Sunday, November 01, 2009

[Buku] Memetakan Birokrasi Berbasis IT

Judul Buku : The Information Revolution and Developing Countries
Penulis : Ernest J. Wilson III
Penerbit : The MIT Press, AS
Cetakan : Pertama, April 2009
Tebal : xiv + 431 halaman

Rosdiansyah, koordinator Surabaya Readers Club
PENGGUNAAN information technology (IT) di negara-negara berkembang sudah semakin pesat dan memasuki berbagai kebutuhan. Termasuk di Indonesia, pemakaian perangkat canggih berteknologi komputer jejaring itu dirancang sejak memasuki 2000, ketika pemanfaatan komputer semakin merata. Pemerintah daerah semakin menunjukkan kebutuhan yang terus meningkat terhadap pemakaian IT agar bisa menjadikan kerja-kerja birokrasi lebih efektif dan efisien dalam melayani kebutuhan masyarakat.

Studi-studi akademis mengenai dampak IT di negara berkembang pun semakin marak. Salah-satu studi yang fokus pada dampak pemanfaatan IT itu dilakukan penulis buku ini, yang ingin melihat dampak sekaligus efektivitas birokrasi di negara berkembang tatkala nyaris semua lini pekerjaan di dalam birokrasi sudah terkomputerisasi. Pekerjaan birokrasi memang bisa dipermudah dan dipersingkat melalui penggunaan teknologi informasi. Namun, untuk sampai pada derajat mengembangkan kemampuan pemanfaatan teknologi itu, tentu dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Karena itu, bagi banyak negara berkembang, SDM di bidang teknologi informasi harus benar-benar dipersiapkan sebelum mengganti semua lini birokrasi dengan pekerjaan berbasis IT.

Untuk menelusuri bagaimana persiapan birokrasi negara berkembang tersebut, penulis buku yang juga guru besar di bidang ilmu pemerintahan dan politik Universitas Maryland, AS, ini memaparkan pemetaan, deskripsi masalah, kerangka analisis, aplikasi IT di tiga negara berkembang, yakni Brazil, Ghana, dan Tiongkok. Dari situ, dia masuk ke dalam analisis seputar revolusi teknologi informasi. Semua terangkum dalam delapan bab. Pada pada bab-bab awal, penulis menggunakan bingkai analisis strategic restructuring (strategi penataan kembali). Bingkai tersebut merupakan model arsitektur terbuka yang terdiri atas empat determinan berbeda. Pertama, struktur sosial, ekonomi, dan politik. Kedua, institusi yang memprakarsai sistem IT, seperti peranannya dan insentif yang diberikan. Ketiga, perilaku strategis elite politik yang mendorong pemberlakuan sistem IT. Keempat, kebijakan pemerintahan, seperti kompetisi atau monopolistik, asing atau domestik, sentral atau desentralistik.

Penulis buku ini mengonseptualisasikan IT atau information communication technology (ICT) sebagai kekuatan potensial sebagaimana kapital dan tanah. Sejarawan Inggris Eric Hobsbawm menyebutkan bahwa abad ke-19 merupakan abad kapital. Siapa yang menguasai kapital, dia akan menguasai berbagai jalur di pemerintahan, bisnis, maupun masyarakat. Memasuki abad ke-20, mulai terjadi pergeseran ketika revolusi teknologi informasi dan komunikasi menjadi bagian penting dari hajat hidup orang banyak. Maka, muncul paradigma baru bahwa menguasai IT berarti juga menguasai hajat hidup masyarakat luas. Bahkan, penguasaan itu tidak hanya melayani masyarakat, melainkan juga mengarahkan masyarakat pada sasaran tertentu. Masyarakat modern yang bergantung pada ICT tidak bisa lagi bebas karena sudah diikat penataan yang dibuat berdasar aplikasi perangkat lunak yang memudahkan sekaligus mempercepat kerja.

Pemerintah tiga negara berkembang memang sangat berminat mengadaptasikan penggunaan ICT untuk masyarakat dan dunia bisnis. Namun, di awal buku, penulis justru terlebih dulu mengurai bagaimana kota ajaib Bangalore, India, bisa berkembang pesat tatkala ICT mulai memasuki kehidupan warga (hlm 63).

Sebagaimana layaknya masyarakat negara berkembang, penduduk Bangalore umumnya adalah masyarakat yang berpegang teguh pada tradisi, kebiasaan, serta adat. Hubungan satu warga dengan warga lain terjalin dengan baik serta diikat oleh rasa saling percaya satu sama lain. Dari keseharian tersebut, kemudian muncul fenomena jejaring sosial yang mengiringi jejaring teknologi. Warga mulai keluar dari kehidupan eksklusif di masa lalu yang berdasar adat kebiasaan dan hubungan darah menuju pada keseharian inklusif. Warga dari aneka latar belakang profesi membangun sikap saling mempercayai. Kenyataan tersebut tidak tampak di daerah-daerah lain di India atau juga tak terlihat pada hampir semua negara berkembang. Sebaliknya, kenyataan di Bangalore itu terlihat juga pada masyarakat di Boston dan San Francisco, AS. Itulah inti ''keajaiban Bangalore'', yakni tatkala social capital muncul seiring dengan peresapan teknologi ICT.

Tingkat keterserapan ICT di negara berkembang mempunyai korelasi pada kesiapan memasuki sistem global. Sebab, hampir semua sisi hubungan internasional lintas negara saat ini menunjukkan adanya penggunaan ICT. Melalui penggunaan itu, kemudian pelan namun pasti telah terjadi perubahan infrastruktur ekonomi, sosial, dan politik baik di negara berkembang maupun negara maju. Ketika ICT mulai menjadi bagian dari keseharian di Tiongkok, demam internet masyarakat menjadi tak terhindarkan sehingga Partai Komunis China (PKC) mulai terkena dampaknya. Jika sebelum era internet, masyarakat Tiongkok begitu mudah ditundukkan kekuasaan para pengurus PKC. Ketika ICT mewabah, masyarakat pun tak mudah percaya begitu saja terhadap PKC.

Lain halnya pengaruh penggunaan ICT di Brazil yang justru semakin memperkuat posisi pemerintah, ketika upaya-upaya peningkatan produk domestik digalakkan secara besar-besaran satu dekade silam. Sementara di Ghana, pemerintah melakukan strategi penataan kembali melalui dominasi terhadap semua sektor yang ICT memainkan peranan penting. Melalui penataan itu, pemerintah Ghana kemudian mendorong terciptanya kediktatoran lunak gaya khas politik Afrika yang patrimonial.

Pemaparan penulis buku ini tentang pengalaman tiga negara berkembang analog dengan pengalaman masyarakat Surabaya yang mulai menggunakan PSB online, e-procurement, atau e-budgeting untuk mempermudah kinerja birokrasi. Namun, tetap ada kendala yang harus dihadapi masyarakat. Pertama, menyangkut kesiapan sistem IT yang digunakan. Kesiapan itu tentu harus di
kaitkan dengan kesadaran birokratik bahwa elite birokrasi merupakan pelayan masyarakat sehingga wajib menunjukkan pelayanan prima.

Kedua, strategi penataan kembali pelayanan untuk masyarakat sangat terkait dengan perilaku politik dari elite. Jika elite politik berperilaku sembarangan, akan terjadi kesemrawutan penggunaan sistem IT. (*)

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 1 November 2009

No comments: