-- Bandung Mawardi
SEJARAH itu belum terlampau jauh dari ingatan, masih terang untuk dibeberkan dan dikenangkan. Soeharto menoreh sejarah, 21 Mei 1998. Pengunduran diri sebagai presiden memberi lega, peristiwa ganjil dari seruan mengubah Indonesia. Sejarah pun melintasi kita dengan euforia dan angan tentang nasib (kekuasaan) Indonesia.
Sosok Soeharto terlalu lama mendefinisikan Indonesia, mencipta kepatuhan ideologis, dan mengurung rakyat dalam bahasa, senyum, dan bedil. Kita mengenangkan sosok Soeharto, pembawa suluh Orde Baru, sebagai manusia fenomenal dan kontroversial.
Kita bakal mengenangkan Soeharto melalui jejak-jejak pembacaan sebelum dan usai kejatuhan Orde Baru. Seorang kritikus sastra, A. Teeuw (1994), melakukan pembacaan dan analisis tekstual atas Pidato Kenegaraaan 1988 oleh Soeharto. Pidato ini mengandung pandangan atas berbagai kebijakan rezim, representasi dari kekuasaan untuk menginformasikan dan menjelaskan segala ihwal kondisi Indonesia. Soeharto membacakan pidato sebagai simbol penguasa, penentu nasib, dan pemegang otoritas politik.
Soeharto menampilkan diri dalam olah bahasa, peristiwa membacakan pidato, dan penghadiran ekspresi tubuh. Bahasa dalam pidato menandai politik linguistik dan sebaran makna, mekanisme untuk mengendalikan, menertibkan, dan kontrol kekuasaan. Bahasa dijadikan kunci, pusat dari selebrasi politik. A Teeuw malah menganggap pembacaan pidato oleh Soeharto menentukan kondisi Indonesia, bergerak antara kelisanan dan keberaksaraan. Bahasa dan isi pidato itu baku tapi ada tendensi-tendensi bahwa politik Indonesia mengalir dalam kultur lisan. Ihwal ini kerap dimunculkan oleh sosok Soeharto. Keberaksaraan belum utuh jadi pusat dari pendefinisian Soeharto dan Indonesia.
Pembacaan itu berbeda dengan nalar-imajinasi anak-anak saat menuliskan surat dan puisi untuk Soeharto. Kita bisa membuka ulang dokumen teks itu dalam buku Anak Indonesia dan Pak Harto (1991) dan Surat dan Puisi Anak-Anak untuk Pak Harto (1992). Dua buku menghimpun ratusan surat dan puisi anak-anak dari berbagai penjuru daerah di Nusantara, dieditori G. Dwipayana dan S. Sinansari Ecip. Teks-teks ini mengandung kenaifan, pengultusan, kelakar, dan ketakutan. Segala kesan terasakan dalam racikan bahasa dan suguhan muatan pesan di tulisan.
Seorang bocah asal Cianjur, T. Ganda Sugito, menuliskan surat pendek tapi impresif. Ia memanggil Soeharto dengan kata “kakek”, sapaan akrab dan familiar. Pilihan kata ini menandai sosok Soeharto melekat dan mendekam pada diri anak-anak. Soeharto adalah teladan, idola, pujaan. Kita simak sepenggal puisi Orang Besar (23 September 1985) dari bocah itu untuk si kakek: Ada seorang anak petani yang bernama Soeharto./ Dia anak yang berkemauan keras dan sangat berbakti pada orangtua./ Karena tekadnya yang kuat dan jiwanya yang telah diisi iman yang kuat pula./ Dia dapat mencapai cita-cita yang diinginkannya. Sosok presiden masa Orde Baru itu sihir untuk anak-anak. Mereka pun membahasakan kagum dengan lugu dan mengesankan.
Bahasa anak, nalar-imajinasi anak kadang menggemaskan dan mengejutkan. Pembacaan dan pengisahan mereka terhadap Soeharto mungkin dipengaruhi oleh indoktrinasi di sekolah, televisi, atau partai. Hal ini tidak mengurung dalam definisi tunggal karena mereka masih bisa membelok dengan fantasi (imajinasi) dan bahasa khas anak-anak. Simaklah nukilan surat Monita Olivia asal Riau: “Kok Bapak pinter amat, sih, sehingga Bapak diberi nama Bapak Pembangunan. Saya sih bodoh.” Pernyataan ini begitu enteng, cair, dan kontras. Si bocah mengabaikan formalitas bahasa kendati sosok Soeharto adalah pengajur dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pemujaan atas Soeharto itu pintar dan pengakuan diri sebagai anak bodoh adalah kontras keluguan, representasi beraroma politis.
Kita mengenangkan itu kala Orde Baru menebar pengaruh politis melalui bahasa, imajinasi, ekspresi. Anak-anak menerima sebagai suatu narasi besar, menerima imperatif dalam kelembutan dan kelaziman. Politik bergerak halus, kekuasaan diresapkan dengan santun, pemitosan Soeharto disuguhkan sebagai pikat biografis. Membaca ulang puisi dan surat mereka jadi notalgia historis untuk pengisahan Soeharto, dokumen atas penggalan sejarah Orde Baru. Kita menerima pengisahan itu seolah Orde Baru bersih dari sangkaan dan kritik.
Pengisahan itu adalah jejak lama. Kita bisa membandingkan dengan pembacaan mutakhir melalui analisis psikologis melalui pidato tanpa teks, pembacaan untuk menguak kepribadian Soeharto dalam ekspresi tubuh dan bahasa. Niniek L. Karim dan Bagus Takwin dalam tulisan Di Balik Senyum Sang Jenderal (2000) mengartikan Soeharto sebagai manusia langka. Soeharto dianggap memainkan politik simbol secara intensif, memberi makna-makna politis melalui ungkapan: inkonstitusional, tidak Pancasilais, tidak sesuai kepribadian bangsa, atau mengancam stabilitas bangsa. Produksi ungkapan ini adalah senjata untuk menampik protes, kritik, dan perlawanan atas berbagai kebijakan Orde Baru. Teror untuk rakyat disimbolkan juga dengan "senyum (sinis) sang jenderal". Indonesia, kala itu, terdefinisikan dalam produksi bahasa dan senyum.
Sejarah Soeharto masih disusun sampai hari ini. Kita pun masih mengenangkan, membaca kisah-kisah Soeharto. Pengisahan Soeharto memang mozaik, menghadirkan fakta dan imajinasi di segala lini. Sosok ini memang legendaris, pusat narasi kekuasaan selama puluhan tahun. Kita membuka lembaran-lembaran lama dan menanti narasi baru atas pengisahan Soeharto. Pembacaan kritis dan reflektif bakal memberi terang tentang misteri dan aib Orde Baru. Kita juga bakal bisa memunguti hikmah, secercah "kebaikan" dan kebermaknaan Soeharto untuk sejarah kekuasaan di Indonesia. Begitu. n
Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Mei 2011
No comments:
Post a Comment