-- Hardi Hamzah
MEMBANGUN watak bangsa atau nation character building kerap kita dengar dari para founding father kita. Berbeda dengan era pergerakan, membangun watak bangsa lebih bersifat populis dan lebih mengena di hati rakyat karena kebangsaan sebagai suatu nilai perjuangan dihimpun dalam terminologi nasionalisme.
Nasionalisme sebagai paham telah merajut semangat perjuangan antara rakyat dan pemimpin. Maka, jadilah nasionalisme sebagai instrumen perjuangan paling strategis. Dengan pekik merdeka atau mati, ini menandai bahwa nasionalisme telah mengkristal sejak era 1930-an sampai prakemerdekaan. Berbeda dengan sekarang, membangun watak bangsa telah bergeser arahnya. Untuk itulah tulisan ini dibuat.
Pemahaman nation sebagai suatu unsur terpenting untuk membawa masyarakat untuk berjuang, sesungguhnya dimulai dari beberapa tokoh pergerakan mendirikan organisasi atau himpunan. Dr. Anhar Gonggong mencatat kemunculan Boedi Oetomo 1908, sebelum muncul SDI pada 1905, adalah fenomena rasa percaya diri dan mulai mengkristalnya solidaritas kebangsaan.
Kendati Anhar Gonggong tidak mencatat itu sebagai embrio, penulis meyakini bahwa apa pun pergerakan, himpunan atau organisasi yang muncul pada awal abad ke 20 itu, jelas merupakan embrio bagi terakumulasinya kekuatan nasionalisme lanjutan dalam bentuknya yang lebih riil. Berdirinya PNI pada 4 Juli 1927, dan beberapa partai lainnya di bawah komando tokoh-tokoh pergerakan, tentu merupakan pengejawantahan dari semakin menguatnya nasionalisme itu.
Kini, setelah kebangkitan nasional berusia 103 tahun, apa yang dapat dilihat dari perspektif jangka panjang di era globalisasi dewasa ini? Pertanyaan yang sekaligus pernyataan itu sukar untuk menjawabnya, tetapi dinamika internal kebangsaan di setiap negara memaksa kita untuk menjawab pertanyaan plus pernyataan tersebut.
Nasionalisme di era globalisasi selalu saja berbenturan dengan pemahaman yang keliru, baik dalam konteks nasionalisme maupun dalam konteks globalisasi. Keduanya tampak berjalan sendiri-sendiri. Sejarawan Dr. Taufik Abdullah melihat ada kesamaan yang dapat dipadukan antara nasionalisme dan globalisasi.
Nasionalisme, menurut sejarawan itu, lebih banyak mengembangkan nilai internal, seperti budi pekerti, keyakinan terhadap kesamaan pluralisme, dan kesatuan visi dalam memandang ideologi. Sementara globalisasi lebih banyak membangun transformasi nilai-nilai baru yang bisa saja berbenturan sehingga melahirkan implikasi negatif.
Kalau kita sepakat dengan asumsi di atas, tuntutan paling mutlak untuk mempertahankan nasionalisme yaitu kesadaran para pemimpin bangsa ini untuk mengaktualisasikan nilai-nilai yang relevan dengan integritas internal. Para pemimpin di seluruh jajaran dituntut ntuk mengaktualisasikan nilai-nilai lama, seperti kearifan lokal, menghidupkan kembali api ideologi, dan memahami pluralitas tanpa reserve.
Lebih jauh lagi, para elite politik di seluruh lini harus berkehendak membangun suasana yang transformatif bagi seluruh anak bangsa, yakni menekankan bahwa globalisasi yang tak tertolakkan tidak bisa hanya dibangun dan dikembangkan melalui jargon politik, tetapi ia harus ditumbuh kembangkan melalui frame work yang penetrasinya melampui rasionalitas seluruh anak bangsa, ini berarti titik tekannya, kita harus bermuara pada visi well educated.
Standar dan pilar penyangga paling arif bagi tumbuh dan berkembangnya nasionalisme di era globalisasi, selain meluruskan kembali pemahaman para pemimpin terhadap nilai-nilai yang telah disinggung di muka, lebih jauh lagi bila muaranya well educated yang merupakan tuntutan globalisasi.
Formula yang patut ditumbuh kembangkan adalah menghayati naturalisme bangsa dan memaknai etnisitas perkotaan secara lebih baik. Menghayati naturalisme bangsa adalah suatu upaya menggalakkan tradisi, budaya, dan berbagai aspek yang menyangkut pariwisata. Namun, upaya ini tidak didasarkan oleh semangat seremoni semata, sebagaimana yang dilakukan beberapa daerah, di mana tradisi, kebudayaan, dan prawisata bukan komoditas yang dieksploitasi untuk kemeriahan temporer.
Sementara memaknai etinisitas perkotaan, bukan masyarakat kota dibangun melalui industrialisasi dan pabrik pabrik, melainkan juga harus dimaknai sebagai etnisitas dengan wahana kehidupan yang mampu mereduksi kemiskinan di perkotaan. Artinya, para pemimpin dan atau para pembuat kebijakan harus mampu menjadi pilar penyangga dari ruang publik perkotaan melalui teknologi dan komunikasi. Lebih jauh lagi, para pemimpin dimaksud mampu menyelaraskan antara masterplan perkotaan, tingkat mortalitas, dan fertilitas dalam struktur demografi dan perubahan struktur geografis.
Model pembangunan nasionalisme kini memang telah berbeda. Era reformasi yang mengusung banyak permasalahan yang simultan pula membawa kekuatan baru melalui lembaga, seperti KPK, MK, KY, dan hidupnya berbagai LSM serta pers, pastilah membawa implikasinya sendiri. Namun, apabila era reformasi dikuatkan oleh kemampuan para pemimpin mewujudkan “ideologi baru”, yakni “ideologi well educated”, ruang lingkup pembangunan watak bangsa akan lebih luas lagi.
Dalam kaitan ini, penulis melihat ada sepuluh strategi penting untuk memperjuangkan nasionalisme dan atau watak bangsa di era tergerusnya semangat nasionalisme. Pertama, berdiri atas nama rakyat. Kedua, kearifan lokal harus tetap terjaga. Ketiga, pluralitas merupakan kekuatan. Keempat, ideologi Pancasila adalah harga mati. Kelima, seluruh institusi meletakkan dasar pedagogis pada setiap geraknya.
Keenam, perkawinan antara nasionalisme, rakyat, dan globalisasi harus ditata melalui penegakan hukum. Ketujuh, interaksi sosial dalam dimensi trias politika bukan sekadar angin lalu. Kedelapan, para pemimpin harus lebih tegas dan jauh dari keragu-raguan. Kesembilan, peran audio visual menjadi pertimbangan yang mutlak. Kesepuluh, kenyataannya kita harus kembali seperti era tujuh puluhan, anak didik pada tingkat SD—SMP bahkan SMA diwajibkan untuk mencintai dan memahami ideologi dan lagu-lagu kebangsaan.
Hardi Hamzah, Staf Ahli Mahar Foundation
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 21 Mei 2011
No comments:
Post a Comment