-- Ikranagara
DRAMA ”Kereta Kencana” bukan terjemahan atas drama absurd ”The Chairs” (Ionesco), melainkan karya Rendra yang mendapat inspirasi dari drama itu. Ada memang kalimat/dialog yang dia kutip dari drama itu. Itu pun ada yang konteksnya sudah lain. Yang juga diambil dari drama Ionesco adalah pola penampilan sejumlah tokoh cerita yang imajiner.
Apakah ”Kereta Kencana” bisa dipandang sebagai drama absurd, mungkin perlu telaah yang lebih dalam. Masalahnya, apakah ada pandangan filosofi Absurdisme yang dianut Ionesco (juga Beckett cs) yang menjadi pandangan pengarang absurdis ini terhadap hidup manusia di dunia, dalam karya Rendra itu. Adalah Eric Bentley yang memosisikan penulis naskah drama sebagai the thinker/pemikir berat/berbobot dan dalam, sebagaimana diungkapkan dalam bukunya The Playwright as Thinker. Tapi tentang Absurdisme, filsuf Soren Kierkegaard yang pertama kali melontarkan ide filosofis ini, lalu seabad kemudian disambut oleh Albert Camus dalam karya fiksi (novelnya dan dramanya) maupun esainya, dan akhirnya Martin Esslin secara khusus membahas karya drama penulis/pemikir/filsuf yang berangkat dari atau menggulati pandangan hidup ini dalam bukunya Theatre of The Absurd. Buku Esslin ini menjadi pegangan pokok dalam pembahasan drama absurd: revisinya sudah dilakukan dua kali, terbitan terbarunya 2004.
Statement absurdisme Ionesco yang dinyatakan dalam bahasa teaterikal sebagai penutup drama ”The Chairs” ternyata tidak ada dalam ”Kereta Kencana”.
Pembukaannya juga jauh berbeda:
Dalam ”Kereta Kencana”, drama dibuka dengan kamar tamu yang gelap, dan terdengarlah narasi berisi panggilan kepada Kakek dan Nenek entah dari mana sumber suaranya, mungkin dari balik dunia nyata. Narasi itu menyatakan akan dikirim sebuah kereta kencana ditarik 10 ekor kuda warnanya satu, untuk membawa Kakek dan Nenek pergi, entah ke mana. Mungkin bisa ditafsirkan sebagai narasi Sang Maut atau Tuhan atau lainnya. Setelah itu muncul Nenek membawa lilin mencari-cari Kakek.
Dalam ”The Chairs” drama dibuka dengan setengah terang, dan Kakek sedang asyik memandangi laut lewat salah satu jendela. Nenek khawatir kalau Kakek terjatuh ke bawah dan tenggelam ditelan air mengambang dan berbau busuk dan banyak nyamuknya itu, meminta Kakek untuk meninggalkan jendela dan menutupnya. Kakek menolak! Terpaksa Nenek menarik-narik Kakek. Kakek melawan! Terjadi tarik-menarik yang tentu saja bisa ditampilkan sebagai adegan pembuka yang kocak!
Pada naskah ”The Chairs” memang disebutkan bahwa drama ini ”tragic farce” oleh Ionesco, atau sering kali orang mengatagorikannya sebagai ”tragicomedy” juga.
Dalam ”The Chairs” ada satu lagi tokoh cerita yang tidak imajiner, selain Kakek dan Nenek, sehingga jumlah keseluruhannya ada tiga orang. Dalam ”Kereta Kencana” hanya ada dua saja, yaitu Kakek dan Nenek. Nah, yang ketiga dalam karya Ionesco itu diberi nama Sang Orator. Dia bertugas memberikan semacam pidato kebudayaannya Kakek tentang kondisi kemanusiaan yang universal dari kacamata manusia sebagai the everyman (manusia tanpa karakter pribadi perorangan).
Jadi, kemunculan Sang Orator ini dalam karya Ionesco merupakan kejutan karena tamu-tamu lain yang jumlahnya banyak sampai berdesakan mengisi seluruh pentas itu semuanya imajiner. Mereka semua memang diundang oleh Kakek untuk mendengarkan pidato kebudayaannya Sang Kakek yang akan diutarakan oleh Sang Orator. Saat itulah yang ditunggu-tunggu! Tapi setelah semua hadir, juga Sang Orator hadir, kejutan berikutnya adalah: Sang Orator itu (mendadak?) bisu! Maka dia hanya menyampaikan pidato kebudayaan itu berupa tulisan pada papan tulis saja. Yang ditulisnya hanya dua kata saja: ”Good-bye” dan ”God”. (Sebenarnya isi pidato kebudayaan itu bisa dicari pada buku Ionesco berjudul Notes and Counter Notes.
Bagian penutup drama berupa Kakek terjungkal (bunuh diri?) ke luar rumah lewat jendela: mati! Demikian juga sang Nenek lewat jendela satunya lagi: juga mati! (Dalam ”Kereta Kencana” Kakek dan Nenek mati: kena serangan jantung bareng.)
Selanjutnya dalam drama Ionesco itu yang tinggal adalah sebuah ruang penuh berisi kursi kosong yang tadi dibawa masuk satu per satu oleh Kakek dan Nenek untuk tempat duduk tamu-tamunya yang di akhir cerita semuanya pergi dari ruang tamu ini. Dan, suara-suara kacau hiruk-pikuk pating seliwer yang makin keras menjadi jeritan-jeritan dan hardikan dan sebagainya. Akhirnya disusul dengan suara-suara kacau itu meredup menuju sunyi. Pentas pun kosong persis sebuah auditorium teater setelah sebuah pertunjukan usai dan ditinggalkan oleh penonton.
Itulah sebuah dunia yang kosong dari segala-galanya, termasuk dari makna, setelah semua hiruk pikuk berupa kehidupan berlalu, dalam bahasa teaterikal ala Ionesco.
Nah, seting dekor pentasnya berupa penjelasan secara detail tentang sebuah ruangan bertembok melengkung yang di tengahnya ada pintu besar. Lalu di kiri dan kanannya ada beberapa pintu lagi yang ukuran biasa. Ada satu jendela di kirinya dan satu lagi di kanannya. Di bawah jendela ini masing-masing ada bangku. Di tembok antara pintu besar dan jendela sebelah kanan ada sebuah papan tulis, yang di bawahnya ada sebuah level yang berfungsi undak-undakan bagi yang akan menulis sesuatu pada papan tulis. (Dalam ”Kereta Kencana” seting dekornya tidak dijelaskan secara detail.)
Rumahnya Kakek & Nenek ini berada di sebuah (sisa) pulau yang sempit yang dikelilingi air genangan yang bergabung dengan laut sampai ke kaki langit. Kesannya, inilah hari-hari terakhir manusia di bumi setelah dilanda bencana/banjir global. Maka kota Paris sudah (tenggelam) tidak ada lagi. (Ini mengingatkan kita pada seting kejadian dalam drama ”End game”-nya Beckett. Kekek dan Nenek itu juga mengingatkan kepada Kekek dan Nenek yang berumah di tong sampah dalam drama Beckett itu.)
Endingnya ”The Chairs” memang berupa statement tentang hidup yang sia-sia tak ada artinya. Akan halnya tulisan Sang Orator pada papan tulis, yaitu kata ”Good-bye” dan ”God” itu, cara membacanya punya dua kemungkinan: (1) pilih salah satunya, antara ”Good-bye” atau ”God”, (2) pilih kedua-duanya, yaitu digabungkan menjadi satu kalimat, hasilnya ”Good-bye God”.
Itulah intinya yang ada di dalam drama Ionesco ”The Chairs”.
Sedangkan Rendra dalam ”Kereta Kencana” lain lagi. Bahwa hidup akan berpindah ke tempat yang akan dibawa oleh ”Kereta Kencana”, yaitu suatu tempat yang penuh ”cahaya terang dan kebenaran” yang antara lain menyediakan ruang bagi kenikmatan cinta yang tidak badaniah yang abadi. Sedangkan hidup di dunia ini pun tetap memberikan ruang kepada makna patriotisme, perjuangan menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan segala yang baik. Tampaknya dengan karyanya ini Rendra menyatakan tidak sejalan dengan pandangan absurdisme, termasuk yang ada di dalam karya Ionesco itu. Dengan kata lain, Rendra mengkritisi dengan kreatif karya teks ”The Chairs” itu. Kalaupun hendak dicari rujukannya di dalam percaturan pemikiran filosofis di Barat, maka pandangan Rendra dalam ”Kereta Kencana” bisa diperoleh dalam wacana Eksistensialisme Berketuhanan (Theistic Existentialism) Soren Kierkegaard, yang memandang dalam hidup yang absurd/kosong/sia-sia sekalipun bisa dimungkinkan ditemukannya adanya makna lewat faith alias kepercayaan/keyakinan/ spiritualisme/agama ataupun ideologi sekuler.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalam ”Kereta Kencana” itu diungkapkan pandangan Absurdisme itu dianut oleh Kakek, pada awalnya. Antara lain pernyataannya bahwa hidup ini hampa dan sia-sia dan kosong. Dalam perjalanan cerita di pentas, Nenek berhasil menggiring Kakek memeluk sebuah faith, yang akhirnya Kakek meninggalkan pandangan tersebut, dan yakin hidup ini bermakna.
Nah, apa yang dilakukan oleh Rendra dengan menulis teks kreatif dan kritisnya ini adalah dialog intertekstualnya dengan teks “The Chairs”-nya Ionesco.
Atau, Rendra adalah sebagai salah seorang pembaca (atas tulisan pada papan tulis) karya Ionesco itu menyatakan memilih ”God”. Dan sejalan dengan terminologi dalam wacana post-modern dapatlah dikatakan bahwa sebagai The reader Rendra telah mengambil posisi kritis dan kreatif, alias menjadi The writer. Karena itulah saya menyimpulkan bahwa ”Kereta Kencana” adalah karya Rendra dan bukan terjemahan.
* Ikranagara, dramawan
Sumber: Kompas, Minggu, 15 November 2009
No comments:
Post a Comment