Monday, May 02, 2011

Membuang Karya Ilmiah "Sampah"

-- Lusia Neti Harwati

DON'T publish rubbish! (Jangan terbitkan 'sampah!') Judul tulisan ini sering kali saya anggap seperti bisikan malaikat ke telinga saya. Mengapa? Dengan mengingat dan merenungkan kata-kata ini, saya berharap tidak akan terjerumus untuk menambah jumlah tulisan ilmiah 'sampah' yang tampaknya sering terindikasi selama ini.

Bagi yang berprofesi sebagai dosen pasti tidak asing dengan kata-kata tersebut. Don't publish rubbish meng-ingatkan kita akan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian. Di samping mendidik, mengajar serta mengabdi kepada masyarakat, meneliti menjadi salah satu dharma yang harus dilakukan oleh seorang akademisi.

Pada momen peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei ini kiranya tepat apabila kita, para dosen dan peneliti, melakukan mawas diri, menjaga integritas dengan tidak ikut-ikutan memproduksi karya ilmiah 'sampah'.

Bila seorang akademisi ingin diakui eksistensinya, meneliti dapat menjadi salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut. Kegiatan penelitian dapat berupa penulisan makalah untuk dipresentasikan di konferensi atau seminar, penulisan artikel di jurnal ilmiah, dan masih banyak lagi.

Penelitian bagi kalangan akademisi juga merupakan sarana untuk mendapatkan reward. Dengan melakukan kegiatan penelitian, ia berkesempatan mendapat nilai tambah sebagai syarat untuk naik ke jenjang karier berikutnya.

Adakah reward dalam bentuk lain? Jawabannya adalah 'ada', berupa insentif.

Insentif ini biasanya menjadi 'motivator' handal bagi akademisi untuk melakukan penelitian. Memang tidak dapat dipungkiri, insentif menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi (hampir) semua orang.

Meskipun demikian, ada kemungkinan bahwa peran insentif berubah total. Ia tidak lagi menjadi 'motivator' tetapi justru menjadi tujuan akhir penelitian. Bila hal ini terjadi, kegiatan penelitian tidak lagi berfungsi sebagai media untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tetapi memperkaya diri seorang akademisi secara materi.

Ketika insentif menjadi tujuan akhir penelitian, segala cara akan dihalalkan oleh seseorang mulai dari menjiplak karya orang lain atau menulis secara asal-asalan. Kemungkinan terburuk adalah orang tersebut sekedar menulis nama diri di sampul laporan akhir hasil penelitian sebagai bentuk kontribusi. Ia menumpang penelitian rekan sejawat yang mungkin juga tidak memiliki kompetensi memadai dan dengan senang hati menjadi penolong. Alhasil, bukan penelitian berkualitaslah yang dihasilkan.

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk membentengi diri agar tujuan akhir sebuah penelitian tidak melenceng? Ibarat motto dalam bahasa Jawa, Gelemo obah ojo wegah (Jangan malas, bergeraklah). Intuisilah yang harus digerakkan. Dengan melatih diri untuk selalu peka terhadap sebuah fenomena maka intuisi akan terlatih untuk merumuskan masalah dan mencari pemecahannya.

Cara lain yang bisa dilakukan adalah meminta bantuan kolega yang dianggap mampu untuk menjadi reviewer. Ketika menjadi mahasiswa, para pengajarlah sebagai reviewer tulisan kita. Kontrol yang ketat dari dosen menjadi salah satu alternatif agar kita tidak tergelincir dan menghasilkan sebuah penelitian yang kurang berkualitas. Di saat posisi kita menjadi akademisi dan tidak ada lagi pengontrol, berdiskusi dan meminta pendapat kolega bisa menjadi pilihan untuk menjaga kualitas penelitian kita.

Sebenarnya fenomena kurang atau bahkan tidak berkualitasnya sebuah penelitian dapat juga disebabkan oleh faktor lain yang bukan sepenuhnya kesalahan si penulis.

Pertama, ketika hibah penelitian bersifat lokal (ada di unit kerja seorang akademisi). Meskipun ada proses blind peer review untuk menyeleksi tulisan yang masuk, ada kemungkinan anggota tim penyeleksi memiliki perasaan sungkan untuk menolak hasil karya kolega. Akhirnya, tulisan yang kurang berbobot pun diloloskan.

Kedua, beberapa jurnal ilmiah di Indonesia mengharuskan kontributor untuk membayar sejumlah uang bila karyanya ingin dimuat. Memang, proses seleksi untuk memutuskan layak tidaknya sebuah tulisan untuk dimuat, pasti ada. Namun demikian, ketat tidaknya proses tersebut, hanya mereka yang bertugas sebagai penyeleksilah yang tahu. Kondisi ini juga memungkinkan seorang kontributor berpikir, "Karena saya sudah membayar, apa pun yang saya tulis pasti dimuat."

Lalu, menjadi tanggung jawab siapakah sebenarnya bermutu atau tidak bermutunya sebuah penelitian? Mungkin jawaban ini terkesan klise tetapi benar adanya. Mereka yang berkecimpung di ranah pendidikanlah penanggung jawab utamanya. Dunia pendidikan bukanlah dunia yang mandiri tetapi dunia kerja sama. Mereka yang bergelut di dalamnya memiliki tanggung jawab yang sama untuk memajukan bidang ini.

Tulisan ini bukanlah imajinasi semata melainkan refleksi dari situasi di sekitar. Tidak juga bertujuan untuk menggurui atau bahkan mengahakimi tetapi sebagai self criticism sekaligus self reflection. Sekarang, pilihan ada di tangan kita, apakah ingin menjadi a true scholar atau sekedar a producer of rubbish. ***

Lusia Neti Harwati, alumnus Flinders University Australia, dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang.

Sumber: Suara Karya, Senin, 2 Mei 2011

No comments: