Sunday, May 01, 2011

Teater: Kesaksian tentang Tanah yang Terbelah

KOMUNITAS Celah Celah Langit Bandung mementaskan Tanah di teater arena Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat (29/4). Ode atau nyanyian pujian bagi tanah yang dihimpun dari korban sengketa tanah dan orang-orang tak bertanah itu tersaji satir dan jenaka, tetapi bergaung di kepala.

Riuh, gaduh, tiga belas ”tanah” itu berloncatan, memekik girang. Seperti pusaran kehendak, mereka berlarian searus, bak ombak yang surut lalu pulang ke laut. Lagi, dan lagi. Ketika tabuhan kendang semakin cepat, pusaran itu makin liar, hingga pecah berhamburan.

”Kamu harus jadi manusia!” salah satu membentak. Yang dibentak melengos, pergi, membentak yang lain. ”Kamu saja yang jadi manusia.” ”Tidaaaak, kamu saja yang jadi manusia!”

Tak ada yang mau menjadi manusia, tetapi harus ada ”tanah” yang menjadi manusia. ”Air dan tanah membuat telur, mulut terpisah dari telur, dari kata-kata api menyambar. Siapa yang bisa menguasai kata, ia menguasai dunia. Lalu muncullah keinginan memiliki, keserakahan. Manusia ada di dalam dunia itu, dia adalah pelaku segalanya,” ujar ”tanah” mengantar metamorfosis ”tanah”.

Awalnya dunia menyenangkan mereka. Seorang ibu bersama 12 bocah lelakinya berbondong-bondong menikmati indahnya dunia. Senja yang indah, sawah, ladang, kupu-kupu berwarna biru.

”Lihat itu!” satu berseru. Yang lain segera berbondong menyerbu, melongokkan wajah mencari tahu. ”Ada sapi tapi disebut kambing!” satu berseru lagi. Yang lain tertawa. ”Kambing hitam!” satu lainnya berseru. ”Wedhus ireng!” sahut temannya, yang lain terbahak. Penonton pun ikut riuh, gaduh.

Sutradara Iman Soleh dan para pemainnya memang tidak sedang bermain cerita tentang mereka. Tanah dipanggungkan di teater arena, menjadi kisah para pelakonnya, kisah Iman, juga kisah para penontonnya. Tanah memang bukan kisah dari istana, karena Tanah adalah kesaksian.

Tiga orang

Ada tiga orang Lembang yang terlibat dalam proses kreatif di Celah Celah Langit sejak awal. Mereka tak lain adalah korban sengketa tanah yang menjadi titik awal penulisan naskah Tanah. Di berbagai lokasi sengketa tanah, Iman berdiskusi dengan para korban dan orang-orang tak bertanah.

Sejumlah, ”36 warga menulis sendiri soal tanah bagi mereka. Hasilnya, 146 halaman narasi yang lantas menjadi naskah Tanah,” ujar Iman.

Para dedengkot Komunitas Celah Celah Langit pun meriset karut-marut soal tanah di Indonesia. Pementasan ala teater rakyat yang cair, jenaka, dan satir pun dipilih, dalam arena yang tak terpisah dari penonton yang merubungnya. Maka Tanah bebas dari urusan rumit panggung dan pernak-perniknya. Dipanggungkan 13 pemain, mulai dari korban, warga, hingga mahasiswa dari berbagai penjuru negeri, Tanah secara lugas berkisah.

Senja yang indah, sawah, ladang, kupu-kupu berwarna biru pun digantikan kisah yang pahit. Seorang lelaki yang ditandu menyeru-seru. ”Jangan telat berubah, bersekolahlah, bekerja di pabrik. Itu anak muda sekarang, mengapa harus mempertahankan tanah.”

Tengkulak tanah pun berkeliaran. ”Ayo, siapa lagi yang mau jual tanah. Kalau jual tanah bisa beli mobil, naik haji, bisa umrah. Ayo kalian satu kampung jual tanah supaya bisa naik haji satu kampung,” ujar si tengkulak.

Seorang waras menghampiri sudut-sudut panggung, menyeru penonton. ”Jangan dijual ya tanahnya!” Ia menyeruak barisan depan penonton, ”Jangan dijual ya tanahnya!”

Seorang lelaki yang berjalan di atas jangkungan mengejarnya. ”Kalau tidak juga tanah lalu bagaimana? Kebutuhan keluarga semakin tinggi, sekolah semakin mahal, harga-harga semakin mahal. Keluarga butuh uang,” sahutnya mendebat si waras.

”Lalu kalau kamu tidak punya tanah, lantas mati, mau dikubur di mana?” tanya si waras. ”Aku menumpang di tanahmu ya,” sahut tukang debat.

Tanah hilang dan beralih wujud menjadi selembar kertas yang tak bisa ditanami. Tinggal si ibu sendiri menunggu anaknya pulang. Namun, yang datang patok yang mengoyak-koyak bumi. Si ibu menenangkan bayinya, memanggil yang lain pulang. Namun, galah-galah bambu merubungnya, menggempurnya. Ia akhirnya mati, menjadi tanah dan merdeka lagi.

Para korban sengketa tanah dan mereka yang tak bertanah adalah pemilik sejati lakon ini. ”Kami berutang mengantarkan kembali kisah ini kepada mereka. Kami akan mementaskannya di Lembang. Juga di sentra industri genteng di Jatiwangi, yang tak seorang pun warganya yang memiliki pabrik genteng di sana. Tanah juga akan main di Cicalengka, di sebuah desa yang lahannya habis dibeli delapan pabrik. Juga di Cigondewah, di tambang kapur Padalarang,” kata Iman.

(Aryo Wisanggeni G)

Sumber: Kompas, 1 Mei 2011

No comments: