-- Putu Fajar Arcana
…Tresna sejati menika kasetyan
Wujud pangurbanan
Nadyan cekak yuswa
Drenging nala nedya ambabar kabagyan
Sebuah mahakarya terbaru bertajuk Savitri karya Retno Maruti dipentaskan dalam rangka memperingati 35 tahun Kelompok Tari Padnecwara di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (29/4). Savitri yang merupakan perpaduan gaya tari Solo dan Yogyakarta ini mengisahkan tentang arti kesetiaan dan kekuatan cinta sejati. (Kompas/Priyombodo)
Savitri menembangkan dialog itu untuk menjawab ucapan Rsi Kaneka, yang mengabarkan calon suaminya Satyawan tak akan berumur panjang. Sang Rsi ingin agar Savitri mengurungkan niatnya menikah dengan putra raja Dyumatsena, yang terbuang di hutan karena kalah perang.
Ungkapan Savitri tadi berarti: cinta sejati adalah kesetiaan/wujudnya adalah pengorbanan/meski pendek usia/tekad hatiku tetap akan menjalin kebahagiaan/. Retno Maruti selalu menyuguhkan seni klasik Jawa dalam pengertian yang sangat utuh. Pergelaran ”Savitri” yang berlangsung Sabtu (30/4) dan Minggu (1/5) di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) sekali lagi memperlihatkan hal itu.
Maruti tak hanya menciptakan tarian yang bersumber dari tarian sejenis bedhayan, tetapi juga menjalin dialog-dialog para pelakonnya dalam bentuk tembang yang disebut langendriyan. Pementasannya selalu menjadi opera Jawa klasik dengan pakem tari, gending, dan tembang ketat, dan oleh sebab itu menuntut kesetiaan yang ”keras kepala”.
Dalam satu kesempatan saya bertanya, ”Mbak Utik,” demikian saya biasa memanggilnya, ”Sadarkah jika Anda termasuk orang yang keras kepala?”
”Ya, siapa lagi di Jakarta ini yang mau menguri-uri, merawat kebudayaan Jawa. Padahal, di situ banyak sekali terpendam harta filosofi yang bermanfaat untuk menjalani hidup di masa sekarang…,” kira-kira begitu jawaban Maruti. Ia sama sekali tidak menampakkan wajah kaget dituduh ”keras kepala” karena langsung paham maksud saya.
Perempuan bernama Savitri dalam kisah ini adalah personifikasi dari makna kesetiaan sejati. Ia tahu Satyawan kalah perang dan terbuang, ia juga tahu calon suaminya itu hanya punya sisa usia 12 bulan. Bahkan ketika nyawa Satyawan benar-benar dicabut oleh Batara Yamadipati (malaikat pencabut nyawa), Savitri tetap mengejarnya ke alam sunya (sepi). Di situ kesetiaan bersisian maknanya dengan ”keras kepala”, bukan?
Benar memang kemudian Yamadipati hanya menguji kesetiaan Savitri. Dan ia dinyatakan lulus. Satyawan kembali hidup. Selesai sampai di situ? Tentu tidak. Personifikasi Savitri berbingkai sampai kepada peciptanya: Retno Maruti!
Sejak 1976 Maruti mendirikan kelompok tari Jawa bernama Padnecwara di Jakarta. Dan tahun ini kelompok yang sebagian besar anggotanya perempuan, itu sudah berusia 35 tahun. Satu masa yang panjang bagi perjalanan sebuah kelompok tari klasik Jawa di kota urban seperti Jakarta. Di balik semua itu lagi-lagi ada seorang Retno Maruti. Bukankah itu juga sepadan dengan kesetiaan Savitri?
Rendah hati
Tidak mudah membuat komitmen mengurus kelompok kesenian tradisi di sebuah wilayah seperti Jakarta, yang melesat jadi wilayah urban kota. Maruti tidak hanya dituntut berkreasi menggali kekayaan Jawa lalu mempresentasikannya dalam bentuk pementasan. Dan pementasan itu harus dibahasakan sesuai dengan tuntutan hidup masyarakat kota yang serba sibuk, penuh dinamika dan keinginan. Akan tetapi, Maruti juga mengerjakan hal-hal teknis produksi, seperti mengetuk hati para maecenas dan berbagai perusahaan agar turut serta memberi ”sumbangan” hidup kepada seni Jawa itu. Tak segan ia, biasanya ditemani penari Nungki Kusumastuti, menyambangi para pimpinan perusahaan untuk mengetuk hati mereka.
Pekerjaan mahabesar yang menuntut kerendahhatian seorang maestro seperti Maruti. Hebatnya, ia tidak merasa sedang merendahkan dirinya saat-saat harus berbicara soal ongkos produksi. Dan itu, ia lakukan bersama para perempuan pencinta sejati kebudayaan Jawa (yang hidup di Jakarta) dari tahun ke tahun, sampai sekarang kelompok itu berusia 35 tahun! Bukankah itu cukup jadi tanda bukti kesetiaan itu?
Sebagaimana Savitri, Maruti dan Padnecwara tak akan berhenti. Mereka akan terus berjalan, ada atau tidak ada dukungan. ”Mungkin ini wujud dari pengabdian kami terhadap negeri ini,” kata Maruti. Nungki Kusumastuti menambahkan, ”Kalau bukan menggali sumber tradisi, lalu ke mana lagi kita mencari…,” katanya puitis. Keringat masih membayang di dahinya seusai menari.
Tampaknya tradisi rendah hati untuk melipatgandakan kekuatan kesetiaan itulah yang menghilang dari hidup kita sekarang. Savitri memang hanya kisah klasik yang dibungkus dalam epos besar Mahabarata. Akan tetapi, nilai kesetiaan kepada negara, komitmen untuk mencintai dengan darah, serta tekad untuk menegakkan kebersamaan, tentu harusnya tidak berubah. ”Nilai ini yang barangkali mulai terkikis, terdistorsi atas nama kepentingan golongan dan pribadi,” tutur Maruti.
Sebuah pesan mendalam. Barangkali kita harus berhenti melihat kesenian hanya sebatas penghiburan di saat duka. Seni harus kita perlakukan sebagai sumber nilai. Hanya dari situ kita bisa menghargai tradisi dan sastra sebagai cikal-bakal peradaban….
Sumber: Kompas, 1 Mei 2011
No comments:
Post a Comment