-- Aryo Wisanggeni G
BANDUNG, yang terlihat hari ini dengan seabrek wisata belanja dan kuliner di pusat kota yang lapang dan rindang, tidak lahir di tempatnya sekarang berdiri.
Bandung lahir dan tumbuh di tepian Sungai Citarum, di sebuah kawasan yang kini menjadi areal industri. Kawasan yang kini dipadati warga yang hidup di antara puing sisa banjir bandang itu terlupakan seperti nasib sungainya.
Di bawah atap rumah kayu yang tidak lagi berdinding, Dadan (14) mencongkel endapan lumpur di sela lunas perahu sepanjang 2 meter. Erik (16) dan belasan temannya membantu dengan mengguyurkan air dan membersihkan cat putih yang mengelupas di kulit perahu kayu selebar sekitar 1 meter, bantuan dari Palang Merah Indonesia dan Uni Eropa.
Senin (25/4) itu mendung mengintip, mengisyaratkan banjir. Desa Citeureup, salah satu desa di Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, yang berjarak sekitar 11 kilometer dari pusat Kota Bandung, memang langganan banjir.
Gara-gara banjir begitu kerap terjadi, para pemuda Citeureup terlatih mengevakuasi sendiri warga. ”Kami semua terbiasa mendayung perahu,” kata Erik bangga.
Ia menuangkan adukan batu apung dan kemenyan ke lumpang di depan Ricky (19). Adonan pakal yang sudah ditumbuk Ricky lalu disaring Dadan. Pakal yang sudah disaring akan dicampur tumbukan serat karung goni kemudian dicampur minyak tanah menjadi adonan penambal perahu.
Perahu bocor itu baru sekitar setahun ada di Dayeuhkolot. Namun, warga RW 14 Desa Citeureup, seperti Kustiani (49), sudah tiga kali dievakuasi perahu itu. ”Saat Lebaran tahun lalu, orang batal berlebaran,” ujar Kustiani menunjuk garis bekas banjir setinggi hampir 2 meter di dinding rumahnya.
Dayeuhkolot, yang berarti ”kota tua”, terletak di tepian Sungai Citarum, persis di muara Sungai Cikapundung yang mengalir dari Kota Bandung. Pertemuan dua sungai itulah yang menjadi lokasi ibu kota Bandung yang didirikan Tumenggung Wiraangun-angun pada abad ke-18 dengan Kerapyak sebagai pusat pemerintahan.
Perpindahan Bandung dari Kerapyak ke lokasi sekarang diuraikan Haryoto Kunto dalam bukunya, Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung yang sekarang berdiri di lokasi Gubernur Jenderal Daendels menancapkan tongkat kayunya di Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), menandai Kilometer Nol Bandung.
Surat Daendels bertanggal 25 Mei 1810 memerintahkan bupati kelima Bandung, Bupati Wiranatakusumah II, memindahkan Bandung dari Kerapyak ke pinggir Jalan Raya Pos. Sejak itu ”Bandung baru” menggeliat menjalani sejarahnya. Kerapyak bersalin nama menjadi Desa Citeureup dan kawasan ibu kota ”Bandung lama” menjadi Dayeuhkolot.
Banjir ”isi ulang”
Dengan status tanah serba tak jelas, Dayeuhkolot dan Citeureup tumbuh menjadi pemukiman semipermanen, tempat kontrak, dan tempat indekos para pekerja pabrik di tepian Sungai Citarum. Namun, abrasi tepian Citarum pun menghebat dan terus menggerus lahan di Desa Citeureup.
Nandang ”Bogel” (46), mantan pemain klub sepak bola Bandung Raya, mengenang, 10 tahun lalu tepian sungai Citarum masih berjarak 15 meter dari halaman depan rumahnya. Akan tetapi, kini tepian sungai hanya berjarak sekitar 4 meter dari halaman. Tanah kelahiran Bandung kian habis tergerus Citarum.
”Saya sudah beberapa kali memindahkan bengkel kerja tas olahraga di belakang rumah karena terus dikejar air pasang,” ucap Nandang, yang pada Senin tengah memasang genteng di bengkel kerja barunya, yang menempel dinding belakang rumah.
Di sebelah rumahnya ada puing rumah Ustaz Dudun, yang tinggal menyisakan dinding beton, kusen, dan pelat nomor rumah, 179. Ada puluhan puing berlumpur lain, yang ditinggalkan para pemilik ataupun pengontraknya.
”Jarang ada lagi karyawan pabrik memondok di Citeureup. Pekerja pabrik malas tinggal di daerah banjir isi ulang,” ujar Kustiani gemas.
Sejarah Kerapyak pun tersapu Citarum. ”Kerapyak? Di mana ya? Saya tidak pernah mendengar ada tempat bernama Kerapyak,” kata Dadan bingung.
Lalu apa yang mereka bayangkan tentang arti Desa Citeureup bagi urang Bandung? ”Banjir. Semua orang Bandung tahu Desa Citeureup di Dayeuhkolot langganan terkena banjir,” kata Erik tertawa.
Citeureup bukan satu-satunya permukiman di tepi Sungai Citarum yang kerap diterjang banjir. Sejak puluhan tahun silam, desa dan kelurahan di Kecamatan Bale Endah juga kerap kebanjiran sehingga Bale Endah batal menjadi ibu kota baru bagi Kabupaten Bandung, yang didirikan kembali dari pemekaran Kota Bandung pada 1974. Namun, warga menjadi saksi betapa sejak 2005 banjir terjadi tiap kali hujan.
”Ketika belum tahu sejarah Kerapyak, saya pasrah dengan banjir dan hanya berpikir bagaimana kami menyelamatkan diri dan warga tiap kali banjir datang. Ketika mempelajari sejarah Kerapyak sekitar setahun terakhir, saya tak habis pikir mengapa orang abai terhadap banjir Sungai Citarum,” ujar Budi Lesmana (35), Ketua Sub Karang Taruna Kerapyak Wibawa Mukti RW 14.
Memindah banjir
Penulis Bandung Purba sekaligus anggota Masyarakat Geografi Indonesia, T Bachtiar, mencatat beberapa pola pengelolaan Sungai Citarum justru memperparah banjir di tanah ”luluhur Bandung”. Dinding beton di beberapa lokasi tepian Sungai ”selokan” Cikapundung membuat air hujan yang turun di Bandung langsung bermuara di Dayeuhkolot tanpa proses peresapan.
”Sejumlah pelurusan Sungai Citarum juga menambah kecepatan arus sungai sehingga setiap hujan di Gunung Wayang sebagai hulu Citarum akan lebih cepat bermuara ke Dayeuhkolot. Cara pikir dalam mengatasi banjir di Bandung adalah mengeringkan genangan secepat mungkin, padahal itu berarti memindahkan banjir ke tempat lain. Itu yang terjadi di Citeureup dan Dayeuhkolot,” ujar Bachtiar.
Hujan yang mengguyur Bandung pada Selasa (26/4) malam membuat ”banjir isi ulang” kembali menggenangi Citeureup hingga setinggi pinggul sepanjang Rabu pagi.
”Ah, ini bukan apa-apa. Kalau hanya sepinggul, tidak ada warga yang perlu dievakuasi,” kata Nandang tertawa meski ia terpaksa memindahkan bengkel kerjanya ke loteng darurat di samping rumahnya.
Di tengah banjir itu, Wahyu Permana (48) tetap tenang mengukir lengan dan tangan wayang golek Semar dan Petruk garapannya di dalam rumahnya. ”Semar itu tokoh tumaritis, seperti mahadewanya, ibaratnya yang punya suwarga itu Semar. Akan tetapi, tahun lalu Semar kebanjiran di Citeureup bersama satu golek pesanan dalang. Memang tak ada lagi sisa kebesaran Kerapyak di sini,” katanya.
Sumber: Kompas, 1 Mei 2011
No comments:
Post a Comment