Friday, November 20, 2009

Budaya Baca-Tulis Guru

-- F.X. Aris Wahyu Prasetyo*

BELAJAR di sekolah cenderung menjadi aliran pengetahuan dengan berbagai teori yang disampaikan guru. Seolah-olah guru layaknya pipa air yang mengalirkan ilmu pengetahuan dari mata air di "pegunungan" atau "waduk" ilmu pengetahuan. Pipa air itu berusaha mengisi otak anak-anak dengan air sebanyak-banyaknya bahkan sampai tumpah ruah airnya. Bisa jadi otak anak-anak itu hancur karena begitu besarnya tekanan air dan begitu banyaknya air yang mengalir. Akibatnya, air dari sumber air pengetahuan itu menjadi sia-sia saja karena terbuang begitu saja.

Bagi guru sendiri pun, serasa monoton dan kaku sekali menjadi sebuah pipa bagi ilmu pengetahuan untuk anak-anak. Seolah-olah semuanya berjalan begitu saja tanpa tantangan dan variasi yang berarti untuk membuat pembelajaran itu menarik, variatif, serta lebih berguna bagi anak-anak dan guru itu sendiri. Pastinya hal itu pun dirasakan oleh anak-anak sehingga yang terjadi adalah pembelajaran standar yang lebih berfokus pada pencapaian skor akhir anak-anak, bukan pengoptimalan proses pembelajaran yang kontesktual, reflektif, dan inspiratif.

Pertentangan Zaman

Sudah waktunya bagi para guru untuk selalu memperbarui kemampuannya dalam mengoptimalkan pembelajaran demi perkembangan anak-anak dalam belajar. Mengandalkan ilmu lama dan pengalaman saja belumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan belajar anak. Sebuah kesadaran yang mesti dibangun adalah anak-anak sekarang memiliki tingkat keingintahuan yang begitu tinggi seiring dengan perkembangan tehnologi yang semakin canggih dan dahsyat ini. Dengan begitu, para guru pun sudah waktunya untuk menggali informasi dan mengaktualisasikannya demi kepentingan desain pembelajaran bagi anak-anak modern itu.

Anak-anak sudah begitu canggih dalam dunia maya (internet) seperti game, jejaring pertemanan (facebook misalnya), browsing, dan blogging. Anak-anak dapat dengan cepat mengakses informasi dari dunia maya. Bahkan pola hidup mereka pun sudah begitu modern yang serbateknologi sehingga berbagai alat elektronik bukanlah hal yang istimewa bagi mereka. Bahkan, mereka pun mulai menikmati euforia zaman, seperti menjadi anak nongkrong, anak gaul, anak mal, dan anak teknologi.

Sebuah kesadaran mesti dibangun bahwa anak-anak berada dalam sebuah ekosistem yang begitu modern dan canggih. Kadangkala benturan terjadi dengan orang dewasa, dalam hal ini guru, karena adanya perbedaan ekosistem dan cara pandang akan hidup itu sendiri. Yang terjadi adalah saling tuduh satu sama lain. Anak-anak akan menuduh bahwa gurunya tidak gaul, gurunya kolot, dan gurunya kuno. Guru-guru pun akan menuduh bahwa anak-anak itu "korban" zaman, anak-anak itu sudah sesat, anak-anak itu dibodohi zaman, dan sebagainya. Yang jelas masing-masing pihak punya pendapat dan penilaiannya sendiri-sendiri yang tidak akan pernah ada kata sepakat. Malah yang terjadi adalah semakin memperuncing pertentangan itu.

Pendidikan seharusnya menghargai adanya perbedaan, bukan malah mempertentangkannya. Pembelajaran pun hendaknya berusaha mengover perbedaan yang memungkinkan terjadinya pertentangan itu sehingga justru menjadi sebuah motivasi untuk saling memperkaya satu sama lain.

'Mewarnai' Pembelajaran

Guru sebagai sutradaranya pembelajaran sudah semestinya mendesain pembelajaran itu menjadi sebuah dinamika yang berwarna dengan perbedaan yang ada. Bagaimana mewarnai pembelajaran itu adalah sebuah tantangan tersendiri bagi para guru untuk menjadikan sekolah bukan lagi sebagai tempat yang monoton dan kaku, justru menjadi tempat yang bergairah dalam keselarasan dengan euforia zaman.

Mengembangkan budaya baca bagi guru adalah sebuah media yang baik untuk menjadikan guru itu terbuka wawasan dan hatinya akan begitu banyak informasi dan pengalaman di luar dirinya. Membaca adalah sebuah jendela yang ampuh untuk melihat begitu luasnya samudera kehidupan, begitu tingginya gunung kehidupan, dan begitu beraneka ragamnya makhluk hidup di dunia ini. Jendela itu mampu menerobos pandangan mata para guru yang selama ini hanya terbentur pada tembok-tembok ruang yang membelenggu.

Pada akhirnya budaya membaca mesti diiringi dengan budaya menulis sebagai sebuah aktualisasi diri pada lingkungan. Menulis adalah sebuah proses pendewasaan diri dengan menuangkan berbagi informasi, ide, pengalaman, dan perasaan untuk siapapun yang ada di dunia ini. Birunya samudera, indahnya gunung, dan beragamnya makhluk yang kita lihat dan rasakan tidak akan disimpan dalam "gudang" keegoisan kita. Dengan berbagi dan mengaktualisasikannya, kita justru semakin diperkaya dan diperbaharui setiap waktu. Ada begitu banyak media untuk menulis seperti media cetak maupun berbagai fasilitas di dunia maya. Kemauan untuk menulis adalah yang utama dan pertama, sedangkan kemampuan akan mengiringinya dalam sebuah proses.

Tatkala para guru mulai menghidupi budaya baca dan budaya menulis ini, euforia anak-anak modern ini akan menjadi sebuah fenomena untuk memotivasi dirinya sendiri untuk semakin tahu kebutuhan anak zaman lewat membaca banyak hal tentang mereka dan akhirnya menuliskannya sebagai sebuah buah ide akan fenomena anak zaman. Bahkan, ada sebuah keinginan untuk semakin tahu secara langsung akan cara padang anak-anak zaman lewat desain pembelajaran yang dilakukan dengan memberi kesempatan anak-anak menuangkan ide dan mengeskpresikannya dalam berbagai bentuk.

Akhirnya, anak-anak justru merasa diperhatikan dan diberi kesempatan untuk berekspresi. Yang terjadi adalah sebuah hubungan harmonis antara ekspresi anak-anak dan apresiasi guru pada mereka. Indah sekali rasanya mewujudkan semua itu di mana perbedaan menjadi sebuah perpaduan estetis dalam pembelajaran. Indonesia berharap! n

* F.X. Aris Wahyu Prasetyo, Tim ISEDP (Indonesian Secondary Education Development Program), pendidik di SMA Kolese Loyola Semarang.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 20 November 2009

2 comments:

Kevin said...
This comment has been removed by the author.
Kevin said...
This comment has been removed by the author.