oleh partai pasangannya (PDIP). Ketimbang berdebat soal komersialisasi pendidikan, penulis mengajak kita kembali pada konstitusi, yakni alinea keempat pembukaan UUD 1945. Salah satu alasan dibentuknya negara ini adalah untuk, ''mencerdaskan kehidupan bangsa''.
Apalagi pasal 31 menyebutkan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Nah, itu berarti menyediakan pendidikan itu tugas negara. Bukan tugas pasar. Bukan tugas pemodal swasta (hlm. 208). Neoliberalisme adalah paham yang berpangkal pada Friederich August von Hayek dan muridnya Milton Friedman. Keduanya menghendaki kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan peran pemerintah yang minim.
Regulator utama dalam kehidupan ekonomi, apalagi jika bukan mekanisme pasar. Menurut B. Herry Priyono (2007) neoliberalisme adalah bentuk kolonialisasi rangkap dari homo ekonomikus dan homo finansialis.
Yang pertama, kolonisasi homo ekonomikus atas dimensi-dimensi lain hidup manusia. Insting kita akan menghitung untung-rugi menurut seorang kapitalis. Ini kolonialisasi terhadap politik, pendidikan, cara berpikir, bahkan berelasi dengan orang.
Kedua, kolonisasi homo finansialis --menyangkut masalah keuangan-- atas homo realis (nyata). Homo ekonomikus itu berhadapan dengan kalkulasi untung rugi, uang, makanan, perumahan --bagaimana mencukupi kebutuhan hidup. Uang mengolonisasi apa saja yang real dan konkret.
Secara tepat itu dijelaskan Dandhy lewat komersialisasi Pantai Ancol atau Anyer. Ini diceritakan lewat Andre Vitchek, seorang warga asing yang heran atas mahalnya hidup di Jakarta. Bayangkan orang Jakarta bila ingin melihat laut di Ancol saja harus membayar, per keluarga Rp 40 ribu. ''Itu untuk masuk dan melihat laut saja. Apalagi di Anyer, laut dikapling-kapling menjadi hotel atau resor. Nelayan harus minggir di tempat tersendiri'' (hlm. 106). Bagi Andre, pantai yang tak boleh untuk umum itu aneh bin ajaib. Beda dengan Pantai Kuta -sentral kunjungan turis-- yang bisa dinikmati wisatawan kapan saja. Ini juga berlaku untuk parkir dan toilet. Kini nyaris tak ada lagi yang gratis di negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Dengan celetukan khas tokoh fiktifnya, penulis menyatakan sikap atas sejumlah isu, masalah dan kasus yang menghiasi ruang publik. Dia betul-betul meringkus dirinya untuk tak berperan sebagai pakar, kendatipun ia mampu melakukannya jika ditilik dari latar belakang pendidikannya yang jebolan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung serta kelananya ke sejumlah pojok dunia dari Tiongkok hingga Stirling, Skotlandia (seting lokasi film Brave Heart yang menceritakan kepahlawanan William Wallace). Ia memilih jadi jurnalis. Menyederhanakan suatu yang rumit, meski tak lupa menyatakan sikap.
Buat penulis, awam kadang memang terjebak untuk berpikir naif. Namun itu bisa berarti kemurnian, menuntun manusia pada hakikat, pada orisinalitas. Pada sesuatu yang nirkepentingan. Suatu yang murni, yang sederhana dan tidak rumit atau dirumitkan oleh sistem.
Dengan buku ini, ia ingin mencontoh daya magis lagu-lagu Iwan Fals atau Ebiet G Ade: polos, lugas, murni, awam, naïf, tapi menghentak nalar (hlm. 124). Selain itu, buku ini mengingatkan media untuk tidak lupa mengkritisi hakikat sistem (satu hal yang melandasi produk kebijakan ekonomi) dan tak hanya bertumpu pada malapraktik dari dalam sistem yang dianut. Pun demikian, kritik tetap harus diberikan: karena terpedaya untuk mengawamkan topik yang dibahas itu, penulis kerap kali terpelanting untuk melakukan penyederhanaan dan generalisasi. (*)
Samsul Arifin, Anggota Klub film kounoatu dari SCTV
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 08 November 2009
No comments:
Post a Comment