Sunday, November 15, 2009

Buku Elektronik Masa Depan Perbukuan

-- ST Sularto

SEJAK lebih dari 2-3 tahun lalu, Frankfurt Book Fair 2009 (14-18 Oktober) selalu diramaikan ”e-book” (buku elektronik). Kali ini beberapa gerai telah menawarkan perangkat kerasnya (”e-book reader”) seharga sekitar 320 euro (sekitar Rp 4,5 juta).

Perdebatan dimulai dengan pertanyaan, akankah semua buku menjadi buku elektronik? Richard Charkin dari Berlin mengatakan, itulah awal perdebatan yang absurd. Argumen kontra bahwa penerbitan akan selalu mengakrabi teknologi merupakan keniscayaan, seperti terjadi pada koran.

Pengalaman penerbit Bloomberg di Jerman menunjukkan masa depan perbukuan adalah paduan antara cetak, elektronik, dan audio. Pembaca mendapatkan pelayanan lebih baik. Penanganan masalah hak cipta dan terjemahan bersama-sama dilakukan. Fleksibilitas penerbitan buku menjadi keharusan kalau bisnis ini mau sukses. Yang dilakukan adalah mengadaptasi perkembangan buku elektronik dan buku audio (audio book).

Pendapat Charlin dikutip untuk menggambarkan suasana pameran diwarnai antisipasi dunia industri buku. Buku elektronik dan buku audio adalah bisnis perbukuan masa depan di samping buku cetak. Tidak hanya menyangkut pemanfaatan perkembangan teknologi, tetapi juga perubahan kultur, utamanya budaya membaca buku.

Digitalisasi dalam bentuk buku elektronik dan buku audio berkembang berkat temuan internet. Kehadirannya hampir bersamaan. Ketika internet merebak pada awal tahun 1970-an, digitalisasi buku dilakukan pertama tahun 1981 dengan mendigitalkan buku-buku klasik yang sudah menjadi milik masyarakat. Proyek yang dinamai Proyek Gutenberg pada tahun 1971 itu menjadi cikal bakal buku elektronik, disusul tahun 1981 ketika Penerbit Random House menerbitkan kamus berbentuk elektronik dengan judul The Random House’s Electronic Thesaurus (Atep Kurnia, Kompas, 24/10/2009).

Kini buku-buku elektronik terbitan luar mudah diperoleh dari internet. Bagi yang akrab dengan teknologi ini, memperoleh buku elektronik jauh lebih mudah dan lebih menguntungkan dibanding menemukan buku cetak.

Persoalan hak cipta

Salah satu kesibukan pengunjung pameran buku di Frankfurt berkaitan dengan urusan hak cipta terjemahan. Urusannya tawar-menawar harga hak cipta. Negosiasi umumnya menyangkut pencetakan dan royalti. Namun, hampir 90 persen urusannya tidak langsung terkait dengan hak cipta buku elektronik (digital).

Untuk bernegosiasi soal hak cipta, pertimbangan dan urusan menyangkut banyak aspek mulai dari isi buku, percetakan, distribusi, sampai gudang. Hak cipta terjemahan menjadi awal dan akhir pengunjung, khususnya pelaku bisnis buku, termasuk pernak-pernik industri buku. Jangan diremehkan, Indonesia pun mulai bisa menjual hak cipta terjemahan.

Menurut Priyo Utomo dari kelompok penerbit buku Kompas Gramedia, setahun ini perusahaannya berhasil menjual 350 judul ke berbagai penerbit di Malaysia dan Singapura. Frankfurt pun tidak lagi jadi kiblat para penerbit dari Asia, termasuk Indonesia.

Buku elektronik merupakan bisnis masa depan perbukuan, tetapi dalam kontrak-kontrak bisnis di Frankfurt hak cipta buku elektronik kurang diberi perhatian. Padahal, menyangkut royalti penulis, nominal yang diperoleh seharusnya ditambah kalau buku itu berbentuk cetak, elektronik, dan audio. Perhitungan harga hak cipta perlu dibeda-bedakan.

Provokasi itu disampaikan Jane Friedman dari Inggris dalam ceramahnya, sekaligus promosi buku elektronik terbitan Harper Collin, Catch-22 karangan Joseph Heller. Hak cipta elektronik dan audio tidak lagi hanya tambahan. Jual beli hak cipta merupakan sewa yang wajar, tulis Evan Schnittman dari Penerbit Oxford University Press dalam salah satu terbitan berkala pameran. Pembeli hak terjemahan harus mempertimbangkan hak cipta digital. Mereka memperoleh keuntungan dari penjualan buku elektronik maupun buku cetak terjemahannya.

Amazon.com dengan program Kindle-nya mengaku memperoleh banyak uang dari mengunggahkan buku ke internet, begitu juga Google Books. Amazon mengaku sudah lebih dari 200.000 judul buku berbahasa Inggris diunggah ke internet. Ini berarti, penerbit buku cetak yang juga memperbanyaknya dalam elektronik dan digital memberikan harga lebih tinggi dibanding kalau karya itu hanya diunggah ke internet.

Namun, Google menuai banyak protes. Salah satunya adalah protes yang dilakukan kelompok yang mewakili kepentingan 9.000 penulis China. Google dituduh melakukan pembajakan hak cipta dengan mendigitalkan sekaligus menjual bebas di toko buku dan perpustakaan. Para pengarang itu tidak diberi tahu lebih dulu. (International Herald Tribune, 30/10).

Persoalan hak cipta barangkali satu dari persoalan ikutan menyangkut era digitalisasi buku. Era di mana orang semakin banyak membaca buku elektronik sudah diperkirakan. Celah itu ditangkap oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan buku maupun yang bergerak di bidang sarana. Sebuah perusahaan Korea Selatan, yang tidak ada urusan penerbitan buku cetak, rajin menawarkan perkakas e- book reader mungil di salah satu gerai dengan harga 319 euro.

Kasus Indonesia

Ketika buku elektronik sudah berkembang pesat di luar, di Indonesia baru dilirik-lirik beberapa penerbit. Penerbit Mizan, misalnya, pernah membuka akses gratis di situsnya buku berjudul Wasiat Sufi Imam Khomeini kepada Putranya, tetapi kemudian dihentikan. Sesudah itu sampai sekarang belum ada penerbit yang mencobanya lagi.

Departemen Pendidikan Nasional merintis buku elektronik untuk buku sekolah. Maksudnya baik, memurahkan harga buku sekolah dan meringankan beban orangtua untuk biaya buku pelajaran. Program yang diluncurkan dengan Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2008 itu merupakan salah satu bentuk reformasi perbukuan. Pasal-pasalnya menyebutkan antara lain: murid tidak perlu membeli buku, tetapi bisa mengunduh langsung dari internet. Hak cipta sudah dibeli Depdiknas. Penerbit boleh memperbanyak dan menjualnya dengan harga patokan tertinggi.

Bagaimana perkembangannya? Kebijakan itu setengah hati. Penerbit yang dalam kebijakan ini lebih berperan sebagai pencetak buku sekolah enggan mengunduh dan mencetak judul-judul buku yang jumlah halamannya banyak. Mengapa harganya jatuh lebih mahal? Karena tidak bisa menutup harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. Penerbit hanya mengunduh dan mencetak buku-buku berhalaman tipis.

Menurut Setiadarma Madjid, Ketua Ikapi Pusat, kebijakan buku elektronik perlu dievaluasi. Selain tidak tersedia beberapa judul buku pada waktu dibutuhkan, dalam kenyataan tidak semua sekolah punya akses masuk ke internet. Dia mengusulkan, pemerintah perlu tegas mengambil bagiannya. Kalau pemerintah mau menangani seluruh pengadaan buku, silakan, penerbit-penerbit akan mengisi kekosongan buku nonsekolah. Kalau tidak, berikan kesempatan penerbit melakukan terobosan-terobosan tanpa direcoki peraturan-peraturan.

Kasus buku sekolah elektronik sekadar contoh ketertinggalan Indonesia mengadaptasi bisnis perbukuan. Penggunaan kemajuan teknologi informasi untuk membangun peradaban masih lebih banyak dimanfaatkan untuk entertainment. Buku elektronik sebagai bisnis masa depan perbukuan serupa terjadi pada industri media massa: bentuk konvergen-sinergik digital dan cetak masih tertatih-tatih. *

Sumber: Kompas, Minggu, 15 November 2009

No comments: