Sunday, May 08, 2011

Sebuah Eksistensi Karya

-- Alizar Tanjung

KETIKA ditanyakan kepada pengarang apakah itu penyair atau prosais bagi dirinya. Beragam jawaban muncul. Mereka mengatakan bagi saya mengarang itu adalah setabung air kopi. Saya meraciknya dengan memasukkan gula, bubuk pekat kopi, mencampurnya dengan air panas, kemudian mereduknya, tinggal candu dan saya menikmatinya. Bagi sebagian yang lain bagi mereka mengarang itu adalah hidupnya. Sebab itu menghidupkan karya dalam dirinya. Mereka juga mengatakan bagi saya mengarang itu adalah sebuah ideologi. Ideologi itu harus dijaga. Lebih menariknya ada yang menanggapi secara jantannya, bagi saya mengarang itu adalah mengirim tulisan ke media masa, saya mendapatkan honor dan saya makan dari honor tulisan saya. Juga ada yang mengarang atas nama dakwa. Mengarang itu adalah dakwah dengan Qalam. Orang-orang menikmati karya saya sebagai sebuah pencerahan.

Terlepas dari apa jawaban mereka tentang mengarang, mengarang tetap sebuah proses kreasi mencipta karya. Mencipta mengandung makna menghasilkan hal yang baru. Tentunya menghasilkan yang baru merupakan hasil dari perenungan. Membuka ceceran-ceceran pengalaman. Campuran dan eksperimentasi luka. Kumpulan dari kehidupan memelihara luka, seperti yang diungkapkan Damhuri Muhammad dan perkataan ini kembali dikutip oleh Elly Delfia ketika menyampaikan materi kepenulisan pada Minggu, 20 Maret 2011 di aula Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang. “Pengarang itu mesti memelihara luka.” Proses karya lahir dari luka-luka yang beranak-pinak.

Mengarang bukan proses meniru karya orang lain, atau meng-paste karya, kemudian dengan seunik mungkin mengakui sebagai hak milik. Lalu bagaimana dengan tindakan yang dengan sengaja menjastis karya orang lain sebagai karya hak miliknya? Pada prinsipnya itu bukanlah pengarang. Saat mengakui karya orang lain sebagai hak milik, itu disebut dengan plagiator. Kemudian timbul pertanyaan apa yang disebut dengan praktik plagiasi? Apakah plagiasi itu miniru secara utuh karya orang lain, kemudian menjastisnya menjadi karya sendiri? Atau juga termasuk meniru sebahagian dari karya orang lain kemudian mengaku itu karya kita setelah diberi bumbu-bumbu. Ataukah mengambil setting karangan lain dan menjadikan setting karya kita itu juga termasuk plagiasi? Pertanyaan-tanyaan ini muncul sudah sejak lama, kemudian kembali mencuak setelah terjadinya beberapa plagiat karya pada akhir 2010 dan awal 2011.

Cerpen “Perempuan Tua dalam Rashomon” yang terbit Kompas (31 Januari 2011) diakui sebagai karya Dadang Ari Murtono, seorang penulis muda Jawa Timur. Padahal sesuai laporan Story edisi 20 pada halaman 79 dalam rubrik “Selasar Cinta”, bahwa karya itu merupakan karya Agutagawa Ryunossuke, seorang cerpenis tersohor Jepang. Karya itu telah diterbitkan olek Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Polemik cerpen itu, sebenarnya juga terjadi sebelum Kompas kembali menerbitkannya. Polemik itu muncul saat cerpen yang sama terbit di Lampung Post (5 Desember 2010). Belum reda polemik plagiasi karya yang sama oleh orang yang sama, tiba-tiba Kompas kembali menerbitkannya. Ibarat memadamkan api dengan minyak, tiba-tiba api membara.

Berbagai kritikan berdatangan bak cendawan musim hujan. Kritikan itu datang tidak hanya kepada penulisnya. Tapi kritikan juga datang kepada media yang bersangkutan. Media dianggap tidak becus mengurus karya. Redaktur tidak membaca karya-karya.

“Jelas-jelas plagiat kok masih diterima, apakah redaksi tidak tahu atau kesengajaan?” “Redaktur sastra perlu menambah asisten, sekalian mengurangi jumlah pengangguran. Mulai sekarang setiap cerpen yang masuk harus dikonfirmasi maksimal sebulan setelah pengiriman agar tidak terjadi pemuatan ganda. Saya sependapat, ini cerpen plagiat, bagaimanapun dalih penulis dan para pendukungnya.” “Saya suka ide cerpen Akutagawa ini. Sangat lurus, secara tiba-tiba meliuk dan diakhiri pada titik hakekat hidup: -semua yang hidup akan mati-semua yang hidup inginkan makanan agar tak mati. Menyikapi plagiat saya punya bahasa menarik: Cerpenis itu pencuri yang mengambil ide dari dunia ini, lalu ia imajinasikan dalam dunia fiksinya. Dunia ini adalah lakon kehidupan dan cerita adalah cerminan dari dunia yang sifatnya bayangan,” tulis Tova Zen, 1 Februari 2011. “Saya kecewa kepada Kompas, karena selain cerpen tersebut sudah pernah dimuat di Lampung Post, apa pula cerpen plagiat itu bisa lolos dan dimuat di Kompas? Padahal cerpen Dadang Ari Murtono, sempat membuat polemik, masalah plagiat mencuat dan didiskusikan secara terbuka di media facebook oleh beberapa cerpenis termasuk saya. Saya kecewa kepada Kompas,” tulis Bamby Cahyadi, 2 Februari 2011. Ia mengirimkankan pesan kepada Kompas. Kutipan-kutipan kekecewaan ini saya ambil dari situs blog cerpenkompas.wordpress.com. Blog yang memuat cerpen-cerpen yang terbit di Kompas.

Kasus yang sama juga terjadi pada majalah Story edisi 17, 25 Desember-24 Januari 2011. Kasus plagiat kali ini dilakukan oleh selebritis, Prisa Adinda. Prisa Adinda mengakui karya “Kasih Ibu” sebagai karya dia. Prisa Adinda merupakan artis yang ditantang Story untuk menulis. Ternyata setelah ditelusuri cerpen itu sangat mirip dengan cerpen “Hati Ibu” Milik Desi Somalia Gustina. Cerpen “Hati Ibu” menurut pengakuan Desi telah dimuat di Riau Pos pada ahad 11 Januari 2009 (di konten remaja). Cerpen “Hati Ibu” juga telah keluar sebagai pemenang I pada lomba cerpen tingkat mahasiswa UIR. Desi sendiri tidak terima denga plagiat Prisa Adinda. Kemudian Desi memberikan gugatan kepada Story.

Saya mengetahui itu langsung dari Desi pada saat diskusi di taman Melati, Padang, 30 Januari 2011. Ia membawakan bukti otentik karya yang diplagiat dan membawa foto kopi karya yang terbit di Story. Pembandingan cerita sangat mirip sekali, mulai dari kata-kata, kalimat, kecuali judul dan tokoh. Judul diganti menjadi “Kasih Ibu” dan nama sapaan tokoh diganti. Story menjawab gugatan Desi pada edisi 19/Th.II/ 25Februari-24 maret2011.

Cerpen “Kasih Ibu” dinyatakan tidak pernah dimuat pada Story. Kemudian Story edisi 20/Th/II/25 Maret-24 April 2011, membahas edisi plagiat pada salam redaksi dan rubrik “Selasar Cinta”. “Plagiat dan double sent (pengiriman ganda ke media yang berbeda) memang hal yang berbeda, tetapi tetap saja sama, bahwa ia telah melakukan kesalahan besar, mengabaikan etika kepenulisan dan mencemarkan namanya sendiri.” Reni Erina, Managing Editor, mengakui banyak sms yang masuk ke hand-phone-nya. Pesan-pesan pengakuan bahwa karya itu sebelumnya sudah terbit di media lain. Tapi karena adu gengsi akhirnya dikirim pula ke Story.

