Sunday, November 29, 2009

[Kehidupan] Terus Berproses atau Mati

-- Dahono Fitrianto dan Ilham Khoiri

KESINTALAN penyesuai atau ”survival of the fittest”, kalimat yang selalu dikait-kaitkan dengan seleksi alam dalam Teori Evolusi Darwin, berlaku juga dalam perkembangan dunia seni tradisi di Indramayu, Jawa Barat. Hanya para pelaku kesenian yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman saja yang akan bertahan.

Beberapa pelukis sedang mengobrol di depan karyanya di Gedung Panti Budaya yang sekaligus menjadi Sekretariat Dewan Kesenian Indramayu di Kota Indramayu, Jawa Barat. (KOMPAS/ILHAM KHOIRI)

Dalam buku Fenomena dan Dinamika Seni Tradisi Indramayu, yang ditulis Supali Kasim, Nurrochman Sudibyo, dan Sapta Guna, disebutkan ada lebih dari 20 kesenian tradisi yang berkembang di Indramayu. Namun, tidak semua jenis kesenian itu masih hidup dalam arti masih terus berkembang dan dibutuhkan masyarakat.

Beberapa nama kesenian itu bahkan sudah menjadi sangat asing karena hampir tidak pernah lagi dipertunjukkan, seperti brai (semacam tembang puji-pujian sufistik), jidur (musik tradisi dengan pengaruh musik Eropa), sampyong (tari adu kekuatan dengan tongkat rotan), dan genjring umbul (musik dan sirkus tradisi).

Penari Arrahim dari Dewan Kesenian Indramayu mengatakan, sebagian seni tradisi asli Indramayu itu terancam punah karena saat ini para pelakunya sudah berusia sangat lanjut dan tidak memiliki generasi penerus. Sementara kesenian yang relatif masih digemari dan dibutuhkan masyarakat harus bersaing keras dengan berbagai bentuk seni modern, seperti musik dangdut, organ tunggal, dan tentu saja hiburan televisi.

Untuk bertahan di tengah kompetisi itu, para pelaku seni tradisi melakukan berbagai strategi. Nargi (45), penari topeng Indramayu di Blok Plumbon, Kecamatan Sukagumiwang, Indramayu, memberi label kelompok tarinya sebagai pengusung tari topeng campursari. Yang dimaksud campursari di sini adalah ia menggabungkan tari topeng asli dengan selingan pertunjukan organ tunggal. ”Orang sekarang mintanya begitu. Kalau saya tidak ngikutin zaman ya tidak laku,” tuturnya.

Dengan strategi itu, Nargi dan kelompok tari Cinta Damai yang dipimpinnya masih bisa menerima tanggapan 3-4 kali pentas per bulan. Bahkan bisa lebih banyak lagi pada masa setelah panen sekitar bulan Desember. ”Sekali pentas tarifnya Rp 3.500.000, sudah komplet dengan organ tunggalnya,” ujar generasi keempat dalam keluarga penari topeng, yang kini menopang hidup sehari-hari dengan membuka toko kelontong dan berdagang padi ini.

Kekinian

Beda lagi dengan yang dilakukan kelompok wayang kulit Karya Budaya di Desa Cipaat, Kecamatan Bongas. Menurut Apin alias Kampling (55), pemain kendang dan pejondol (asisten dalang) di kelompok Karya Budaya, mereka menarik perhatian penonton dengan membuat cerita-cerita baru di luar pakem kisah wayang asli. Saat penonton sudah bosan dengan cerita ”Petruk Jadi Ratu”, mereka membuat certia ”Petruk (di Indramayu disebut Cungkring) Jadi Dukun”.

Ada juga judul-judul cerita carangan lainnya, seperti ”Gareng Mau Sunat” atau ”Durna Insyaf”. Menurut Apin, dengan cara itu, kelompoknya masih bisa terus manggung dan bertahan. ”Sejak Lebaran sampai sekarang, wayang ini tidak pernah libur. Terus ditanggap,” ungkapnya.

Kelompok-kelompok sandiwara juga masih hidup di kalangan masyarakat Indramayu. Terbukti dengan masih banyaknya kelompok sandiwara yang memasang papan nama di pinggir jalan-jalan utama di sekitar Indramayu. ”Ada sekitar 234 grup sandiwara yang terdaftar di seluruh Indramayu, tetapi yang aktif sih bisa dihitung dengan jari,” kata H Suhana (56), pemimpin kelompok Darma Saputra, salah satu kelompok sandiwara tertua di Indramayu.

Suhana yakin jenis kesenian sandiwara ini masih akan terus hidup dan digemari masyarakat Indramayu dan sekitarnya. Dia bahkan mengaku pernah selama tujuh bulan tidak pulang ke rumah karena sibuk berkeliling dari pentas ke pentas di beberapa kota yang lumayan jauh dari Indramayu, seperti Brebes, Tegal, Wiradesa, dan Pekalongan di Jawa Tengah. ”Saya optimis tahun depan bisa lebih baik lagi karena masyarakat sudah makin bosan dengan organ tunggal,” ujar Suhana.

Salah satu kunci masih digemarinya pentas sandiwara ini karena ceritanya yang selalu diperbarui dan diberi konteks kekinian. Dialog antartokoh cerita dalam sandiwara yang tidak diikat dengan skenario yang kaku, membuat sandiwara fleksibel untuk diberi konteks kekinian dengan memasukkan isu-isu yang sedang hangat di masyarakat. ”Saat berkembang isu KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) di masyarakat, saya membuat cerita tentang seorang raja yang menganiaya selir-selirnya. Dari situ, pesan tentang KDRT bisa disampaikan kepada masyarakat,” tutur Suhana.

Lokal

Sekarang ini, Suhana sedang mengumpulkan cerita-cerita rakyat atau babad lokal yang beredar di kalangan masyarakat Indramayu. Menurut dia, hampir semua desa di Indramayu memiliki babad atau legendanya sendiri, yang semuanya menarik untuk diangkat sebagai kisah sandiwara. ”Akhir-akhir ini masyarakat sudah jarang meminta cerita dari masa Majapahit, Mataram, atau Blambangan. Mereka menginginkan cerita-cerita lokal, seperti ’Legenda Situ Bolang’, ’Kisah Arya Wiralodra’, ’Demang Pasekan’, atau legenda terbentuknya desa-desa, seperti ’Pekandangan’ dan ’Juntinyuat’,” ungkap purnawirawan TNI berpangkat pembantu letnan dua ini.

Pengamat budaya Indramayu, Supali Kasim, berpendapat, seni tradisi akan terus hidup di Indramayu karena masyarakat membutuhkannya, baik sebagai hiburan maupun bagian dari ritual tradisi. Berbagai hajatan yang sifatnya pribadi maupun publik, seperti pernikahan, khitanan, ruwatan hingga sedekah bumi, ngarot (upacara menjelang musim tanam padi), mapag sri (ritual menyambut panen), hingga nadran (sedekah laut), selalu dimeriahkan berbagai bentuk seni tradisi tadi.

”Di Indramayu, pentas seni tradisi menjadi perayaan rakyat. Pentas bisa menjadi saluran untuk berekspresi sekaligus pelarian masyarakat dari kesulitan hidup sehari-hari. Dalam pentas, masyarakat bisa bergembira bersama, berkumpul, menyatu, tanpa jarak, tanpa kelas,” papar Supali.

Seni hanya bisa bertahan hidup saat ia terus berproses mengikuti perkembangan manusia yang menciptakannya. Saat seni berhenti berproses, sebenarnya dia telah mati.

Sumber: Kompas, Minggu, 29 November 2009

No comments: