Sunday, November 15, 2009

Burung Merak Putu Wijaya

-- Hikmat Gumelar*

DARI belakang panggung, dari balik layar putih yang sepa-ruhnya memerah oleh semburan cahaya lampu, muncul seorang lelaki memakai sarung hitam, kemeja hitam, kopiah hitam, dan syal abu melilit leher. Untuk ukuran umum lelaki Indonesia, lelaki itu tinggi dan besar. Akan tetapi, saat berjalan membentuk sepatu kuda, langkahnya tampak berat. Badannya tampak rapuh, dan saat berkata, suaranya terdengar mengandung duka. Pelan dan agak serak.

"Pulang dari tahlilan 40 hari berpulangnya W.S. Rendra di Bengkel Teater, Citayam, pintu rumah saya terkunci. Saya terpaksa mengambil jalan samping. Di teras yang menghadap ke kebun, saya tertegun. Pada salah satu kursi, duduk sosok yang membuat darah saya tersirap.

"Mas?"

"Tak ada jawaban. Saya mencoba menenangkan perasaan. Malam sedang di puncaknya. Tetapi ada dering jengkrik yang membuat saya tenang. Saya coba menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang wajar.

"Ada apa, Mas?"

"Tidak ada jawaban. Atau saya yang tidak mendengar. Saya hindari semua pertanyaan di kepala dan menghadapi itu sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan."

"Aku paham. Memang tidak mudah. Buatmu. Juga buat kami. Mas harus pergi. Padahal sejak malam purnama 6 Agustus itu, Mas selalu hadir di hati kami."

Begitulah Putu Wijaya membuka "Burung Merak", monolog yang naskahnya, aktornya, dan penyutradaraannya diborong olehnya. Yang dipanggil "Mas" di teater arena Dewi Asri, STSI Bandung, pada Minggu malam, 8 November lalu, itu tak lain adalah Rendra.

Mengenang legenda

Kita ingat, Rendra wafat pada Kamis malam, 6 Agustus lalu. Akan tetapi, oleh banyak kalangan, ia dianggap tokoh. Hal ini wajar. Sebagai penyair, misal, Rendra tak hanya melejit sejak ia di SMA Santo Josef Solo. Ia pun melakukan hal yang unik dan menciptakan tradisi. Ia mampu menulis puisi lirik dengan baik. Ketika para penyair kita demam puisi lirik sebagai pengaruh dari Chairil Anwar, ia malah menulis puisi-puisi balada. Bahkan kemudian, ia menulis puisi-puisi balada yang lebih terbuka menggugat buruknya kenyataan-kenyataan sosial, dan mengumpulkannya dalam buku bertajuk "Potret Pembangunan dalam Puisi", semula tajuknya "Pamflet Penyair". Antologi ini kontroversial. Tak sedikit sastrawan yang menyesalkan dan mencercanya. Rezim Orba juga panik dan kalap. Tetapi Rendra malah membacakan puisi-puisi dalam antologi tersebut di berbagai tempat, dan sebagiannya di tengah mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.

Dalam hal yang satu ini, Rendra memang sudah terlatih. Saat kuliah di Fasa UGM, ia sudah sohor sebagai deklamator. Menurut Bakdi Sumanto, "pada awal 1960-an, Rendra menjadi tumpuan mahasiswa-mahasiswi untuk mendapatkan latihan berdeklamasi". Pemungkinnya bukan hanya "karena ia mampu mengolah vokalnya sehingga kata-kata yang diucapkannya terdengar distingtif, tetapi yang lebih penting logika larik, frasa, dan kalimat sajak tampak terstruktur dengan jelas". Selain karena Rendra sudah (mulai) terasah sebagai penyair, pun karena ia tengah tumbuh sebagai aktor teater.

Jalan keaktoran Rendra, seperti diakuinya, dibantu Umar Kayam. Saat main dalam "Hanya Satu Kali" yang disutradarai Kayam di tahun 1955, oleh sang sutradara, ia digembleng akting realis. Keaktorannya kian matang saat ia di Amerika Serikat (1964-67), belajar di American Academy of Dramatic Art, tempat antara lain Robert de Niro dan Dani de Vito mempelajari teater. Tetapi Rendra bukan saja seorang aktor yang karismatik. Ia lalu tumbuh jadi sutradara mumpuni dan pendiri kelompok teater fenomenal: Bengkel Teater. Grup ini antara lain menggebrak dengan memainkan beberapa nomor improvisasi (1968), antara lain "Bib Bob", yang lalu beken sebagai "teater mini kata", label yang diberikan Goenawan Mohamad. Memang ada yang mencaci sajian mini kata. Tetapi ini malah membuat bengkel tambah melambung. Pada Maret 1971, Goenawan menulis, seusai itu, tiap pementasan Bengkel di Pusat Kesenian Jakarta, selalu didatangi penonton yang "berbondong-bondong seperti nonton sepak bola--satu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah teater modern di sini".

Rendra juga seorang yang terjun dalam kancah sosial politik. Hal ini makin jauh sekembali ia dari Amerika. Selain karena melihat beragam model gerakan sosial politik, pun selama di sana, ia kecanduan sosiologi dan antropologi, dua ilmu yang memberinya perspektif, motivasi, dan legitimasi untuk tambah mewujudkan komitmen sosialnya yang memang besar. Itulah yang antara lain membuatnya berulang berurusan dengan pihak keamanan. Pementasannya berulang dilarang. Begitu pula buku-bukunya. Bahkan pernah ia sampai dijebloskan dalam bui. Itu pula, saya kira, yang membuat Rendra jadi legenda.

Manusia biasa

Dalam Burung Merak, Putu tampak bersemangat menyemburkan cemasnya akan implikasi Rendra sebagai legenda. Ia menyebut lima kelebihan Rendra, yakni pantang menyerah, berani melawan, gagah dalam kemiskinan, kritis dalam memaknai tradisi, dan selalu menggunakan sudut pandang baru dalam membaca keadaan. Tetapi lima hal yang dinilai Putu penting dan relevan ini bisa lenyap justru oleh pengangkatan Rendra sebagai idola, "simbol perjuangan", "inspirasi kegagahan." Menurutnya, jika demikian, Rendra akan jadi dongeng yang tak habis-habisnya sehingga Rendra sendiri akan habis.

Putu mengajak kita melihat Rendra dengan menggunakan cara pandang baru, hal yang, seperti telah dikata, merupakan salah satu kelebihan Rendra. Adapun cara pandang baru itu adalah melihat Rendra sebagai "manusia biasa dengan segala keterbatasan, ketidakmampuan, kekurangan, bahkan dosa-dosa".

Demi memungkinkan ajakannya disambut, Putu memilih bentuk yang membaurkan main-main dan serius. Rendra dihadirkan dengan menghidupkan boneka putih raksasa buatan perupa Tisna Sanjaya. Boneka yang semula dibuat untuk monolog "Zetan" ini bisa dinaikkan, diturunkan, bergerak-gerak, dan membentuk beragam pose dengan cara menarik sejumlah tali yang diikatkan pada sejumlah bagian boneka seperti dua pergelangan kaki, dua pergelangan tangan, punggung dan bagian belakang kepala. Letak boneka nyaris rapat dengan layar putih. Tetapi boneka ini tak senantiasa berfungsi menerbitkan asosiasi kepada Rendra. Kadang sekadar elemen visual. Kadang sekadar mainan. Putu sengaja memberinya berbagai fungsi. Ia pun sengaja berganti-ganti peran. Kadang sebagai aktor. Kadang sebagai dirinya.

Sebagai aktor, Putu tampak terbiasa dengan bentuk teater rakyat seperti longser. Ia begitu mudah berpindah peran. Memang saat di Bengkel Teater, Putu sohor sebagai jago improvisasi. Dan Teater Mandiri, kelompok teater yang didirikannya sekeluar dari Bengkel Teater, adalah kelompok yang menjadikan improvisasi sebagai salah satu tumpuannya. Tetapi saat bermain di Dewi Asri, tenaga Putu terasa kurang mendukung. Vokalnya juga begitu. Memang ia coba mengatasinya dengan bantuan pengeras suara. Namun, gerak-gerak besar dan menghentak kerap membuat vokal Putu seperti di luar kontrolnya. Putu juga terkesan mau mengandalkan seni rupa. Secara seni rupa, beberapa pertunjukannya memang memukau. Tetapi tata cahaya malam itu terasa belum tergarap optimal. Burung Merak juga terbebani peluang yang disediakannya. Monolog ini menyediakan dirinya untuk diawali beberapa pembacaan puisi oleh siapa yang bukan dari Teater Mandiri. Begitu pula di tengahnya. Hal ini sebetulnya bisa menguatkan Burung Merak jika yang membaca puisi itu menginsyafi dan menguasai hukum permainan Burung Merak. Tetapi mereka seakan melupa ruang tempat mereka membaca puisi.

Meski demikian, sampai usai pertunjukan, saya tak melihat ada penonton yang beranjak dari tempat duduk. Saya tidak tahu pasti sebabnya. Yang terang, hemat saya, menemukan dan menggunakan cara pandang baru adalah hal yang memang perlu, dan bukan saja untuk melihat Rendra, tapi pun untuk melihat kenyataan sehari-hari kita.***

* Hikmat Gumelar, Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 15 November 2009

No comments: