INILAH pentas tari tradisional yang mengambil setting pada pertengahan abad ke-18, namun dibalut efek visual modern. Matah Ati yang digelar di teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada 13-14 Mei itu,bukan sebatas koreografi yang menawan, melainkan juga set panggung yang dibangun miring 15 derajat.
Sejumlah pemain mementaskan opera tari kolosal Matah Ati karya sutradara Atilah Soeryadjaya dengan penata artistik Jay Subyakto di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Kamis (13/5). Pentas tari dan musikal dengan konsep dasar seni tradisional Jawa ini menceritakan tentang cinta dan kekaguman ksatria dari Surakarta bernama Raden Mas Said kepada seorang gadis dari desa Matah bernama Rubiyah. Koreografi, set panggung, dan pencahayaan yang membalut jalinan kisah asmara dan heroik seorang ksatria menjadi daya pukau pementasan Matah Ati. Decak kagum pun mengiringi pertunjukan.
Desain panggung yang miring itu membantu penonton untuk melihat detail gerak penari dari segala sudut. Penari yang ada di deretan depan hingga belakang, semuanya terlihat dengan gemulai dan jelas. Ditambah electronic trap door di tengah panggung yang tiba-tiba bisa terbuka dengan bias sinar memancar–– tempat keluarmasuk penari dalam sebagian adegan. Matah Ati baru pertama ini dipentaskan untuk umum di Indonesia. Sebelumnya sendratari Matah Ati. Pentas perdana justru diselenggarakan di Teater Esplanade, Singapura, 22- 23 Oktober 2010. Setelah tampil di negeri orang,baru kali inilah, sutradara Matah Ati, Bandoro Raden Ayu (BRAy) Atilah Soeryadjaya, membawa pulang Matah Atike Indonesia.
“Sungguh saya senang sekali, karena pada akhirnya saya bisa pentas di Tanah Air,” kata Atilah. Berbeda dengan pentas di Singapura,dalam lakon ini,penata artistik Jay Subiyakto membuat penonton makin terperangah dengan langkahnya membuat panggung miring. Panggung ini memang menjadi kendala luar biasa bagi para penari. Menari dengan kemiringan 15 derajat dengan balutan baju tradisional Jawa jelas bukan pekerjaan mudah bagi para penari.Namun,di sinilah keunikan dan kelebihan dari pagelaran ini.Ketika 54 penari Jawa ini mampu menaklukkan tantangan Jay Subiyakto,hasilnya sungguh luar biasa. Artistik karya Jay benar-benar luar biasa. Belum lagi tambahan efek multimedia dalam background layar berukuran raksasa.
Dengan penampilan para penari, plus efek visual yang menawan, penonton seolahtengahdisuguhkanpertunjukan panggung tiga dimensi. Sendratari Matah Atidiangkat dari sebuah kisah nyata di Istana Mangkunegaran.Nyaris tidak ada dialog antarpemain dalam pertunjukan ini,kecuali sedikit celetukan dari penduduk dalam adegan 11 yang ceria dan penuh gelak tawa.Selebihnya banyak diisi oleh tarian dan langgam Jawa. Matah Atibercerita tentang sosok Rubiyah, seorang gadis dari Desa Matah yang mencintai dan kagum akan seorang ksatria yang dikenal keberaniannya melawan penjajahan, Raden Mas Said.
Cinta, kekaguman, dan gejolak dalam perang mewarnai sendratari Matah Ati ini. Cerita ini merupakan bagian dari kisah nyata yang terjadi pada pertengahan abad ke-18.Saat itu ksatria dari Surakarta, Raden Mas Said atau dikenal sebagai Pangeran Sambernyowo, banyak dikagumi oleh penduduk. Salah satunya Rubiyah. Saat sedang arak-arakan berlangsung, Raden Mas Said justru bersirobok dengan Rubiyah, penduduk asli desa Matah. Dalam penglihatan Raden Mas Said, Rubiyah memancarkan sinar dari tubuhnya, yang membuat Raden Mas Said kepincut. Kekaguman akan sosok inilah yang mendorong Raden Mas Said semakin bersemangat untuk menolong rakyatnya. Dari sinilah spirit Raden Mas Said berkobar menegakkan kebenaran.
Kala Raden Mas Said melakukan tapa brata, lagi-lagi sosok Rubiyah bahkan ada dalam bayang-bayangnya. Hingga sukma Raden Mas Said keluar dari tubuhnya dan menari bersama gadis itu. Hingga kemudian,saat adegan nonton wayang di Desa Matah, Rubiyah pun terlelap.Dalam tidurnya, pesona Rubiyah tetap terpancar.Tatkala Raden Mas Said melintas, ia pun meninggalkan ikat kepala, sebagai perlambang ketertarikan hati terhadap sang gadis. Dari sinilah Rubiyah semakin yakin, dambaan hatinya akan datang kembali dan meminang Rubiyah.Ketika terjadi kemelut peperangan, Rubiyah pun ikut memimpin barisan perang lewat Laskar Matah Ati yang ia pimpin.
Hingga akhirnya, pasukan Rubiyah pun berhasil ikut menghalau prajurit VOC. Cinta sejati keduanya pun pada akhirnya terwujud dalam bingkai pernikahan yang sakral. Dalam kisah nyata,Rubiyah diangkat menjadi Bandoro Raden Ayu (BRay) Matah Ati, sedangkan Raden Mas Said mendapat gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenagoro I. Dari Bray Matah Ati-lah turun para penguasa Istana Mangkunegaran. Kisah heroik dan percintaan ini menjadi kisah yang menarik dalam koreografi yang pimpinan Bandoro Raden Ayu Atilah Soeryadjaya.
Sebuah semboyan yang sangat dikenal pada pertengahan abad ke-18 kembali didengungkan dalam pagelaran yang penuh penonton. Sebuah semboyan yang menggelorakan. “Tiji Tibeh, Mati Siji,Mati Kabeh…” “Mukti Siji,Mukti Kabeh... (sofian dwi)
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 15 Mei 2011
No comments:
Post a Comment