-- Daoed Joesoef*
SUDAH lama orang membicarakan kebudayaan, sejak ia dipisahkan dari pendidikan dan dikaitkan pada kegiatan kepariwisataan. Menjelang pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II, baru-baru ini, masalah kebudayaan kembali ramai dibahas oleh para budayawan dan pekerja seni, melalui orasi dan forum temu akbar mufakat budaya. Di mana-mana orang mempertanyakan krisis ini dan mencari solusinya. Tidak demikian kiranya di pihak pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Kita tidak boleh tidak peka terhadap gejala yang menyebar ini, apalagi sungguh sangat penting bagi kehidupan human. Karena itu, di mana pun orang mencari solusinya. Kalau ia belum ditemukan, satu hal jelas bagi setiap orang terpelajar, yaitu tujuan yang ingin dicapai. Ia berupa tempat yang diambil oleh budaya, sebagai objek dan subjek dari mutasi besar-besaran dari masyarakat kontemporer serta perluasan akses ke kebudayaan, yang memungkinkan manusia menguasai lebih baik nasibnya, baik individual maupun kolektif. Maka sungguh mengherankan kalau para anggota DPR, sekarang, yang sebelumnya adalah aktivis di bidang kesenian, mendiamkan begitu saja masalah kebudayaan, bagai kacang lupa pada kulitnya.
Masyarakat kita semakin berkembang ke arah instabilitas permanen. Usaha mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi menimbulkan transformasi yang semakin cepat dari peralatan ekonomi. Ia mendorong migrasi penduduk besar-besaran di dalam negeri dan antarnegara, menciptakan massa yang terasing, terputus dari akar tradisionalnya dan mengambang kehilangan pegangan. Ia menggerakkan pembangunan kota-kota, selalu sulit dikuasai. Padahal, kota menjadi ruang hidup sehari-hari, membingkai kehidupan, jadi ruang lingkup budaya, dari sebagian besar penduduk kita. Masih ada pula mutasi psikologis yang diakibatkan oleh pertumbuhan yang dirasakan oleh manusia lebih banyak sebagai hal yang membingungkan daripada suatu kemajuan.
Pada konsekuensi percepatan pertumbuhan ekonomi yang merisaukan di bidang kebudayaan, perlu ditambah kenyataan bahwa kenaikan tingkat kehidupan, yang merupakan buah yang diharapkan dari perkembangan, membangkitkan tuntutan dari berbagai kategori penduduk -terutama pemuda, kaum perempuan, sebagian pekerja- yang mencari akses yang lebih luas ke kebudayaan.
Ada paradoks yang diabaikan atau dengan sengaja ditutup-tutupi. Di negeri yang sedang memacu pertumbuhan ekonomi, di mana kerja semakin lama semakin mengambil tempat yang luas dan penting dalam kehidupan individu, justru ia pula yang paling mengasingkan, kalaupun bukan mengerdilkan personalitas individual. Hal ini jelas dialami oleh pekerja yang tunduk pada sistem pembagian kerja, pembelah-belahan tugas/kewajiban. Ritme mesin diberlakukan pada manusia, mengurangi marjin inisiatifnya dan membiasakannya bersikap pasif. Namun, hal ini lama-kelamaan dialami pula oleh mereka yang diserahi tanggung jawab dalam ekonomi dan administrasi. Kelihatan sekali betapa jam kerja memonopoli jam kehidupan begitu rupa, sehingga kreativitas dari orang-orang yang disebut elite menjadi menurun, belum disebut keharmonisannya berumah tangga atau berkeluarga.
Peran Fundamental
Pembangunan ekonomi, yang sudah digalakkan sejak era Orba, jadi sudah berjalan selama empat dasawarsa, -di sana cepat di sini lambat-, semakin menunjukkan betapa individu dan masyarakat tidak lagi puas dengan kenaikan tingkat konsumsi tanpa gangguan krisis berat, suatu sikap manusia yang menuntut supaya dibangun pula fasilitas yang lebih konsisten dengan aspirasi human yang lebih muluk di atas pangan, sandang, papan dan milik. Berarti, pembangunan kebudayaan bagi individu dan masyarakat tidak lagi merupakan suatu kemewahan, pemanis, dan hiasan dari kehidupan yang melimpah-ruah, yang bisa diabaikan begitu saja. Pembangunan kebudayaan berasal dari kebutuhan hidup individual dan sosial yang dicengkeram oleh transformasi yang digerakkannya.
Maka, gerakan kebudayaan akan menjalankan peran yang fundamental untuk mengimbangi pengaruh destruktif dari pertumbuhan. Gerakan ini perlu dipikirkan dan ditata begitu rupa karena ia harus memungkinkan manusia tidak hanya to have more tetapi juga to be more. Budaya adalah jawaban utama terhadap kebinsgungan manusia modern dan pengisi kehampaan hidupnya sehari-hari.
Transformasi yang sedang berjalan dan kita saksikan, dipandang dari sudut budaya menampilkan tri bahaya, yaitu ia tidak menguasai hubungan antara kerja dan kesantaian (leisure), perkembangan kota, dan penggunaan alat audio-visual.
Teknologi modern kelihatannya menawarkan peralatan mewah untuk berbudaya, demi memperluas akses ke kebudayaan, berkat perangkat elektronik komunikasi baru. Namun, penggunaan benda-benda masinal itu ternyata mengetengahkan lebih banyak masalah daripada memberikan solusi bagi mereka yang sibuk bukan di bidang teknis atau demi keuntungan produksi dan penggunaannya, tetapi yang berkecimpung dalam pembangunan kebudayaan.
Jika mengandalkan peralatan masinal, kelihatannya memberikan solusi yang serba terbatas, karena masalah yang harus kita tanggapi bukan terletak semata-mata di tingkat teknis. Ia terkait, secara lebih mendalam, pada keseluruhan faktor politik, ekonomis, dan sosial yang menentukan kecepatan evolusi dari masyarakat kita.
Pada awal penampilannya, radio dan televisi menjanjikan suatu harapan besar, berupa jendela dunia, akses langsung ke manusia dan karya-karyanya. pendek kata, ke komunikasi universal. Dewasa ini kedua substansi tersebut kadang-kadang menggantikan dunia yang dialami dengan dunia tontotan dan dengan begitu menyebabkan degradasi dari perhatian, ingatan, apalagi pemikiran. Sungguh berbeda dengan menonton pertunjukan wayang dan, di zaman dahulu, menghadiri pergelaran bakaba (berkhabar) atau berbalas pantun atau penceritaan hikayat perang sabil, di ruang terbuka di bawah sinar bulan purnama, yang sarat dengan nilai, berupa pesan moral serta etika dan pendidikan budi pekerti serta norma kekesatrian.
Untung jaringan televisi lewat satelit atau kabel, perkembangan internet dan seluler serta perangkat elektronik, jejaring sosial on line dan magnetoskop individual dapat memberikan kepada setiap orang kemungkinan memilih programnya sendiri dan means untuk menemukan sendiri impiannya melalui gambaran dan suara. Dengan begitu dapat dihidupkan kembali otonomi dan kreativitas. Kerja sama internasional di bidang yang memungkinkan akses ke semua budaya, ke semua kreasi, ke semua pengalaman, dapat menjadi alat/cara dari suatu khasanah baru kebudayaan yang bermanfaat bagi semua orang.
* Daoed Joesoef, alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 10 November 2009
No comments:
Post a Comment