-- Mohamad Fauzi Sukri
KITA terjebak dalam zaman uang. Sebuah zaman di mana segala-galanya dari, demi, dan untuk uang. Dua sisi mata uang mengimpit kehidupan kita tanpa bisa mengelak: Kemakmuran dan kemungkaran termanifestasi dalam watak uang.
Dari para ekonom kita mengetahui arti penting uang dalam kehidupan kita. Saat Adam Smith mengeluarkan bukunya yang masyhur The Wealth of Nation, 1776 atau 235 tahun yang lalu, dia mengusulkan penggantian uang logam dari perak atau emas jadi uang kertas untuk memperlancar jalannya perekonomian. Smith sangat mengandalkan uang untuk proyek pasar bebas dan utopia masyarakat bersahabatnya (the friendly society), meskipun tidak seekstrem kaum moneteris dalam menyikapi uang.
Pemikiran Smith ini didukung oleh John Stuart Mill dalam pengantar bukunya Principles of Political Economy yang terbit pertama kali tahun 1848. Mill menulis bahwa uang adalah kekuasaan yang dimiliki seseorang agar ia dapat memperoleh apa yang ia inginkan, konsep utilitarianisme.
Kemudian, kita juga melihat arti penting uang dalam pemikiran ekonomi makro dari John Maynard Keynes dalam buku The General Theory of Employment, Interest and Money yang terbit tahun 1936. Uang adalah mesin raksasa yang akan mengggerakkan perekonomian suatu bangsa yang sedang krisis. Secara umum, para ekonom berpandangan optimistik tentang uang, termasuk Karl Marx. Kita bisa membuat kesimpulan: kemakmuran, kedaulatan, dan keruntuhan negara berada dalam lembaran uang.
Manusia Uang
Sekarang, uang begitu dominan dan hegemonik dalam kehidupan kita. Tak seorang pun yang bisa mengelak kehadiran uang, dari manusia pertama kali lahir sampai kelak mati. Kehidupan kita berjalan di atas jalur lembaran uang. Uang telah menjadi ego-diri manusia sekarang.
Uang adalah manifestasi paham utilitarianisme. Tapi jauh melebihi yang dipikirkan oleh ekonom utilitarianisme Jeremy Bentham, guru Mill, yang mengatakan bahwa semuanya bisa diukur dengan uang. Sekarang, uang adalah roh kehidupan masyarakat. Masyarakat sudah menganggap bahwa seakan-akan mereka bisa mati tanpa uang. Kencing saja harus bayar apalagi yang lain. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Semua ada harganya.
Uang menjadi tujuan tertinggi laku hidup dan bekerja. Ini adalah semacam aksioma yang tidak perlu dibuktikan. Orang bekerja bukan untuk beramal, beribadah, melakukan aktivitas kemanusiaan, atau katakanlah kerja untuk kerja. Tapi kerja untuk mencari uang. Uang menjadi hewan perburuan dan medan petualangan massal manusia sekarang, tapi semacam hobi absurd pengoleksi uang kuno.
Dalam dunia pendidikan, manusia mencari uang bukan ilmu apalagi kearifan akal-budi. Semua jurusan di perguruan tinggi adalah jurusan uang. Tujuan pertama-tama pendidikan adalah bagaimana supaya kelak bahkan sejak sekarang bisa mudah mendapatkan uang. Orang tua begitu dominan mengarahkan anaknya supaya masuk jurusan yang bisa memudahkan mencari uang. Nalar uang mengalahkan nalar kependidikan, kearifan, dan kemanusiaan.
Kita memasuki zaman uang di mana manusia tidak hanya mata duiten, tapi juga manusia yang berhati uang, dan manusia yang berpikiran uang yang pada akhirnya mendeterminasi perilaku manusia. Maka lahirlah puluhan bahkan mungkin ratusan uang: uang politik, uang kritik, uang taktis, uang dengar, uang hadir, uang diam, uang tutup mulut, uang keamanan, uang gosip, uang pengertian, uang pujian, uang cinta, uang demonstrasi, uang keadilan, uang lelah, uang dengar, uang penghargaan, uang malas, uang sedekah, uang tebusan, uang korupsi, belum lagi nama-nama uang yang dihadirkan oleh ilmu ekonomi, perbankan, dan uang-uang lainnya.
Mala Uang
Dari zaman uang dan manusia uang lahir mala uang. Di mana pun dipakai, uang bisa menjadi perantara dari hal yang berlawanan, menjungkirbalikkan kepribadian dan memaksa hal-hal yang bertentangan untuk dirangkul.
Skandal gelap politik uang, skandal suap di bank sentral, pembobolan bank atau ATM, korupsi di mana-mana yang tiada henti, muslihat akuntansi, penggelapan dana nasabah, penyuapan berbagai instansi penegak hukum, pencucian uang, permusuhan, pembunuhan, dan seterusnya. Semua ini seperti cerita seribu satu malam yang tidak pernah menemui ujung akhir cerita.
Mala uang yang mengemuka sekarang ini adalah buah dari internalisasi persepsi-ideologis kita terhadap uang. Terjadi radikalisasi gawat dalam diri bangsa ini untuk memuja-muji uang secara fanatik tragis. Tanpa uang, rumah tangga, negara, partai politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan, kemanusiaan bisa hancur dan runtuh. Atau, dengan uang semua itu barangkali bisa diselamatkan dan diutuhkan.
Kita terjerembap dalam sebuah zaman yang selalu menuntut legalitas dan utilitas segalanya melalui/dengan uang. Tak salah jika kita mengatakan, uang sebegitu kuat merasuk-menguasi manusia: Daulat uang! Hal ini karena adanya kesadaran akut akan kekuasaan uang. Uang memiliki logika kekuasaan yang sangat ampuh: sejumlah uang mampu untuk mendapatkan kekuasaan; kekuasaan akan menghasilkan uang lagi; dan uang itu untuk memproteksi kekuasaan, mengendalikan kekuasaan, mengokohkan kekuasaan, dan pada akhirnya mengekalkan kekuasaan.
Ini didukung oleh watak uang dan sistem peruangan dalam kehidupan kita. Uang memiliki watak khas, seperti dikatakan Karl Marx, yang mampu “menerobos setiap rintangan alami dan tantangan moral”. Uang sangat bersifat abstrak yang memungkinkannya untuk menjadi sekadar angka-angka di sebuah proposal proyek pembangunan, nota pembelian, cek perjalanan, angka digital di anjungan ATM atau komputer, dan seterusnya. Sifat abstrak ini memungkinkannya memiliki mobilitas yang sangat tinggi. Berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, bahkan antarnegara dan antarbank yang terkadang tidak bisa dikontrol oleh otoritas keuangan satu negara.
Dalam diri uang tersimpan epidemi kemungkaran dan kebusukan manusia. Tapi, seperti dua sisi mata uang, juga tersimpan kebaikan dan kemakmuran bangsa. Uang sebagai solusi yang ilusif?
Mohamad Fauzi Sukri, Bergiat di Bale Sastra Kecapi dan Pengajian Senin, Solo
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 28 Mei 2011
No comments:
Post a Comment