KEPALA batu! Itu ungkapan yang keras. Kalau ditentang akan muncul benturan. Dan benturan selalu berujung pada perpecahan. Bisakah sebuah potret sosial meluncur dari kekerasan batu-batu?
Pentas musik batu dengan judul "Menunggu Batu Bernyanyi" karya seniman musik kontemporer, Memet Chairul Slamet, di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (26/4). Memet menyajikan eleman batu yang diubah menjadi bunyi-bunyian dalam komposisi musik yang dekat dengan suasana alam. (Kompas/Iwan Setiyawan)
Komposer Memet Chairul Slamet menjadikan bahasa batu sebagai ungkapan berbagai hal tentang kenyataan sosial yang kini melanda hidup kita. Ia bahkan menjalin komposisi musik dalam satu pementasan bertajuk ”Menunggu Batu Bernyanyi”, Selasa (26/4) di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Pada bagian klimaks dari pentasnya, Memet menggesek sebentuk kepala dari batu. Ia sengaja tidak memukulnya. Perlakuan terhadap instrumen ”kepala batu” itu tentu bukan semata keinginan eksplorasi untuk mengejar musikalitas, tetapi lebih-lebih ada cuatan keinginan menjadikannya sebagai bahasa tanda. Memet sedang membuat sebuah pernyataan, ”Kalau kepala batu dibentur dengan pukulan akan pecah. Maka caranya dengan merangkul dan mengelusnya. Efek bunyinya pun jadi lebih lembut, bukan?” katanya.
Akhir dari pentas ini memang sebuah dengung. Suara-suara yang seperti tumbuh dari keliaran hutan-hutan raya. Memet menghasilkan bunyi-bunyian itu dari kepala batu yang digesek dan bilah-bilah batu yang secara berkesinambungan juga digesek. Selama setahun ia mengumpulkan batu-batu dari berbagai lokasi di sekitar lereng Gunung Merapi. Dan batu-batu yang kini “bisa” bernyanyi itu, sebagian besar memang batu-batu gunung yang dilontarkan atau dihanyutkan lahar gunung berapi itu.
Memet memulai segalanya dari hal sederhana. ”Kita bisa mulai bermusik dari benda-benda di dekat kita. Batu misalnya, kan hal yang sederhana, tetapi perannya dalam peradaban manusia luar biasa,” kata dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini. Batu hampir selalu hadir dalam peradaban. Sejak masa megalitikum, bahkan benda keras ini sudah dijadikan alat musik yang disebut lithophone. Ketersambungan peradaban juga bisa diketahui dari prasasti-prasasti yang dipahat di atas batu.
Lekuk kecil
Oleh sebab itu, keberadaan batu memiliki sejarah panjang dalam peradaban bumi dan manusia. Memet menemukan bahwa kemasifan sebuah batu sangat dipengaruhi oleh usia dari sebuah batu. Dan pada akhirnya usia batu akan memengaruhi produksi bunyi yang bisa dihasilkannya. ”Yang istimewa lekuk kecil saja sudah bisa membedakan bunyi. Ini tidak terdapat pada bambu, kayu, atau logam,” tutur Memet.
Dalam pengembaraannya menemukan batu di sungai-sungai yang mengalir dari lereng Merapi, Memet bertemu dengan aliran air, desir angin, gemeretak pohon, dan suara-suara hutan liar. Ia menyatakan pertemuannya dengan sebuah batu sebagai ”berjodoh”. Oleh sebab itulah, katanya, ia tidak ”menala” (mengukur dengan garpu tala untuk memperoleh bunyi yang diinginkan) batu-batu jodohnya. Ia biarkan batu-batu bernyanyi sebagai- mana suara aslinya. Soalnya, tinggal bagaimana cara menghasilkan bunyi itu: bisa menggesek, memukul, atau mebenturkannya.
”Kalau saya menala sama dengan cuma menjadikan batu sebagai pengganti alat musik lain dan itu sudah banyak dilakukan,” katanya.
Dengan cara itu, pentas musik ini boleh jadi lahir sebagai sesuatu yang orisinal. Tidak juga sekadar memindahkan suara-suara alam lalu membingkainya di atas pentas, tetapi Memet mengeksplorasi sebagai bahasa tanda. Ia mengemasnya dalam sebuah pertunjukan dengan memadukan unsur gerak, tembang, cahaya, dan multimedia. Kemasan yang dikerjakan Memet bersama para anggota ensamble musik etnik Gangsadewa, ini menghasilkan 11 repertoar yang dijalin secara berkesinambungan.
Bekerja di wilayah batu, kata Memet, pada awalnya ia seperti berhadapan dengan kekerasan demi kekerasan. Bunyi yang dihasilkan dari benturan terhadap batu menimbulkan efek auditif yang cepat membuat lelah. ”Selama dua jam memukul dan menggesek batu itu, sungguh sesuatu yang melelahkan. Dan ini tidak terdapat pada media seperti air yang pernah juga saya eksplorasi,” kata Memet.
Oleh sebab itulah, ia menjadikan sebagian besar repertoarnya sebagai semacam penghormatan dan penghargaan atas kelimpahan yang diberikan alam. Alam bisa merintih jika kita membenturkannya, alam bisa menahan tangis jika kita mengiris-irisnya. Sebaliknya, alam akan memberikan kelimpahan berkah apabila kita menyayanginya dengan mengelus-elus kepalanya. Dengung yang meluncur dari kepala batu itu pun bukan lagi sebuah rintihan, tetapi luncuran ungkapan terima kasih dari lubuk alam yang terdalam.
Dengan cara itu, secara simbolik Memet menyarankan, mari kita mengikis kepala batu masing-masing untuk menciptakan satu tatanan dunia di atas sendi-sendi kedamaian!
(Putu Fajar Arcana)
Sumber: Kompas, 1 Mei 2011
No comments:
Post a Comment