Tuesday, November 17, 2009

Monolog "Burung Merak" dan "Zetan": Cara Putu Mengenang Rendra

[SOLO] Nama besar WS Rendra memang tak terbantahkan. Meski sudah meninggal dunia, dia tetap menjadi magnet bagi penikmat teater di negeri ini. Paling tidak, itu terlihat ketika di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, akhir pekan lalu, digelar pementasan monolog Burung Merak karya Putu Wijaya.

Putu Wijaya dalam monolog "Burung Merak" di Solo, baru-baru ini. (Imron Rosyid)

Gedung Teater Arena yang berkapasitas sekitar 300 penonton itu tak mampu menampung penonton. Sebagian penonton terpaksa merangsek, menduduki lantai dekat panggung. Hebatnya lagi, sebagian besar penonton itu adalah remaja usia belasan tahun. Di samping nama besar Rendra, tentu saja mereka ingin menyaksikan kehebatan akting Putu Wijaya.

Pementasan monolog yang digelar sebagai peringatan 100 hari meninggalnya Rendra ini memang memukau. Aktor serbabisa Putu Wijaya menyihir para penonton dengan dua monolog yang malam itu dia bawakan, yakni Burung Merak dan Zetan. Sebelumnya, dua penyair kawakan dari Kota Solo, Wijang Warex dan Gigog Anurogo membacakan puisi Rendra.

Putu Wijaya mengawali monolognya dengan keluar dari balik layar putih yang disiram cahaya merah. Mengenakan kemeja, kain sarung, dan peci yang semua berwarna hitam, suasana sedih pun menyergap. Sebuah boneka raksasa bergelantung menjadi "teman" Putu Wijaya bermonolog.

"Pulang dari tahlilan 100 hari berpulangnya WS Rendra di Bengkel Teater, pintu rumah saya terkunci. Di teras yang menghadap ke kebun, saya tertegun. Pada salah satu kursi duduk sesosok yang membuat darah saya tersirap. Mas?" kata Putu mengawali kisahnya yang berdurasi sekitar 30 menit ini.

Putu Wijaya lantas membeberkan kenangannya bersama Rendra. Banyak pengalaman yang intinya Rendra mengajarkan untuk melihat sesuatu dengan sudut pandang yang baru. "Saya telah belajar dari kamu banyak hal, dengan cara yang lain. Bisa aneh, nyeleneh, asing, kurang ajar, atau gila, tetapi menjadi baru dan melahirkan kesegaran. Kau mengajak orang untuk total, orisinal, dan otentik," kata Putu.

Dongeng

Rendra tak hanya mengajarkan sudut padang baru. Dia juga mengajarkan untuk berani melawan. Dia berani melakukan interpretasi terhadap banyak hal secara nakal, tetapi benar dan segar. Selalu bersikap kritis karena sastrawan haruslah menjadi pemasok inspirasi kebenaran demi keberlangsungan peradaban.

Kebesaran Rendra itu memungkinkan dia akan menjadi semacam legenda. Kekhawatiran itu dirasakan Putu Wijaya. Kelak, bukan tidak mungkin orang menempatkan Rendra sebagai dongeng. Kelakuan Rendra akan menjadi jauh lebih terkenal daripada pikiran-pikirannya.

"Bagiku, kau sebuah buku pelajaran. Kau memang empu yang tinggal di atas awan yang bertugas seperti polisi lalu lintas pada kebijakan penguasa.. Tapi, kebesaranmu juga musuh, yang harus dilewati oleh seorang kalau ingin berhasil. Seperti yang pernah kau bilang, mengagumi dan menghargai tak boleh sampai menghilangkan sikap kritis," kata Putu Wijaya di atas panggung.

Seusai pementasan, pendiri dan pemimpin Teater Mandiri ini mengatakan, dia sengaja tidak memainkan karya Rendra dalam peringatan 100 hari kematian sahabatnya itu. Alasannya, dia ingin menghidup-hidupkan pemikiran Rendra tidak hanya sebatas karya-karyanya, apalagi dongeng tentang perilakunya. "Jangan sampai anak-anak muda nantinya hanya mengingat namanya, hanya tahu dongeng tentang Rendra atau beberapa karyanya, tetapi pikiran-pikiran Rendra malah tidak diketahui," katanya.

Pementasan di Solo itu adalah pementasan yang ketujuh setelah malam sebelumnya di Yogyakarta. Putu Wijaya dan kawan-kawannya memang melakukan road show di 13 kota. Pementasan pertama diawali dari Bandung dan akan diakhiri di Jakarta, 28 November mendatang. [IMR/F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 17 November 2009

No comments: