Saturday, November 14, 2009

Memerintah Tanpa Budaya (Lagi)

-- Saifur Rohman

KABINET Indonesia Bersatu II 2009-2014 secara mengejutkan tidak lagi menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tetapi kini berada di bawah Menko Perekonomian. Jika strukturisasi kabinet adalah sebuah refleksi dari sistem pemikiran tentang idealitas pemerintahan, dengan kebijakan itu, unsur ”kebudayaan” tampaknya telah dianggap sebagai substruktur yang tak jauh berbeda dengan ”pariwisata”.

Dalam kacamata kuantitatif, konsepsi kebudayaan itu hadir sebagai entitas mikro dalam desain pembangunan nasional. Bacalah, anggaran belanja yang tertuang dalam RAPBN tahun 2010, memberikan alokasi dana kepada kebudayaan sekitar Rp 300 miliar (0,028 persen) dan kesenian sekitar Rp 78 miliar (0,0074 persen). Bisa dikatakan sama dengan tahun sebelumnya.

Jika pembangunan kebudayaan merupakan bagian kecil dalam desain pembangunan nasional, penting kiranya menanyakan kembali orientasi pemerintahan masa kini. Bagaimana rupa pemerintah tanpa budaya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dibangun tanpa fondasi strategis terkait dengan kebudayaan?

Budaya sebagai alas

Penelusuran di dalam rumpun ilmu sosial, khususnya sebuah teori ekonomi, akan didapat istilah corporate culture sebagai titik orientasi kinerja seorang karyawan dalam praksis kerjanya sehari-hari. Demikian pula, teori kepemimpinan memberikan istilah transformational leadership dalam setiap organisasi untuk mewarisi semangat yang dibentuk para pendiri perusahaan.

Teori politik yang dikembangkan Hannah Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1976: 89) memperlihatkan integrasi sosial di dalam sebuah pemerintahan haruslah diikat dengan ”sebuah ketundukan terhadap identitas yang terus diperkuat oleh penguasa”.

Ikatan-ikatan inilah yang menjadikan sebuah negara-bangsa bisa didirikan. Eksplisitasi di dalam anggaran dasar yang disebut dengan undang-undang dan semboyan yang disebut dengan falsafah bangsa adalah orientasi kultural yang didesain sejak awal pembentukan negara. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan falsafah ini sesungguhnya lebih penting dari kebutuhan apa pun di republik ini.

Tinjauan pembangunan kultural dari masa ke masa memperlihatkan adanya upaya yang sangat luar biasa membangun kebudayaan sejak awal. Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-12 memperlihatkan konsepsi kebudayaan melalui dharma sebagai pengabdian kepada Syiwa Buddha. Raja Hayamwuruk sebagai pelindung negeri dan abdi yang menyejahterakan rakyat selalu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk ”menyembah Syiwa Buddha”.

Demikian pula, Kerajaan Islam pada 1478 dalam chandra bumi sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478) meninggalkan kebudayaan intangible bagi generasi-generasi sesudahnya. Istana kerajaan Raden Fatah tidak ditemui, tetapi Masjid Demak membawa ikon tentang kebudayaan Islam masa lampau yang terpelihara hingga kini.

Fotokopi budaya kolonial

Di bagian lain, pemerintahan Hindia Timur Belanda, yang berada di bawah Kementerian Tanah Jajahan, telah membawa kultur baru dalam pembentukan sistem kebudayaan. Sebagaimana garis kebijakan Kementerian Kolonial di The Haque (Den Haag), penerapan kebijakan di tanah jajahan haruslah dilandasi oleh hadirnya kekuasaan ”misterius” yang mampu memaksa para warga koloni untuk tunduk dan patuh.

Sistem cultuurstelsel (tanam paksa), landrente (pajak tanah), sistem onderneming (perkebunan), dan poenali sanctie (hukum buruh) dalam kebijakan perburuhan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu telah memengaruhi pola pikir masyarakat kolonial tentang idealitas-idealitas sebuah kebudayaan. Artinya, kebudayaan haruslah di bawah kendali sistem perekonomian yang memiliki orientasi jelas, yakni orientasi kapitalistik yang menghamba terhadap keuntungan.

Kita berada pada sebuah masa ketika gerakan angka-angka dalam statistik ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan. Dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanyalah masalah kuantifikasi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Persoalan-persoalan identitas keindonesiaan, semangat kebersamaan, keadilan sosial, dan pelestarian filsafat bangsa pun tertinggal sebagai bagian dari kurikulum tua yang tidak pernah diperbarui di dalam sistem pendidikan kita.

Lebih dari itu, pembangunan kebudayaan dalam strategi pemerintahan seperti barang apak yang disimpan di gudang tua tak tersentuh. Sampai lima tahun lagi. Setidaknya.

* Saifur Rohman, Pengamat Seni dan Budaya, Alumnus Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, menetap di Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 14 November 2009

No comments: