Sunday, November 29, 2009

Mimpi Buruk Sastra di Sekolah

ADA hal yang menarik diutarakan penyair Sunda, Nita Widiati Efsa, dalam diskusi kecil-kecilan dengan penulis mengenai pelajaran sastra Sunda/Indonesia di tingkat SLTP dan SMA. Menurut dia, belajar sastra adalah belajar tentang kehidupan. Berkaitan dengan itu, dalam mengemban tugas sebagai guru bahasa dan sastra Sunda/Indonesia, seyogianya guru tersebut dituntut untuk memiliki pemahaman dan pengetahuan yang luas tentang kehidupan itu sendiri.

Selain itu, katanya lebih lanjut, menjadi guru bahasa dan sastra Sunda/Indonesia adalah profesi yang hebat. Apa sebab? Karena mata pelajaran tersebut menjamah wilayah lain, seperti psikologi, misalnya. Namun demikian, ada kalanya guru bahasa dan sastra tersebut juga sering tidak mengenal, dan bahkan tidak peduli dengan jangkauan kerjanya. "Salah satu alasannya adalah tidak adanya buku rujukan dan buku pendukung lainnya, yang mereka sulit dapat!" ujar Nita menjelaskan.

Apa yang dikatakan Nita memang tidak salah. Pernyataan yang demikian itu, berkali-kali saya dapatkan di berbagai kota, baik ketika menjadi nara sumber dalam acara Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) yang diselenggarakan majalah sastra Horison bekerja sama dengan Ford Foundation, maupun dalam acara lainnya.

Jika memang kendalanya bermuara pada buku-buku teks sastra sebagai rujukan dan buku-buku pendukung lainnya, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana sesungguhnya dengan pengadaan buku-buku sastra yang selama ini diselenggarakan pemerintah lewat dinas terkait?

Lepas dari persoalan tersebut, bukan rahasia umum, kalau penerbitan buku-buku sastra itu sendiri sering dianggap sebagai penerbitan yang merugi. Untuk itu, sangat jarang di Indonesia ada penerbit yang mati-matian mau menerbitkan kumpulan puisi, atau naskah drama dan cerita pendek. Kalau penerbitan novel boleh dibilang cukup marak.

Akan tetapi, persoalannya pengajaran karya sastra, sebagaimana yang saya lihat di buku-buku pelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk anak SLTP dan SMA, bukan hanya novel yang disajikan lewat petikan novel, tetapi juga cerita pendek, puisi, dan naskah drama. Ada kalanya teks sastra yang dipetik dalam buku-buku pelajaran tersebut, tidak dipetik dari buku karya sastra yang bisa dipertanggungjawabkan mutu dan kualitasnya. Adakah hal ini pun terbentur pada sumber-sumber naskah yang dipunyai oleh penulis buku-buku teks tersebut?

Sungguh, pertanyaan demi pertanyaan yang muncul berkait dengan buku pelajaran bahasa dan sastra itu sendiri, pada satu sisi membuat kita bertanya-tanya. Antara lain pertanyaan itu bermuara pada satu soal, misalnya, seberapa sungguh-sungguhkah pengajaran bahasa dan sastra Sunda/Indonesia diajarkan di sekolah?

Belum lagi soal lain, dengan munculnya berbagai kenyataan yang cukup mengejutkan di lapangan, ada kalanya yang menjadi pengajar pelajaran bahasa dan sastra Sunda/Indonesia, bukan dari jurusannya, tetapi dari jurusan yang lain. Kalau si guru tersebut suka karya sastra, pastilah pelajaran tersebut akan menyenangkan. Kalau tidak, bukan rahasia umum, jika pada akhirnya pelajaran sastra dilewat begitu saja. Itulah data-data yang saya dapat saat mengikuti acara SBSB atas ajakan penyair Taufiq Ismail.

Sehubungan itu, saya sependapat dengan apa yang dikatakan Taufiq Ismail, dengan diajarkannya karya sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh pada satu sisi, tidak dimaksudkan agar siswa tersebut menjadi sastrawan. Akan tetapi agar mereka mengenal kehidupan secara luas, sebab di dalam karya sastra ada banyak ilmu pengetahuan, yang tidak hanya berkait dengan nilai-nilai kultural dan moral, tetapi juga dengan nilai-nilai religius, sosial, dan lainnya.

Selain itu, belajar menulis menjadi penting dalam konteks tersebut, antara lain agar siswa bisa mengekspresikan daya nalar dan daya pikirnya dalam bentuk tulisan. Munculnya kendala dalam dunia tulis-menulis itu terjadi karena siswa kurang perbendaharaan kata yang disebabkan malas membaca. "Jadi belajar karya sastra antara lain juga merupakan sebuah rekreasi bahasa. Apalagi bila kita menuliskannya," ujar Taufiq Ismail pada suatu kesempatan di Palembang.

**

KEMBALI ke soal terbenturnya buku-buku teks sastra dan buku-buku pendukung lainnya, dalam kaitan ini kiranya seorang guru dituntut harus kreatif. Ia harus jeli dalam membaca keadaan, yakni dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, semisal karya sastra di koran, atau mencarinya sendiri di situs-situs tertentu lewat dunia maya.

Tentang hal ini pun, kata seorang guru di Kuningan, menjadi suatu kendala, yakni tidak ada biaya untuk itu. Kalau hal ini menjadi masalah, lantas apa sesungguhnya yang dilakukan oleh sekolah dalam memperkaya buku-buku teks untuk perpustakaan sekolah? Betapa benang kusut pengajaran sastra di tingkat sekolah, ternyata cukup pelik juga. Padahal jika mereka ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, ada jurusan sastra.

Saya jadi ingat Rendra dengan kaitan tersebut. Dirinya menyambut baik gagasan majalah sastra Horison yang menyelenggarakan acara sastrawan masuk sekolah. "Hanya sayangnya tidak semua sekolah bisa didatangi oleh sastrawan, karena terbatasnya dana. Jika pemerintah bersungguh-sungguh dengan pendidikan yang satu ini, sesungguhnya acara yang diselenggarakan majalah sastra Horison itu bisa diselengarakan oleh pemerintah di masing-masing daerah!" ucap Rendra pada suatu kesempatan di Bandung.

Sehubungan dengan itu pula, Rendra memberikan saran yang lain, untuk mengatasi langkanya buku-buku sastra di daerah, yakni dengan cara media massa cetak membuka rubrik sastra, yang tidak hanya melulu memuat karya sastra, tetapi juga memuat persoalan-persoalan di sekitar sastra. Antara lain dengan menampilkan tokoh-tokoh sastrawan yang ditulis tidak hanya dari sisi biografinya, tetapi juga membahas karya sastra yang ditulisnya.

Menarik apa yang dikatakan Rendra tadi. Akan tetapi persoalannya, cita-cita semacam itu sangat sulit diwujudkan, mengingat media massa cetak sendiri punya agenda yang lain. Sekali lagi, tampak sangat rumit memang mencari jalan keluarnya. Mungkin ada gagasan lain yang bisa direalisasikan, yakni masing-masing alumni yang sudah punya penghasilan tetap dari masing-masing sekolah, diwajibkan untuk menyumbangkan satu atau dua buku karya sastra. Dengan demikian, guru-guru yang terbentur oleh buku-buku teks sastra dan buku-buku pendukung lainnya bisa diatasi.

Lantas caranya bagaimana? Masing-masing sekolah mengumumkan agar para alumninya menyumbangkan buku-buku karya sastra untuk mengisi perpustakaan sekolah. Tentu saja pada tingkat lebih lanjut, tentu bukan hanya buku-buku sastra yang harus diadakan oleh sekolah, tetapi juga buku-buku lainnya, yakni buku-buku yang bisa mengasah dan menambah pengetahuan si anak didik tentang hidup dan kehidupan itu sendiri dalam pengertian seluas-luasnya.

"Pendidikan humaniora, termasuk pendidikan karya sastra di dalamnya tidak bisa dimistik menjadi nol. Pendidikan budi pekerti itu, antara lain bisa juga di dapat di dalam karya sastra. Jadi belajar sastra itu bukan sekadar belajar apa dan bagaimana metafora, tetapi belajar apa dan bagaimana karya sastra berkait erat dengan kehidupan itu sendiri," ucap Rendra, dalam sebuah acara yang diselenggarakan majalah sastra Horison, di hadapan sejumlah guru di Bandung.

Bagi guru-guru yang hidup di kota besar, mungkin tidak jadi masalah dalam mendapatkan buku-buku teks sastra yang dimaksud. Akan tetapi, tidak demikian dengan guru-guru yang ada di daerah. Kenyataan pahit inilah yang harus segara diatasi, agar pelajaran sastra bukan sekadar pelajaran sisipan dari mata pelajaran bahasa Sunda/Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Mudah-mudahan ini bukan mimpi buruk yang terus-menerus berkelanjutan dari tahun ke tahunnya. (Soni Farid Maulana/"PR")***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 29 November 2009

No comments: