''Di mana buku dibakar, di sana pula manusia -pada akhirnya-- dibakar.''
Heinrich Heine (1797-1856)
KUTIPAN dari penyair Jerman di atas menyematkan kekhawatiran sekaligus kengerian dalam benak kita karena aksi pembakaran buku bukan hal yang asing di negeri ini. Lebih parah lagi, hampir semua kasus pembakaran buku terkait dengan penulisan sejarah.
Pada 2007, sejumlah buku sejarah pernah dibakar. Meski dilandasi Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/2007, aksi pembakaran buku kurikulum sejarah saat itu jelas tak bisa dibenarkan. Sebagian besar masyarakat berontak menentang tindakan vandalisme tak hormat terhadap buku tersebut. Mewakili rasa cinta dan peduli terhadap buku, para penulis yang tergabung dalam Masyarakat Pencinta Buku dan Demokrasi mengecam tindakan pembakaran itu.
Beberapa saat lalu, aksi pembakaran terulang. Disulut tulisan bersambung tiga seri Dahlan Iskan di harian ini (14-16 Agustus 2009), Front Antikomunis (FAK) berdemonstrasi dan membakar buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus. FAK beranggapan bahwa tulisan Dahlan berpotensi memanipulasi sejarah dengan menjadikan Soemarsono seakan pahlawan. Terlepas dari itu, tentu saja aksi bakar buku yang dilakukan FAK tak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun.
Siapa pun tahu, buku adalah penanda sejarah. Dia merupakan prasasti tertulis yang tak tergantikan dalam arus budaya dan alur ilmu pengetahuan manusia. Buku adalah tali sambung peradaban yang terlewat dengan peradaban mendatang. Tak dapat dimungkiri, penemuan mesin cetak telah menjadi awal revolusi yang mempercepat transformasi pengetahuan manusia lewat buku. Johann Gutenberg (1400-1468) adalah orang yang paling berjasa dalam hal ini. Setelah keberhasilannya menciptakan mesin cetak yang efektif dan produktif, ilmu pengetahuan semakin mudah disalurkan dan dikodifikasi. Pengetahuan tertulis (written knowledge) dengan cepat menggantikan posisi dan melampaui peran pengetahuan terucap (spoken knowledge). Dalam budaya ucap dan tutur -yang secara turun-temurun menjadi media transformasi-, ilmu pengetahuan rentan terlupa karena memori manusia sangat terbatas. Tapi, buku membuat ilmu pengetahuan semakin terjaga dan lestari.
Buku, dalam peribahasa Arab, disimbolkan sebagai tali pengikat: ia mengumpulkan dan menyatukan ilmu pengetahuan yang berserak dan terdapat di mana-mana. Buku menjadi kendali -dan bukan kendala- atas laju pengetahuan yang semakin hari semakin cepat. Kehadirannya mengisi ruang kosong yang pernah berabad-abad hanya diisi penuturan verbal (oral transformation) antara orang tua-anak, kakek-cucu, atau generasi ke generasi. Meski demikian, buku bukanlah tongkat Musa yang memancarkan kedigdayaan dengan sendirinya. Buku tak lebih dari sekadar media. Nalar dan logika manusialah yang menjadi pemeran utamanya. Karena logika manusia tidak tunggal, keragaman tafsir dan perbedaan paham menjadi sesuatu yang niscaya dalam membaca sebuah buku.
Perbedaan tafsir terhadap sebuah buku tak seharusnya disikapi dengan aksi pemusnahan, apalagi pembakaran. Kebenaran bukanlah materi yang akan sirna ketika sebuah buku dimusnahkan. Ilmu pengetahuan adalah darah yang mengalir dan akan terus mengalir dalam tubuh para pencinta dan pembaca buku. Dari kacamata marketing, membakar buku adalah iklan gratis terhadap buku tersebut. Saat FAK membakar buku Revolusi Agustus, secara tidak sadar mereka sedang mengiklankan sebuah tafsir sejarah yang berbeda dengan sejarah mainstream yang mereka anggap benar. Curiosity (keingintahuan) dan simpati akan muncul atas sesuatu yang dimusuhi, ditepikan, dan dihindari, termasuk buku.
Tidak ada paradigma ilmu pengetahuan yang tak berubah. Semuanya berevolusi. Ilmu pengetahuan terus-menerus berkembang sejalan usia kehidupan manusia yang tak pernah berhenti. Sesuatu yang dihujat di satu masa mungkin akan dipuja di masa selanjutnya; sesuatu yang dipuja di suatu waktu tidak menutup kemungkinan akan dihujat di waktu lain. Buku menjadi salah satu, jika bukan yang utama, media yang mengarsipkan mozaik perkembangan dan keragaman ilmu pengetahuan.
Perbedaan tafsir dan pemahaman tidak seharusnya diekspresikan dengan cara-cara vandalistis. Membakar buku -apalagi karena didorong oleh kebencian dan fanatisme- sama dengan memusuhi ilmu pengetahuan yang sangat beragam dan multitafsir. Dialektika buku adalah cara terbaik untuk merespons polemik. Maksudnya, sebuah klaim yang disuguhkan melalui buku sejatinya dikonter melalui buku: tesis harus ditanggapi dengan antitesis, untuk melahirkan sintesis. Aksi membakar buku dapat menyumbat saluran dialektika buku. Itu berarti sebuah ancaman atas kebebasan bereskpresi dan ilmu pengetahuan.
Jean Gustave Courbet (1819-1877) melukiskan vandalisme sebagai aksi perusakan (destruction) terhadap sebuah monumen. Menurut dia, vandalisme adalah tindak kejahatan. Karena buku adalah monumen suci yang melestarikan ilmu pengetahuan dan mencatat kronik peradaban manusia, pembakaran terhadapnya bisa dianggap sebagai kejahatan, sebuah tragedi. Membakar buku adalah tindakan melecehkan proses berkreasi. Kita tahu, sebuah buku adalah muara dari serangkaian proses yang tidak mudah: pencarian data, perenungan, penganalisisan, pengendapan, penulisan, hingga percetakan.
Sekali lagi, buku adalah penanda sejarah, tindakan apa pun yang dapat merusak kelestarian buku tak dibenarkan. Selain harus menyelamatkan buku dari kerusakan akibat bencana alam, seperti banjir, kita juga mesti merawatnya dari kecerobohan dan aksi vandalisme manusia. Kini bukan saatnya ramai-ramai membakar buku, tapi mari bersama-sama menulis buku yang membakar! (*)
Lely Shofa Imama, penikmat buku, mahasiswi pascasarjana Universitas Islam Indonesia Jogjakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment