-- Ilham Khoiri & Maria Hartiningsih*
WACANA dan praktik politik kekuasaan yang meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dari warga negara Indonesia terus berlangsung. Saat ini, rasa kebersamaan dan saling percaya (”trust”) sebagai bangsa semakin pudar. Ada apa dengan bangsa ini?
Robertus Robet (KOMPAS/ILHAM KHOIRI)
”Kita telah kehilangan definisi mengenai identitas sebagai bangsa sekaligus konsep hidup bersama sebagai bangsa,” kata Robertus Robet (38), intelektual muda dan dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta.
Robet punya perhatian serius menyangkut soal-soal ini. Bagi dia, kekacauan identitas tentang manusia Indonesia merupakan salah satu simpul penting untuk membedah berbagai persoalan kewargaan kontemporer di negeri ini. Lewat beberapa buku dan sejumlah tulisan, dia menawarkan perspektif yang segar dalam menelisik masalah ini.
Dia punya dua pijakan: sebagai intelektual sekaligus aktivis. Sebagai akademisi, dia tekun mengkaji berbagai pemikiran kebangsaan. Latar belakang sebagai aktivis sejak mahasiswa sampai sekarang membuat gagasan-gagasannya lebih membumi.
Kekosongan identitas
Robet mengingatkan, Orde Baru telah membakukan konsep ”manusia Indonesia seutuhnya yang sehat secara jasmani dan rohani dan mencerminkan nilai- nilai Pancasila”. Model yang dikonstruksikan secara antropologis-politis itu pudar bersamaan runtuhnya Orde Baru. Namun, formula definisi baru yang tepat belum ditemukan. Baik negara maupun kekuatan politik di luarnya tak mampu membangun sistem politik identitas Indonesia sebagai bangsa yang plural.
Dalam kekosongan seperti ini, terjadilah politisasi identitas pada berbagai tingkat. Di level antropologi, antara lain, terjadi perubahan definisi siswa melalui seragam sekolah. Identifikasi agama mulai memasuki wilayah ini.
Pada level psikologis, ukuran kecerdasan ditambahi model emotional spiritual quotient. Di level hukum, banyak undang-undang yang definisinya didasari pada ”akhlak”. Muncul berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur perkara kesusilaan.
Identifikasi manusia ideal pada level kebudayaan pun dikaitkan dengan kesalehan. Tahun 1980-an, sosok laki-laki ideal adalah seperti si Boy dalam film Catatan Si Boy, yang agamis, tetapi terbuka. Sekarang, sosok itu mengacu kepada tokoh Fachri dalam film Ayat-ayat Cinta; yang saleh, menikmati dunia luas, memilih cinta sekaligus berpoligami.
Di bidang politik, ”Kalau Mohammad Hatta memaknai jabatan di pemerintahan sebagai kepercayaan untuk membangun negara, kini jabatan secara implisit lebih mengedepankan agama dan suku. Warga yang baik bukan ditentukan kiprahnya di dunia publik, tetapi ditentukan oleh ’kesalehannya’”.
”Semua peristiwa ini bermuara pada suatu lokus tubuh kepolitikan tentang siapa orang Indonesia. Secara formal, ada kekosongan konsep. Namun, secara politik, terjadi politisasi identitas secara gencar. Terjadi kontestasi identitas soal manusia Indonesia.”
Apa akibat dari semua ini?
Kalau tak ada definisi identitas manusia Indonesia, bakal berkembang rimba definisi. Kita kehilangan kesadaran berbangsa, mencakup solidaritas, toleransi, dan trust. Tak ada lagi nilai bersama yang universal dan mengatasi semua perbedaan.
Di tingkat lebih rendah, kita kehilangan cara memandang ”liyan” atau ”the other”. Akhirnya kita hidup sebagai kerumunan. Semua serba terfragmentasi dalam partikel-partikel kecil yang saling tak peduli. Ini disebut atomisasi atau individualisasi. Orang tak lagi menemukan ruang di luar dirinya untuk berdialog.
Gejalanya tampak jelas. Di kota besar, ada orang tua sakit dan meninggal tanpa diketahui. Ada satu keluarga bunuh diri karena tekanan utang, ada pemulung yang membawa jenazah anaknya dalam gerobak karena tak punya uang untuk dikuburkan di Jakarta. Sekolah dan rumah sakit pun dirampok.
Demokrasi ”somplak”
Menurut Robet, atomisasi paralel dengan pengentalan identitas dalam kelompok primordial. Orang menunggalkan identitas tertutup dan menolak yang dianggap lain atau berbeda dari diri dan keyakinannya.
Contohnya, kelompok Ahmadiyah yang terdesak dan dipaksa meninggalkan sistem identifikasi dirinya.
”Sebagai bangsa yang plural, semestinya perbedaan bukan untuk saling menghancurkan, tetapi untuk menciptakan ruang dialog yang terus-menerus,” tegasnya.
Contoh lain adalah upaya mendefinisikan perempuan sebagai sarang dosa dan kelaknatan. Semangat itu tampak di sejumlah peraturan daerah.
”Selama ada kehendak menyingkirkan perempuan dari kehidupan politik atau publik, moralitas demokrasi kita sebenarnya masih somplak, growong.”
Rezim kesalehan bergerak secara paralel dengan persoalan laten yang tak bisa dituntaskan, seperti kemiskinan, wabah narkoba dan penikmatan duniawi yang berlebihan dalam masyarakat konsumtif baru.
Kalau situasi ini dibiarkan terus, apa yang terjadi?
Kalau substansi Republik Indonesia hilang, kita tinggal tunggu waktu. Indonesia sebagai bangsa yang bercita-cita melindungi segenap tumpah darah, kemerdekaan, kebebasan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa akan sirna. Nama Indonesia mungkin masih ada, pemilu dan pilkada terus berlangsung dan pemimpin berganti-ganti, tetapi hakikat bangsa Indonesia sudah rontok, melenceng dari cita-cita awal.
Jatuhnya republik
Robet yang mengagumi pemikiran filsuf Hannah Arendt tentang kewargaan yang baik, khususnya dalam The Human Condition (1958), mengamati, praktik-praktik politik saat ini telah melupakan segi paling fundamental dalam pendirian negeri ini: mengapa kita membentuk republik.
Republik berasal dari kata res-publica, yang berarti kerangka kebersamaan untuk suatu kemaslahatan bersama. Warga terlibat secara bebas dan setara dalam mempertahankan keutamaan umum. Identitas warga tak ditentukan identitas komunitas etnis, ras, atau agama, melainkan oleh penerimaannya pada kesadaran solidaritas bersama yang menjunjung keutamaan umum.
Mengutip penjelasannya di dalam Prisma (Juni 2009), di dalam republik, identitas warga tidak ditentukan oleh identitas partikular dan kehidupan religiusnya. Seorang agamis dan nasionalis yang berapi-api, tetapi korup, rasis, diskriminatif, dan menghalalkan kekerasan jelas bukan warga yang baik di dalam republik.
Jatuhnya republik ditandai dengan hilangnya politik dengan ”p” besar, yaitu politik yang dilandasi perjuangan untuk kepentingan bersama. Yang berlangsung sekarang adalah politik dengan ”p” kecil, yang rutin dan bergerak untuk kepentingan individu, kelompok, dan bisa dipertukarkan; tak lebih dari semacam transaksi, pasar.
Robet menegaskan, kosakata politik sudah lama kehilangan virtue, yaitu keutamaan atau kebajikan politik dengan keyakinan yang dipilih adalah benar dalam kacamata publik. Semangat itu justru muncul pada perjuangan prakemerdekaan sebelum Proklamasi 1945.
Ranah politik sekarang juga kehilangan kaum intelek. Mereka malah terjebak dalam arus kapitalisme dan industri yang mengomodifikasi gagasan-gagasan intelektual menjadi tontonan. Diskursus berubah menjadi celebrity chat show yang dangkal.
Rehabilitasi
Tak bisa tidak, pengertian politik harus direhabilitasi. ”Kita perlu mengembalikan kerangka bersama sebagai fondasi politik dalam esensi republik. Harus didorong tumbuhnya kebajikan politik yang lebih mengutamakan kepentingan publik,” ungkapnya. Pelupaan politik dengan ”p” besar harus segera diakhiri.
Siapa yang melakukan semua itu?
Sulit berharap kepada kaum politisi yang sibuk berpolitik dengan ”p” kecil. Kita membutuhkan kerja para aktivis politik yang menghuni politik dengan ”p” besar untuk menjadi agen perubahan. Mereka adalah kaum perempuan, kaum intelektual, aktivis mahasiswa, atau organisasi sosial. Mereka diharapkan memperjuangkan kebaruan untuk mengembalikan gagasan ideal mengenai republik.
Seberapa besar kemungkinannya?
Siapa menduga Barack Obama bisa menjadi presiden di negeri yang secara resmi pernah menganggap orang kulit hitam sebagai budak? Kita harus tetap optimistis.
Selama ini kita berpikir, politik hanya berpusat di tangan partai politik dan pemerintah. Namun, respons rakyat terhadap kasus KPK-Polri dan Kejagung menunjukkan masih ada kegairahan yang menghendaki perubahan di luar pentas formal. Gerakan LSM, mahasiswa, berbagai kalangan melalui berbagai media, termasuk facebook, tiba-tiba muncul ketika seluruh infrastruktur formal politik beku.
Bisakah partai politik diandalkan?
Partai politik sekarang sudah menjadi semacam perusahaan keluarga. Kalau mau demokrasi lebih baik dan kehidupan ideal republik berkembang, parpol perlu dibenahi secara internal sekaligus dihadapkan pada kepentingan publik luas. Dalam peristiwa sidang dengar pendapat Polri, kita lihat bagaimana suara Komisi III DPR ditantang aspirasi publik.
***
Biodata
• Nama: Robertus Robet
• Tempat/tanggal lahir: Tanjungkarang, Lampung, 16 Mei 1971
• Keluarga: suami dari Atnike Nova Sigiro, MSc, ayah dari Iyan Vidia Prasada (4 bulan)
• Pekerjaan: Dosen pada Universitas Negeri Jakarta dan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
• Pendidikan:
S-1 (FISIP Universitas Indonesia, lulus tahun 1996), MA dalam bidang Teori Politik, POLSIS, Birmingham University, Inggris (2001-2002), Doktor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (lulus tahun 2008), dengan disertasi ”Pandangan tentang yang Politis: Tanggapan terhadap Konsepsi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek”
• Pengalaman, antara lain:
Wakil Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1996-2003), bekerja untuk Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 (1999), bekerja untuk Tim Pencari Fakta Kekerasan Pasca-Jajak Pendapat di Timor Lorosae (2000), anggota Badan Pendiri Imparsial dan Associate Scholar pada Brighten Institute
• Buku, antara lain:
”Republikanisme dan Keindonesiaan: Sebuah Pengantar” (buku, terbit, 2007), ”Politik Hak Asasi Manusia dan Kritik Atas Transisi di Indonesia” (buku, terbit 2008), ”’Demokrasi dan Kekosongan Politik’ dalam Kembalinya Politik”, ed, Robertus Robet dan Ronni Agustinus (2008)
Sumber: Kompas, Minggu, 22 November 2009
No comments:
Post a Comment