Ada apa dengan sastra Indonesia hari ini? Apakah sastra adalah sesuatu yang akan dikubur, dimakamkan bersama penulis-penulis muda? Belum selesai plagiat cerpen “Kasih Ibu” oleh Prisa dan “Perempuan Tua dalam Rashomon” yang diplagiat olehDadang Ari Murtono, lagi-lagi dunia pengarang didatangi kasus yang mirip. “Cerpen ‘Pengisah Akutagawa’ kok hampir mirip dan kalimat-kalimatnya banyak yang sama dengan dengan cerpen ‘Kappa’, miliknya Akutagawa Ryunossuke,” tulis S Yoga dalam blognya. Cerpen “Pengisah Akutagawa” juga ditarik Horison edisi Maret 2011, bahwa cerpen ini tidak pernah muat di majalah Horison.

Seperti tidak akan usai dan mengungkit kisah lama. Karya-karya Helvy Tiana Rosa juga mengalami plagiator. Cerpen-cerpennya yang terbit di Annida tahun 1992-1997 di plagiat anak negeri tetangga. Terbit dalam sebuah buku kumpulan cerpen. Sebuah novel Fajar Menyinsing di Arkansas milik Helvy juga menjadi sasaran plagiat, tahun 2000.

Kemudian menjawab pertanyaan seputar plagiat. Wikipedia menjawab, plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Dalam buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah, Felicia Utorodewo dkk. menggolongkan hal-hal berikut sebagai tindakan plagiarism. Mengakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri; mengakui gagasan orang lain sebagai pemikiran sendiri; mengakui temuan orang lain sebagai kepunyaan sendiri; mengakui karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri; menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda tanpa menyebutkan asal-usulnya; Meringkas dan memparafrasekan (mengutip tak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya; meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya. Jawaban dari Wikipedia, memberikan jawaban atas plagiat-plagiat yang dilakukan pengarang.

Maraknya kasus plagiat sudah sepatutnya kembali menjadi perhatian dunia sastra. Apakah pengarang tidak iba dengan dirinya? Mewariskan jiwa-jiwa plagiat kepada generasi sesudahnya. Mengarang mestinya menuangkan ide kreatif. Meluapkan dalam bentuk ciptaan karya. Mengarang mesti adalah perenungan terhadap diri pengarang itu sendiri. Dia merupakan ungkapan kejujuran pengarang. Dia juga mesti beranjak dari kesadaran akan karya. Mengarang bukan persoalan mempertahankan egosentris terbit karya di media ini dan media itu. Atau untuk berlomba menjadi siapa yang terbaik. Mengarang bukan pulah sebuah proses manipulasi hak cipta karya. Ataukah seperti jawaban pengarang yang berpikiran bahwa mengarang adalah untuk mendapatkan uang, tak peduli itu karya kita atau tidak, yang penting makan?

Kemudian apa hukuman bagi plagiator dan media? Apakah seperti yang dicemaskan Desi Somalia Gustina, cukup dengan permohonan maaf dari pihak media, kemudian damai. Hukuman bagi plagiator, black list karya, seolah dengan itu persoalan selesai. Sungguh ironis penghormatan terhadap hak cipta karya dan terhadap pengarangnya. n

Alizar Tanjung, Sekretaris Umum FLP Sumbar, lahir di Solok, 10 April 1987. Ia sekarang tercatas sebagai Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam di IAIN Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai, dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional; Harian Tempo, Sindo, Suara Pembaharuan, Jurnal Nasional, Pewarta Indonesia, Berita Pagi, Linggau Post, Singgalang, Padang Ekspress, Haluan, Sabili , Gizone, Annida Online, Tasbih, Suara Kampus. Tinggal di Padang.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 8 Mei 2011

No comments: