Saturday, May 21, 2011

Nasionalisme Mulai Luntur

-- Imron Nasri

APA seharusnya yang kita lakukan pada saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional seperti halnya tahun ini? Mungkin salah satunya adalah merenung dan introspeksi diri. Apakah kehidupan bernegara kita selama ini sudah sesuai dengan cita-cita yang dideklarasikan oleh founding fathers, yakni sebuah negara yang berdaulat di atas kaki sendiri. Dalam perjalanannya ternyata banyak hal yang harus kita perbaiki.

Kita mestinya prihatin terhadap kondisi bangsa kita saat ini. Prihatin terhadap pelajar dan mahasiswa yang sudah tidak hafal dengan Pancasila. Prihatin terhadap pemuda-pemuda kita yang sudah mulai tidak tahu apa isi Sumpah Pemuda. Prihatin terhadap masyarakat kita yang sudah banyak tidak hafal lagi lagu Indonesia Raya. Masyarakat lebih bangga menikmati ayam goreng buatan Amerika ketimbang ayam goreng buatan sendiri. Kalau sudah seperti itu, di mana rasa nasionalisme yang selama ini kita dengung-dengungkan?

Banyak pengamat dan pakar masalah kenegaraan memperkirakan rasa nasionalisme terhadap negara dalam memasuki abad ke-21 ini akan mengalami kemunduran atau kemerosotan. Persoalan ini disebabkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di mana antara satu negara dan negara lain sudah tidak ada sekat pembeda sehingga sulit untuk membedakan antara produk negara yang satu dan negara lain.

Ketika kita dihadapkan dengan suatu pesoalan yang terjadi di sebuah negara, seolah-olah kita pun menjadi bagian dari negara itu. Sebagai akibat, sering tingkah laku kita secara tidak sadar sama dengan tingkah laku dari negara yang kita ikuti. Karena itulah para pakar dan pengamat berpendapat kemungkinan besar abad 21 ini terjadi pergeseran terhadap nilai-nilai nasionalisme.

E.J. Hobsbawm dalam sebuah bukunya mencoba menampilkan persoalan di atas berdasarkan pengamatannya terhadap beberapa negara yang menurut penilaiannya mengalami gejala kelunturan nasionalisme. Dia mengambil contoh runtuhnya Uni Soviet dan pecahnya Yugoslavia dan munculnya negara-negara baru yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan. Dan itu dalam pandangan Hobsbawm benar-benar tak masuk akal. Bagaimana sebuah negara superpower dalam kurun waktu tertentu menjadi negara yang terpecah-pecah. Dan itu merupakan pertanda dari suatu perubahan sejarah yang maha besar. Dunia tidak pernah memperkirakan, tetapi harus menerima kenyataan.

Pecahnya Uni Soviet pada 1991 jauh lebih gawat daripada pecahnya Tsarist Rusia pada tahun 1918—1920 yang terbatas hanya pada daerah-daerah transkaukasia dan Eropa yang dikuasainya saat itu.

Nasionalisme dewasa ini, menurut Hobsbawm, mencerminkan suatu krisis ideologi. Banyak gerakan nasionalisme lama yang kuat dan gigih mulai sanksi mengenai kemerdekaan negara yang sebenarnya. Walaupun seandainya mereka mempertahankan tujuan separasi total dari negara yang saat ini merupakan negara mereka. Hobsbawm mencontohkan masalah Irlandia yang belum terpecahkan. Di satu sisi, Republik Irlandia yang merdeka, sementara memperoleh otonomi politik total dari Inggris—yang ditegaskan dengan sikap netral dalam Perang Dunia II—dalam prakteknya tidak menolak bekerja sama dengan Kerajaan Inggris.

Juga, nasionalisme Irlandia merasa sulit menyesuaikan dengan situasi di mana para warga negara Irlandia ketika berada di Inggris menikmati hak-hak terpisah dengannya, terbukti dengan nasionalisme ganda defacto. Sebaliknya kepercayaan kepada program klasik bagi adanya sebuah negara Irlandia merdeka dengan cepat telah mengendur. Demikianlah, maka barangkali baik Pemerintah Dublin maupun London akan sepakat bahwa ada baiknya kalau hanya terdapat satu negara Irlandia bersatu.

Namun, kebanyakan orang, bahkan di Republik Irlandia, akan melihat persatuan itu sebagai yang terbaik di antara sekian pemecahan yang buruk. Sebaliknya, jika Ulster dalam hal ini kemudian menyatakan merdeka dari Inggris maupun Irlandia, maka kebanyakan kaum Protestan akan melakukan penolakan.

Seperti dikemukakan Hobsbawm, "bangsa" dan "nasionalisme" bukan lagi merupakan istilah-istilah yang memadai untuk melukiskan, apalagi menganalisis, kesatuan-kesatuan politik yang seperti itu atau bahkan perasaan-perasaan yang pernah dilukiskan dengan kata-kata ini. Tidaklah mustahil bahwa nasionalisme akan mengalami kemunduran seiring dengan kemunduran bangsa-bangsa yang tanpa negara ini. Maka menjadi orang Inggris atau Irlandia atau Yahudi, atau gabungan dari kesemua ini hanyalah salah satu cara rakyat melukiskan identitas mereka di antara rakyat lain yang mereka gunakan tujuannya menurut keperluan di saat itu.

Adalah absurd untuk menyatakan saat seperti ini benar-benar sudah dekat. Namun, Hobsbawm berharap saat seperti ini setidak-tidaknya sudah dapat dibayangkan. Bagaimanapun kenyataan bahwa para sejarawan setidak-tidaknya telah mulai membuat sejumlah kemajuan dalam studi dan analisis mengenai bangsa dan nasionalisme yang menunjukkan gejala seperti sering terjadi. Fenomena bangsa dan nasionalisme sudah mulai menurun.

Imron Nasri
, Peminat masalah sosial, politik, dan keagamaan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Mei 2011

No comments: