-- Ibnu Rizal
• Judul: 1 Perempuan 14 Laki-Laki
• Penulis: Djenar Maesa Ayu dan kawan-kawan
• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
• Cetakan: I, Januari 2011
• Tebal: 124 halaman
• ISBN: 978-979-22-6608-5
Kesepian, kehampaan, cinta yang bertepuk sebelah tangan, pengkhianatan, perselingkuhan, hubungan cinta yang berada di ambang keraguan, dan berbagai perasaan murung yang menimpa anak manusia melatari fragmen cerita. Relasi antartokoh pun menjadi sesuatu yang rapuh dan muram.
Tema di atas diperkuat dengan hadirnya kafe sebagai latar spasial yang mendominasi sebagian besar cerpen, seperti banyak karya Djenar Maesa Ayu lainnya. Kafe menjadi arena pertarungan para tokohnya. Di dalamnya, tokoh-tokoh Djenar, manusia-manusia kelas menengah kota yang kesepian itu, berhadapan satu lawan satu dengan dirinya sendiri. Bersama gelas-gelas bir, terkadang secangkir kopi, mereka bertarung dan bernegosiasi dengan kenangan.
Antologi ini ditulis Djenar bersama empat belas penulis lain, yang seluruhnya adalah laki-laki. Mereka datang dari berbagai profesi dan lintas generasi, di antaranya adalah maestro tari Sardono W Kusumo, penari dan koreografer muda Arya Yudistira Syuman, perupa Enrico Soekarno, pembawa acara dan penulis Indra Herlambang, cerpenis Agus Noor, dalang Sujiwo Tedjo, aktor monolog Butet Kartaredjasa, hingga penabuh drum dari kelompok musik punk Superman Is Dead, JRX. Empat belas penulis dengan empat belas kepala yang memiliki gagasan berbeda. Metode ini memang sangat berisiko menjadikan sebuah teks kehilangan arah. Struktur kalimat pun terpecah-pecah. Pada beberapa bagian kerap terjadi inkoherensi. Namun, justru di sinilah letak permainannya.
Dalam pengantarnya, Djenar mengakui bahwa ia tidak pernah menulis dengan kerangka konsep tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Imajinasi dan spontanitaslah yang membuat proses penulisan terus berjalan. Lewat imajinasi yang dibiarkan lepas, berbagai kemungkinan pun menemukan pintunya. Hal tersebut terlihat kuat pada keempat belas cerita pendek dalam kumpulan ini. Djenar bersama rekan penulisnya seperti memulai dari ”kekosongan” dan perlahan-lahan menyaksikan sendiri hadirnya berbagai kejutan dalam teks yang mereka hasilkan.
Konsekuensi lain dari metode kolaborasi, apa pun bentuknya, adalah kehadiran ”dialog” gagasan satu sama lain. Dialog antara Djenar dan rekannya terjadi pada upaya masing-masing untuk menjaga keberlangsungan cerita dalam kerangka ide yang bahkan belum dibayangkan oleh keduanya. Maka, sebuah pertanyaan muncul: siapa yang lebih mendominasi dalam interaksi ini? Jawabannya tentu hanya Djenar dan keempat belas pasangannya yang tahu. Namun, siapa pun sepakat bahwa dalam suatu permainan antara sepasang laki-laki dan perempuan, keduanya mesti sama-sama memegang kendali sehingga tak ada pihak yang tersubordinasi.
Dialog, sebagai sebuah aktivitas komunikasi dalam kerja kolaborasi, kerap mengalami gangguan. Pada beberapa titik dalam setiap cerpen, dialog itu seakan kerap berbenturan. Gagasan yang satu disambut, dipagut, atau dicerabut yang lain. Masing-masing seperti bergerak dalam logikanya sendiri. Kadang gagasan keduanya bertemu dan berjalan beriringan. Begitulah proses kreatif dalam antologi ini bekerja.
Karakteristik Djenar
Antologi ini tetap memperlihatkan beberapa karakteristik yang sangat khas dalam cerpen-cerpen Djenar. Salah satunya adalah kehadiran rima. Dalam banyak paragraf ditemukan rima yang tersebar pada tiap akhir kalimat.
Dengan langkah lunglai Antonio menuju satu pojokan. Namun di sana sudah terisi sepasang insan yang sedang asyik masyuk berciuman dan meraba masing-masing badan. Dengan terpaksa ia menuju kursi yang terletak di tengah ruangan. Dan di sanalah mereka saling bertatapan (”Napas Dalam Balon Karet”, ditulis bersama Richard Oh, hal. 72).
Rima berserakan pada kalimat-kalimat lugas dalam cerpen-cerpen Djenar, bahkan sejak Mereka Bilang Saya Monyet! yang merupakan buku pertamanya. Rima, yang dalam konvensi klasik lumrahnya hadir pada bait-bait puisi, pantun, atau dandanggula, di tangan Djenar dimunculkan dalam medium prosa.
Masih jelas benar, mata-mata tanpa bola mata hitam itu merusak tempat ibadah. Memukuli anak-anak dan ibu- ibu yang tengah memasak di rumah. Merubuhkan patung-patung. Membakar kampung (”Cat Hitam Berjari Enam”, ditulis bersama Enrico Soekarno, hal. 13). Bermain-main dengan rima pada akhirnya menjadi cara untuk mengangkat kembali salah satu kekayaan dalam khazanah sastra Indonesia.
Beberapa cerpen dalam antologi ini mencerminkan latar belakang profesi yang dimiliki oleh rekan penulis Djenar. Misalnya dalam ”Ramaraib” yang ditulis bersama Sardono W Kusumo, terdapat unsur tari yang begitu kuat.
Dalam ”Cat Hitam Berjari Enam”, yang digarap bersama perupa Enrico Soekarno, kehadiran lukisan menjadi sangat berperan. Bersama dalang Sujiwo Tedjo dalam ”Rembulan Ungu Kuru Setra”, kehadiran mitologi Jawa juga cukup terasa. Butet Kartaredjasa sepertinya berjasa dengan menghadirkan komedi dalam cerpen berjudul ”Balsem Lavender”. Tak lupa pula kehadiran sentuhan filosofis dalam bingkai perjalanan surealis pada cerpen berjudul ”Polos” yang ditulis bersama Romo Mudji Sutrisno.
Namun demikian, karakter Djenar tetap bisa ditemukan. Terlepas dari negosiasi gagasan yang terjadi antara Djenar dan rekan penulisnya. Perempuan ini tetap bisa meneguhkan dirinya sendiri dalam ”persetubuhan” untuk memburu apa yang disebut sebagai ”orgasme pikiran”. Karakternya terlihat lewat kehadiran suasana kegamangan, suatu kondisi tarik menarik antara harapan dan keputusasaan, antara keberadaan dan kehilangan, pertemuan-pertemuan yang tabu dan perpisahan yang sendu.
Pada akhirnya, sebuah antologi bukanlah harga mati. Kita sering bertanya-tanya, apa yang mengikat teks-teks dalam suatu antologi fiksi? Apakah tema, proses kreatif (aspek produksi) tulisan, ataukah keduanya? Dalam antologi 1 Perempuan 14 Laki-laki ini sepertinya kedua aspek itu bisa dipertimbangkan. Meskipun masing-masing cerpen berdiri sendiri-sendiri, di dalamnya tersimpan gagasan besar yang senada. Djenar dan empat belas laki-lakinya seperti menyepakati satu kata: galau.
Ibnu Rizal, Mahasiswa Sastra Perancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia; Bergiat di Ruangrupa
Sumber: Kompas, 1 Mei 2011
No comments:
Post a Comment