MEMASUKI rumah lama Azyumardi Azra di Pisangan Barat, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, seperti memasuki belantara buku. Semua ruangan di lantai pertama di rumah seluas 220 meter persegi itu disesaki deretan rak dan buku.
Di ruang tamu, misalnya, sejauh mata memandang yang terlihat hanya buku. Begitu pula ruang keluarga dan beberapa kamar. Belasan ribu buku itu disusun rapi di rak-rak buku ukuran besar. Deretan rak tersebut menutupi hampir semua bagian dinding ruangan tersebut.
”Di sini ada sekitar 15.000 judul,” kata Azyumardi. Jumlah eksemplar bukunya tentu lebih banyak daripada jumlah judul itu.
Buku-buku itu berisi bermacam tema, tetapi yang terbanyak tentang keislaman, sejarah, politik, dan keindonesiaan.
Semua buku di ruangan itu sudah dibuat katalognya. Untuk itu, dia rela mengeluarkan uang cukup besar.
”Biaya membuat katalog saja sekitar 10.000 dollar AS, belum lagi perawatannya. Tapi, saya mendapat bantuan dari Asia Foundation untuk mengelola buku-buku itu,” katanya.
Guru besar sejarah UIN Jakarta ini mengumpulkan buku-buku tersebut sejak mahasiswa. ”Sekarang saya menahan diri untuk tidak sering-sering beli buku, soalnya saya bingung menaruhnya di mana. Kalau disimpan di rumah baru, tidak mungkin,” tambah lelaki yang menyelesaikan program PhD di Columbia University tahun 1992 itu.
Istri Azyumardi, Ipah Farihah, memang keberatan jika suaminya membawa banyak buku ke rumah barunya. ”Capek ngurus-nya, juga berdebu,” kata perempuan Sunda-Banten itu.
Rumah lama itu juga dimanfaatkan untuk menyimpan kliping-kliping artikel surat kabar tentang dirinya. Sebagian kliping dibingkai dengan kayu dan diletakkan di atas rak buku atau digantung pada dinding layaknya lukisan.
Azyumardi ingin agar buku dan kliping di rumah lama itu bisa dimanfaatkan orang banyak. Karena itu, dia berniat menyulap rumah barunya sebagai perpustakaan. ”Kalau perlu, saya buat museum saja karena banyak juga kliping tentang saya yang bisa dipamerkan,” katanya.
Rumah lama Azyumardi dibangun secara bertahap sejak tahun 1983. Lahan seluas 320 meter persegi itu dibeli tahun 1981 ketika dia masih kuliah di UIN. ”Saat itu harganya baru Rp 7.500 per meter persegi. Sekarang harganya sudah Rp 1,1 juta sampai Rp 1,5 juta per meter persegi,” katanya.
Dia mengenang, daerah permukiman itu masih sepi. Sambungan listrik belum ada. Jalan pun masih tanah, belum beraspal. ”Kalau hujan, tanahnya berlumpur. Kita harus membungkus sepatu dengan plastik biar tidak kotor,” katanya. (BSW/IAM)
Sumber: Kompas, Minggu, 22 November 2009
No comments:
Post a Comment