-- Lie Charlie*
BELAKANGAN ini, hal yang paling dirisaukan penilik Bahasa Indonesia, baik akademisi maupun amatir adalah munculnya kata dan istilah liyan – terutama Inggris – dalam pertuturan atau penulisan Bahasa Indonesia. Kenapa, oh, kenapa, harus menggunakan hi guys, jealous, see you, keep Bandung clean, go green, tribute to Chrisye, sorry, honey, feats Luna, dan ML? Jawabannya simpel saja, karena itu cool, keren.
Bahasa berkembang mengikuti pergaulan. Hanya orang yang sering bergaul akan banyak bicara. Nongkronglah dua jam di sekolah favorit atau kampus termasyhur, maka kita bisa mendengar dan mengetahui kecenderungan berbahasa anak-anak muda zaman sekarang. Mereka tidak dapat dilarang. Kita juga tidak mungkin memperbaiki bahasa orang lain dalam pergaulan, kecuali dalam kelas. Lagi pula, bahasa adalah hak penuturnya. Kalau Santi pesan, "Entar jemput aku, ya, after lunch, please…" Lantas kita mau bilang apa, kecuali menjawab, "Yes, babe, gue jemput, take care, ya, muaaah…"
Selama dilakukan secara akurat, pemungutan dan penyisipan kata asing dalam tuturan atau tulisan Bahasa Indonesia sebenarnya tidak terlalu merisaukan. Anggap saja fenomena itu semacam gaya bahasa. Karena expired sama maknanya dengan kedaluwarsa, maka keduanya dapat dipertukarkan dalam langgam bahasa informal. Tinggal memilih kata yang paling disukai dan paling mudah diucapkan setepatnya.
Tentu saja kita tidak boleh meninggalkan pelajaran dan pengunaan Bahasa Indonesia baku yang sesuai dengan kaidah tata Bahasa Indonesia. Ibarat memakai baju, pokoknya kita kudu tahu kapan harus memakai seragam dan bilamana boleh memakai rombengan. Dominasi budaya Barat membuat kita tidak mudah berpaling dari kata-kata printer, qwerty, hybrid, atau push mail, biarpun telah berhasil menerjemahkan masing-masing istilah tersebut.
Imbuhan nasal
Hal kedua yang tercatat merisaukan banyak pengamat Bahasa Indonesia, baik kalangan pendidik maupun ayah dan ibu adalah manipulasi pemakaian imbuhan. Kita sering sekali menggunakan kata-kata seperti: ngebantuin, ngeduliin, nyambi, nyoba, teristimewa dalam bahasa lisan. Mengapa? Tidak tahu. Mengapa anak muda ngeberantakin rambut mereka (lihat Viera)? Mengapa om-om suka pakai pomade (minyak rambut yang seperti lem)? Tidak tahu.
Sesungguhnya "awalan" ng- dan ny- memang dikenal dalam Bahasa Indonesia, yaitu sebagai nasal atau bunyi untuk memperlancar pengucapan. Awalan me- sendiri memiliki alomorf berupa menge- dan menye-, sedangkan "akhiran" -in disinyalir merupakan hasil pengaruh dari dialek bahasa Betawi alias Jakarta. Biasa, semua orang ingin mengikuti gaya berbahasa orang ibu kota agar dianggap gaul, maka tak heran semakin banyak orang mencoba menggunakan "akhiran" -in, alih-alih akhiran -kan.
"Akhiran" -in juga sudah mendesak partikel -lah. Perhatikan bahwa penutur Bahasa Indonesia kini lebih memilih kata-kata biarin, cobain, tungguin daripada biarlah, cobalah, tunggulah. Dalam masalah ini, apakah kita harus risau? Apabila penutur Bahasa Indonesia masih memahami bentuk-bentuk yang benar, kiranya kita tidak perlu terlampau risau.
Apa artinya?
Hal ketiga tidak merisaukan ahli bahasa, melainkan penutur Bahasa Indonesia yang malas membuka-buka kamus. Apa itu proliferasi dan nonproliferasi, mitigasi, evakuasi, justifikasi, segragasi, klarifikasi, atau penyelidikan yang ternyata berbeda dengan penyidikan? Sengaja di sini tidak dijelaskan makna kata-kata tersebut supaya mereka yang tidak mengerti mencarinya dalam kamus. Tidak menemukannya dalam kamus bahasa Indonesia? Cobalah buka kamus bahasa Inggris. Reka-reka saja bentuk kata-kata tersebut dalam ejaan bahasa Inggris. Mitigasi, umpamanya, carilah pada entri mitigation. Tidak ada? Mungkin mitigate?
Ada kalanya Bahasa Indonesia perlu menyerap kata liyan agar tidak teralienasikan dari bahasa utama dunia, baik melalui penerjemahan murni maupun alih ejaan. Sejauh kita pandai mempergunakannya, kata-kata serapan bersifat memperkaya bahasa Indonesia dan bagus-bagus saja. Jangan risau, tunggu saja. Kata-kata tak penting, walaupun beraroma intelek, lama-kelamaan akan tereliminasi dengan sendirinya.
Bahasa menyangkut dua aspek: lisan dan tulis. Menilai dan memperbaiki bahasa lisan, tentu saja, jauh lebih sulit, karena orang yang tidak sekolah pun dapat berbahasa lisan. Jadi, sebaiknya kita tidak terlalu merisaukan bahasa lisan, sebab tidak kuasa memperbaikinya. Kita tidak mungkin menatar bahasa lisan, sebutlah, 50 juta penduduk Indonesia. Kalau merisaukan hal ini, kita bisa masuk rumah sakit jiwa. Biarlah mereka yang berniat memperbaiki bahasanya belajar sendiri. Kalau mendengar Roy ngambek, "Elo ngertiin gue dong, kudu bisa ngerasain perasaan gue…", cukuplah mengurut dada. Jangan berkomentar, "Apem kali, dirasa-rasa!" Sebab, nanti bisa berkelahi.
Bahasa tulis relatif lebih gampang diluruskan. Mereka yang bisa menulis lazimnya pernah bersekolah, sehingga seyogianya, sedikit atau banyak, sudah belajar Bahasa Indonesia formal. Masalahnya, kalau subjek-predikat-objek pun mereka tidak tahu, dari mana kita mesti memulai? Maka risaulah kita.***
* Lie Charlie, penulis sarjana Bahasa Indonesia.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment