Judul Buku : Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan (Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah)
Penulis : Biyanto
Penerbit : UMMPress, Malang
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 292 halaman
PLURALISME dalam spektrum keagamaan menjadi wacana yang selalu menarik diperbincangkan. Tampaknya, akhir-akhir ini ''pertikaian'' tersebut sudah menuju pada dua kutub yang berseberangan dengan mengusung kelompok masing-masing. Tak terkecuali di internal Muhammadiyah, lebih-lebih di kalangan mudanya. Diakui maupun tidak, kalangan itu telah mengelompok dalam dua kutub yang berseberangan, pro dan kontra, terhadap isu-isu pluralisme.
Bagi kalangan muda Muhammadiyah yang antipluralisme, mereka memandang pluralisme sebagai paham yang sesat dan menyesatkan. Karena dalam pemahaman kelompok tersebut, pluralisme mengajarkan bahwa semua agama sama dan benar dalam perspektif teologis. Sebaliknya, kaum muda yang propluralisme menilai pluralisme harus bisa diterima sebagai kenyataan yang tidak mungkin dihindari. Mereka juga memandang pluralisme tidak harus diseret ke dalam arus teologis.
Dalam Muhammadiyah, ''persaingan'' dua kutub itu sebenarnya bukan sesuatu yang benar-benar baru. Sebab, masalah pluralisme juga mendapat perhatian elite Muhammadiyah dalam ''memperlakukan'' buku Tafsir Tematik Alquran tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Setelah terbit edisi perdana pada 2000, karya Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam itu (sekarang Majelis Tarjih dan Tajdid), hingga sekarang ternyata belum dicetak ulang karena bab hubungan sosial antarumat beragama (pluralisme) dianggap belum final.
Persaingan dua kubu itu secara provokatif juga bisa dibaca dalam lembaran buku Menegakkan Pluralisme yang terbit pada 2008. Buku tersebut tidak lepas dari perjalanan nasib Moh. Shofan sesaat setelah menulis artikel tentang kemubahan muslim mengucapkan ''selamat Natal'' kepada umat kristiani. Oleh pihak tempatnya mengajar, tulisan yang tampil di sebuah harian lokal Surabaya pada 25 Desember 2006 itu dianggap telah melenceng dari akidah Islam. ''Palu'' pengadilan pun menjatuhkan vonis berupa larangan mengajar (dipecat).
Sejarah panjang persaingan dua kubu tersebut secara elok dipotret Biyanto dalam buku Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan (Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah). Menurut Biyanto, persoalan besar yang muncul dari wacana pluralisme tidak lepas dari perbedaan perspektif dalam memaknai istilah pluralisme itu sendiri. Kenyataan tersebut menandakan bahwa pluralisme masih merupakan wacana yang sensitif dan cenderung kontroversial sekaligus sangat menarik diperdebatkan.
Awalnya, perbedaan pemahaman dalam Muhammadiyah tidaklah ''masalah'' karena dinilai sebagai upaya al-ruju' ila Alquran wa al-Sunnah (kembali kepada Alquran dan sunah). Namun, belum ditemukannya rumusan baku tentang metodologi ''kembali'' membuat pemikiran Muhammadiyah sangat terbuka terhadap segala pewarnaan dan pengalokasian masing-masing ''mazhab''. Selain itu, perbedaan tersebut muncul sebagai konsekuensi tuntutan agama untuk memelihara orisinalitas Islam pada satu sisi serta mengontekstualisasikannya pada sisi lain.
Namun, dalam pergumulan itu tiba-tiba di negeri ini berkembang kecenderungan umat kepada puritanisme yang penuh gairah sehingga melahirkan beragam kecemasan terhadap laju intelektual Islam. Kecemasan itu membuat tidak sedikit warga Muhammadiyah bergerak ke pendulum lain yang ekstrem, yakni gerakan Islamisme monolitik yang antiintelektual Islam dan juga sebaliknya. Bahkan, meminjam istilah Muhadjir Effendy, pemikiran di Muhammadiyah seakan-akan dipaksa menjadi dua kesebelasan yang saling berhadapan, dengan perang labelisasi dan stigma dalam mempersepsi diri maupun menilai pihak lain, tanpa ada tabayun (klarifikasi).
Kondisi itulah yang membuat dialektika antar pemikiran dalam Muhammadiyah semakin menjauh sebagai efek samping dari kesenjangan pemahaman. Pengetahuan terhadap kubu lain sering sebatas stereotip, yang tentunya menyuburkan pemahaman demonologis dengan mencitrakan pihak lain sebagai kelompok ''kurang'' beradab. Kalangan ''liberal'' mempersepsi diri sebagai pihak terbenar dan menganggap ''fundamentalis'' sebagai pihak yang salah. Hal yang tidak berbeda juga dilakukan kalangan fundamentalis dalam menilai diri dan pihak yang berbeda.
Karena itu, patut disimak komentar Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Dien Syamsuddin MA yang tertuang dalam kata pengantar buku ini. Din mengatakan, ''pluralitas (kemajemukan) merupakan suatu keniscayaan sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak. Bahkan, kemajemukan bisa dipandang sebagai ketetapan Allah (sunatullah). Dalam konteks kemajemukan itulah, Allah mengajarkan bahwa di antara kaum beriman bersaudara berdasar iman dalam kerangka kemajemukan.
Buku Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan itu bisa menjadi semacam ajakan sekaligus pijakan bersama bagi semua kalangan di Muhammadiyah untuk mulai mewacanakan berbagai masalah ''kontroversial'' secara cerdas dalam suasana jernih dan konstruktif. Pluralisme, sekulerisme, liberalisme, Islam kaffah, Islam murni, kategori qath'i dan dzanni dalam ajaran Islam harus diwacanakan dalam kerangka keilmuan yang melintasi sehingga tidak melahirkan klaim merasa paling islami di tubuh Muhammadiyah.
Buku ini adalah referensi yang lengkap dalam memahami dinamika pemikiran intelektual muda Muhammadiyah. Tanpa membaca buku ini, serasa kurang afdal untuk mengomentari pandangan kaum muda Muhammadiyah yang mendukung maupun menentang pluralisme. Buku tersebut secara detail menjelaskan perbedaan perspektif masing-masing ''kubu'' dalam memahami pluralisme sesuai dengan latar belakang sosialnya. Pemahaman atas keragaman latar belakang sosial itu seharusnya menyadarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan yang menuntut sikap saling menghargai dan menghormati.
Melalui bahasa yang berusaha dikemas untuk semua kalangan, buku itu menyuguhkan diksi yang terlihat hati-hati. Namun, kebakuan bahasa sebagai konsekuensi kodifikasi hasil disertasi yang serius, tentu di sana-sini masih terdapat pilihan kata yang cukup mengerutkan dahi. Selamat membaca! (*)
Muh. Kholid A.S., redaktur pelaksana majalah MATAN PW Muhammadiyah Jawa Timur
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment