Saturday, May 07, 2011

Jiwa yang Diberkahi (Tanggapan atas Puisi Puisi Nancy Meinintha Brahmana)

-- Beni Setia

SEKITAR tiga tahun lalu, saya mendapat satu kumpulan cerpen unik dari seorang kawan. Sebuah Biola Tanda Cinta (tp, Surabaya, Maret, 2008). Antoloji bersama dengan dua belas cerpen dari dua belas penulis, di mana yang dua merupakan cerpen yang ditulis khusus untuk merayakan antoloji itu, sedang sepuluh cerpen lainnya telah dipublikasikan di majalah GAYa NUSANTA. Meskipun begitu: kesemuaan cerpen itu nyaris merupakan representasi rekaan yang bertolak dari pengalaman otentik eksistensialistik sebagai orang yang dimarjinalkan karena ketaknyamanan identitas, jiwa wanita dalam tubuh lelaki.

Ada penderitaan karena antipati agama, etika, dan kebudayaan di tataran sosial serta keluarga, akibat si bersangkutan lebih memilih memenangkan panggilan jiwani dari pada realitas badani. Yang mengejutkan, masalah trans jender itu ternyata tak cuma berkutatan di pilihan sadar buat identifikasi diri sesuai panggilan jiwani, sekaligus melawan kutukan badani. Sekaligus (juga) dibongkar manifestasi trans jender yang terekspresikan di dalam orientasi seksual yang bersangkutan (baca: deviasi seksual bagi penganut heteroseksual). Yang termanifestasikan di tataran bagaimana tingkah yang bermain sebagai subyek seks (perempuan), yang gradasinya jadi fisik lelaki berdandan wanita, fisik lelaki bertingkah kemayu, dan fisik lelaki tapi bertingkah macho.

Trans jender terbaik terdapat pada orientasi seksual lelaki macho bermain sebaga si subyek seks lelaki-sebuah pelevelan yang jadi mengerikan bersama terbongkarnya laku brutal Rian, sang penjagal dari Jombang. Dengan kata lain: operasi kelamin trans jender merupakan kekalahan-terlalu tunduk pada logika umum, sehingga impian utama mereka adalah sebuah anclave. Tapi empati kepada chaos jiwa yang terombang-ambing di antara memilih impuls jiwani dengan merealisasi identitas perempuan atau pasrah dengan kutuk badani yang lelaki itu kembali dihembuskan Nancy Meinintha Brahmana, setidaknya pada puisi "Aku Waria" (Suara Karya, 29/4. 2011). Yang menggambarkan adanya ketegangan akibat pressure sosial budaya yang menghendaki si seseorang itu tampil seperti apa yang diidentifikasi masyarakat, sementara instinknya (ingin) membuat identifikasi yang lebih merepresentasikan jiwa, katanya: "selaku aku bukan sepertimu / aku, waria".

Sebuah konstelasi semesta batiniah yang mencekam karena ide rekonstruksi impuls sesuai instink jiwani itu didekonstruksi oleh atmosfir planet identifikasi agamawi, sosial, serta budaya. Ajaibnya, semua ketegangan itu ternyata bisa didamaikan Nancy Meinintha Brahmana dengan solusi yang nyaris bersipat sufistik-lihat puisi "Semesta Mendukung".

Di titik ini ia tidak berbicara tentang impuls jiwani dan kutukan badani, yang bila dipilih salah satu atau tak dipilih salah satu membuatnya tak nyaman secara batini, tapi berbicara tentang si hamba (al-abid) yang harus tunduk serta pasrah menerima apapun kodrat ujud kehadiran yang diberikan oleh al-chalik, Allah SWT. Bila tidak bersipat imaniah macam begitu, menghayati fakta badani meski itu menyakitkan sambil sekaligus ia menyiksa diri dengan menindas impuls jiwani, maka si bersangkutan akan terdampar dalam telau sipat dajjali Iblis, eksistensi abid yang sengaja menolak ketentuan.

Nancy Meinintha Brahmana berbicara tentang tak ingin menjadi satu individu yang terjerambab ke jurang kehinaan dengan enggan menghikmati fenomena ujian dari-Nya, malahan ditentang hanya karena merasa tak nyaman, seperti yang digejalakan Iblis. Dan dari kedalaman mistik batini itu, dari keluasan jiwa sufistik yang telah mengerti itu lahir rujukan dalam melihat hidup sebagai gelombang cobaan, bukan arena untuk bersenang-senang, sebagai sesuatu yang harus dilalui dengan laku istiqomah sebelum dibebaskan sebagai ruh sejati si yang berhak menempati posisi mulia dalam kubah semesta ilahiah. Dimanifestasikan dalam diksi nan benderang, "pongahmu unjukan dada mengatakan aku mencipta!" dari yang enggan dan tak mau jadi "tuhan kecil", si yang menolak ketentuan (nasib) dari Allah SWT.

Dan di sisi lain, dengan tetap menjadi sang abid yang selalu berdamai dengan Allah SWT, karena sangat takut oleh ke-Agungan Allah SWT, semuanya jadi menyenangkan, seperti yang tersurat dalam puisi "Takut Tuhan". Tapi siapa yang bisa sampai ke aura inti kedalaman mistikal semacam itu, tapi siapa yang bahagia bergelung sebagai satu mutiara sufistik dalam cangkang kedirian yang menyiksa?

Nancy Meinintha Brahmana-meski tak bergelut dengan diksi rumit penuh idiom berbelit, sedang berpuisi dengan tema besar. Ide tentang kebebasan berkehendak (freewilll) yang bisa membuat manusia tersesat, dengan melupakan ada acuan ketentuan Allah SWT, fakta kubah langit yang mengingkat dengan nasib yang harus diterima dengan keikhlasan.

Dalam puisi "Aku Waria", peperangan itu lebih bersipat batini, sekaligus tidak bisa mengharapkan akan mendapatkan bantuan dan dukungan dari orang lainmalahan justru penghinaan dan hujatan yang membuat beban batin makin terasa mengelucakkan. Dalam puisi "Menindih Buih" perang itu menjadi riil horisontal dalam ujud petani yang hanya jadi semacam buruh tani. Kenapa? Karena nilai ekonomis hasil taninya itu direduksi oleh penentuan harga (sepihak) yang semena-mena si tengkulak. Di titik ini Nancy Meinintha Brahmana berusaha menunjuk dan sekaligus mengingatkan kita agar lebih peduli kepada petani, dengan memberi harga yang pantas pada hasil pertanian, dan mendirikan benteng perlindungan ekonomi untuk kodrat kepapaan modal si petani berlahan sempit-advokasi dan koperasi agar mereka tak selalu dieksploitasi tengkulak.

Dengan kata lain, sambil mentersuratkan yang tersirat dalam diksi yang benderang, keberuntungan dan kekuasaan terkadang bisa membuat lupa diri, melupakan nasib yang dimarjinalkan dengan lancung memuaskan hasrat. Dalam keluguannya Nancy Meinintha Brahmana telah menulis puisi bergagasan besar-dan dalam keterbatasannya semua ide mulya itu bisa diapresiasi. Itu menunjukkan Nancy Meinintha Brahmana telah berhasil berkomunikasi-menyampaikan pesan.

Semoga Nancy Meinintha Brahmana terus menulis, dan mengajak penikmmat puisi lebih peka akan kekuasaan Allah SWT, berani ikhlas menghadapi cobaan hidup sambil memanusiakan yang lain dengan menerima rujukan istiqomah dalam kubah imamah Allah.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 7 Mei 2011

1 comment:

poemetpeinture said...

Terimakasih pak.., saya baru membaca tanggapan dari bapak, hari ini...setelah bertahun yang lalu tulisan ini dibuat. Terimakasih sekali lagi.. Tuhan memberkati.