PADA sebuah siang yang hangat di awal Mei ini,perhelatan sederhana dilangsungkan di tempat yang sederhana: Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin,Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di perpustakaan penting yang tengah mendapat sorotan lantaran mau ditutup karena pemerintah daerah tidak lagi menganggarkan dana pantas untuk pengelolaannya ini,Jurnal Sajakdan Jurnal Kritikdikenalkan kepada publik luas—istilah teknisnya diluncurkan atau launched dalam Inggris.
Acara berlangsung akrab.Pembawa acara yang juga redaktur jurnal itu,Ahmad Syubbanuddin Alwy,tampak bahagia mendapati antusiasme hadirin.Humor-humornya menyegarkan. Eep Saefulloh Fatah,analis politik yang membaca kebudayaan (titel yang disematkan mendiang Rendra untuk Eep),berpidato dengan fasih.Sebagaimana biasanya,analisisnya jernih.Kali ini tentang fungsi jurnal sastra bagi sebuah bangsa yang tengah dihinggapi pesimisme.
Dasar analis politik,Eep tetap saja memaparkan hal-hal yang dekat dengan politik. Demokratisasi, katanya,mendorong kebebasan menyampaikan segala sesuatu,termasuk menulis puisi,tidak lagi bisa ditahan oleh siapa pun. ”Demokrasi membuat tiap orang menjadi sahibul hikayat,” sebutnya.Partisipasi luas ini tentu saja patut disyukuri meski harus ada juga proses untuk membangun peradaban yang sehat. Puisi dan kritik dan sastra pada umumnya adalah media untuk menyehatkan peradaban itu.
Lalu apa yang penting dari kehadiran sebuah jurnal sastra? Bukankah jurnal serupa pernah tegar,lalu layu,sekarat, kemudian mati? Suasana riuh akibat kebebasan di alam demokrasi itu ditangkap juga oleh Jamal D Rahman,Pemimpin Redaksi Jurnal Sajak.Dia mengibaratkan banyaknya puisi di dunia maya dan berbagai media lain sebagai mal yang ramai.Di tengah keramaian itu,jurnal yang dikelolanya akan menjadi kedai kecil bagi perjumpaan yang akrab,tempat sejenak lepas dari kemeriahan yang menenggelamkan.
”Begitu banyak bakat,begitu banyak kegairahan dalam menulis puisi sebagaimana terlihat di dunia maya dalam berbagai bentuknya.Seperti tak terbatas.Namun,begitu sedikit ruang intim untuk saling menandai dan berapresiasi.Jurnal sajak akan menjadi ruang intim dan terbatas,”tutur Jamal. Adapun kajian dan kritik akan membuat karya-karya sastra tidak dibiarkan luntang-lantung sendirian.Sebaliknya,karya akan dimuliakan atau dikritik habis-habisan.
“Kritik akan membikin karya jadi awet,”kata Agus R Sarjono,Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik. Memang,untuk waktu yang cukup lama kita kering oleh sastra dengan getaran yang kuat dan gema yang menarik-narik kerinduan.Untuk waktu yang cukup lama kita hanya melihat sastra,terutama puisi dan kritik,terjungkal oleh riuhnya isu politik, hukum, derita TKI,dan desakan perut.
Kehadiran dua jurnal ini menerbitkan harapan sastra akan berusia panjang dan berharga,bukan melulu sebagai gincu yang mempercantik orangorang tertentu demi menunjukkan citra bahwa mereka ”berbudaya”. Selamat datang,Jurnal Sajakdan Jurnal Kritik! Selain panjang usia,keduanya diharapkan menjadi karya yang memiliki resonansi jauh,bukan sekadar dua buah cetakan,diterbitkan berkala,yang memenuhi rak-rak buku kita.
jay am
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 8 Mei 2011
No comments:
Post a Comment