-- Linda Sarmili
FILM Indonesia yang banyak beredar di sejumlah bioskop di tanah air, adalah gambaran hidup Indonesia. Keberadaannya terus semakin maju, tetapi juga disisi lain ada yang semakin mundur.
Terus terlihat maju jika dilihat bahwa dari tahunh ke tahun tingkat konsumsi masyarakat penonton terus meningkat. Hal ini, bisa terjadi, tentu saja akibat dari kemajuan teknologi.
Tapi, kenapa ada yang mengalami kemunduran? Semakin mundur dikarenakan berbagai sebab. Salah satu diantaranya karena kenyataannya budaya film di Indonesia belum berhasil menampilkan gerak kehidupan yang sehat, cerdas, kreatif, produktip dan kaya warna. Padahal kenyataan budaya yang hidup di tanah air, warna kebudayaan Indonesia sangat berwarna warni.
Para pembaca tentu bisa melihat sendiri, betapa warna kebudayaan masyarakat Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatera, semuanya memiliiki ciri dan kekhasan yang menarik, bukan? Tetapi apakah kenyataan yang berwarna-warni itu sudah terwakili dalam maraknya peredaran film Indonesia sekarang ini?
Sebagai media modern, film sangat potensial berfungsi sebaai media apresiasi, informasi dan yang terutama dan lebih penting lagi, dalam kaitan menyeimbangkan kesejahteraan dan harmoni kehidupan bangsa, film sebagai media literasi bagi masyarakat dalam mengapresiasi, menginterpretasi, mengolah dan kemudian memproduksi secara kreatif-ekspresif.
Hari ini, kita melihat di Indonesia, komunitas film bermunculan di mana-mana. Ini adalah suasana yang menyegarkan. Suasana yang bisa diharapkan mampu memberi banyak masukan positif, mampu memberi banyak jalan pintas agar dunia perfilman Indonesia tampil lebih menarik dan lebih berbudaya. Maraknya nama-nama komunitas film di berbagai tempat bisa juga disebut hujan emas.
Tapi, harus disadari, hujan emas itu bisa saja berubah menjadi hujan batu. Bisa begitu jika cara pandang dan sepak terjang kita dalam mengelola perfilman tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.
Apalagi banyak diantara pecinta film yang tergabung dalam komunitas film Indonesia tidak menyadari bahwa sesungguhnya film bukan saja menyangkut persoalan ketrampilan meniru, membuat, akan tetapi juga ketrampilan menonton dan memeliharanya.
Kedai Film Nusantara (KFN) adalah konsep jejaring bioskop digital 100 kursi di seluruh Indonesia yang dimiliki oleh komunitas di masing-masing daerah di mana Kedai Film Nusantara berada. karena itu, keberadaan KFN akan selalu berbasis komunitas; sastra,seni pertunjukan, industri kerajinan dan berbagai komunitas dari berbagai ketrampilan soaial lainnya.
Dengan demikian, keberadaan Kedai Film Nusantara di berbagai daerah bisa diharapkan akan membangun komunitas (community development) untuk menumbuhkan penonton (audence building).
Bioskop Kedai Film Nusantara memiliki dua fungsi yang bisa disebut sebagai segment siang dan segment malam. Segment siang adalah KFN Siang Hari yang berfungsi sebagai layar bagi karya film non komersial yang berasal dari para penggiat film di sekolah, kampus, sanggar dan pemerintah daerah, bersifat gratis.
Pada segment malam, layar KFN Malam Hari yang berfungsi sebagai ajang pemutaran film-film komersial dengan menjual tiket masuk kepada masyarakat penonton.
Apa fungsi berkumpulnya komunitas kedal film nusantara itu? Tentu saja banyak. Bagi Kedai Film Nusantara sendiri membangun budaya film adalah membangun budaya secara keseluruhan. Bagi Kedai Film Nusantara film bukanlah sekadar persoalan seni dan industri semata, karena bagi Kedai Film Nusantara film adalah pendidikan, bahasa, ilmu pengetahuan, politik, filsafat, sastra, psikologi, dan masih banyak lagi ilmu lain yang bisa dipelajari dari sebuah film.
Di kedai film nusantara itulah unsur budaya bertemu dan bercengkerama untuk menghasilkan jutaan botol energi budaya yang akan menggerakkan detak jantung dan mengalirkan darah ke seluruh sendi-sendi karakter bangsa.
Tak anehlah jika saat ini banyak Kedai Film Nusantara menargetkan program kerjanya maju secara sighnifikan. Ada kedai film nusantara yang menargertkan dalam sepuluh tahun ke depan akanberdiri sebanyak seribu KFN di seluruh pelosok tanah air. Jika saja rencana kerja itu terwujud, maka KFN-KFN di seluruh negeri akan menjadi etalase budaya yang tidak akan beku dan dingin. Sebaliknya kehadiran banyak KFN akan membuat suasana menjadi riuh rendah oleh kegairahan serta persaingan sehat masyarakat dalam rangka menghasilkan karya-karya seni budaya dan film nasional yang kualitasnya diakui berbagai pihak.
Jika saja program kerja itu terwujud, maka itu berarti impian menciptakan masyarakat Indonesia yang memiliki jatidiri berkarakter dan senantiasa kokoh dan gagah, baik secara sendiri-sendiri, terlebih lagi secara bersama-sama, telah terpenuhi.
KFN menang akan muncul di kampus-kampus dan dimiliki oleh kampus sebagai intrepreneurcampus dan berfungsi sebagai ajang olah ketrampilan bagi para mahasiswa sekaligus tali budaya pengikat dunia kampus dengan dunia luar.
Selain itu, KFN juga akan muncul di pondok pondok pesantren sebagai jawaban bersama dengan para ulama. Dengan niat yang ikhlas dan focus akan menjadikan pesantren sebagai laboratorium dan pelatihan hidup para santri. Sehingga para santri kelak akan terus semakin tampil dan terampil menyongsong kemajuan zaman dengan ilmu, iman dan takwa, agar pesantren tidak hanya menjadi entitas eksotik yang relasinya dengan bangsa selalu terjebak pada kesamar-samaran fungsinya.
Dan pada saatnya nanti Kedai Film Nusantara akan menjadi mitra banyak radio dan sejumlah stasiun televisi di daerah-daerah.
Pasti Fedai Film Nusantara selain memiliki bioskop digital 100 kursi dalam ruang khusus, juga memiliki panggung yang disebut mini teater. Di kedai film nusantara semua produk khas yang berkualitas ada, mulai dari beragam jenis kue kering, jajanan khas,kerajinan, pertunjukan, presentasi, orasi.
Itu semua berarti KFN adalah rumah kreatif bagi siapa saja yang ingin maju dan berprestasi dalam bidang seni budaya dan perfilman. Hanya orang-orang bodoh saja yang akan memandang kehadiran KFN sebagai lembaga hura-hura.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 14 Mei 2011
No comments:
Post a Comment