Sunday, May 08, 2011

Keragaman Berbuah Keikaan

LAKON Sangkala 9/10 menghadirkan pertikaian yang bersumber pada perbedaan etnis. Namun, di ujung kisah konflik itu justru menghasilkan rasa persaudaraan dan kerukunan. Setelah sukses dengan pertunjukkan Cinta Dasima dan Doel, IANTA kembali memainkan teater. Digelar di Teater Jakarta 6–8 Mei 2010, Ikatan Abang None Jakarta ini mencoba memainkan lakon yang diambil dari kisah nyata. Lakon Sangkala 9/10 merupakan kisah yang diambil dari sejarah kelam Batavia pada masa VOC 1740.

Sejumlah pemain teater Sangkala 9/10 dari Ikatan Abang None Jakarta (IANTA) mementaskan sandiwara musikal betawi yang bertajuk" Sangkala 9/10" di Teater Jakarta,Taman Ismail Marzuki , Jakarta, Jumat, (6/5). Pergelaran sandiwara musikal betawi yang ketiga kalinya ini di gelar padal 6-8 Mei 2011, yang mengangkat setting tragedy bersejarah pembantaian etnis Tionghoa oleh pemerintah Kolonial Belanda pada 9 Oktober 1740.


Cerita yang diadopsi dalam cerita pembantaian etnis Tionghoa oleh Belanda,saat senja 9 Oktober (Sangkala 9/10) ini penuh dengan adegan heroik dan mengusung kepekaan sosial yang tinggi. Kisah diawali dengan metafor dua orang yang tengah mengayuh sampan,dalam tata artistik yang menawan.Set panggung layar ukuran besar, dengan gambar senja memerah, lalu hilang ditelan malam. Lalu,setting berganti di sebuah tembok luar Batavia yang juga merupakan kampung warga Tionghoa.

Di sinilah keluarga Hong Jian melakukan aktivitasnya. Istri-istri warga etnis Tionghoa ini memasak, mencuci, membuat ramuan obat hingga membikin mi. Sementara, suaminya berlatih kungfu yang dipimpin langsung oleh Hong Jian,kakak tertua. Mereka cemas. Pasalnya, Belanda, penguasa pemerintah saat itu,sedang merencanakan niat untuk menghilangkan etnis Tionghoa di Batavia.VOC merasakan perekonomian mereka merosot tajam setelah hadirnya etnis Tionghoa ini di tanah Batavia.

Sehingga, pemerintah inlander saat itu,merencanakan niat jahat untuk membasmi warga Tionghoa,sebagai satu-satunya jalan untuk menaikkan perekonomian dan menguasai Nusantara. Sementara di sudut lainnya, warga asli Betawi juga diminta Pemerintah Belanda untuk membantu mereka. Diwakili oleh Bang Madi, salah satu tokoh masyarakat Betawi. Bang Madi menerima undangan Belanda untuk menghadiri makan siang, termasuk mencoba menghasutnya agar mau bekerja sama.

Namun, Bang Madi tidak mempan hasutan Belanda.Bahkan, Bang Madi meminta Said, anak semata wayangnya,untuk mencoba mencari tahu kejadian sesungguhnya, mengapa Belanda hendak membantai etnis Tionghoa. Di sinilah menariknya kisah ini.Pertemuan Said dengan Lily,anak Hong Jian, justru membuahkan romantika cinta berbeda etnis. Bahkan,berkat Said pula,Bang Madi jadi mengetahui bahwa etnis Tionghoa tidak bersalah, dan justru etnis Tionghoa ini membela dan mencintai Batavia.

Akhirnya,persekutuan pun terjalin antara Betawi dan etnis Tionghoa guna melawan Belanda. Berbeda, bukan berarti tak perlu dibela. Kisah ini bertambah heroik, manakala keterlibatan dua insan yang saling jatuh cinta. Perjuangan Said bersama warga Tionghoa melawan penjajah serta upaya menyatukan cinta dua budaya di tengah konflik menjadi kekuatan utama dalam pertunjukkan kali ini.

Sangkala 9/10 yang dimainkan oleh Ikatan Abang None Jakarta (IANTA) merupakan pertunjukan kali ketiga.Sebelumnya IANTA pernah memainkan lakon Cinta Dasima (2009) dan Doel (2010).Keduanya mencatatkan sukses, dengan banyaknya penonton yang hadir dan puas dengan pertunjukkan yang digelar. “Pada pertunjukan ketiga ini kami total menggali dan menunjukkan seluruh talenta yang dimiliki oleh Abang None Jakarta.

Hingga kemudian tercipta lakon Sangkala 9/10 dengan kemasan drama kontemporer yang menarik dan menggelitik,” tegas produser Sangkala 9/10Maudy Koesnaedi. Dalam lakon Sangkala 9/10 pertunjukkan digelar selama 2,5 jam. Lakon ini memang terasa sedikit berat, barangkali kesan yang berat ini,kemudian mencoba mereka siasati dengan menambahkan unsur drama musikal agar terasa lebih ringan.Sayangnya kemasan ini tidak didukung oleh penulisan naskah yang efektif.

Jalan cerita masih terasa lamban dan banyak adegan tak perlu justru dimasukkan dalam naskah Sangkala 9/10. Pergantian set panggung yang memakan waktu lama untuk sebuah pertunjukkan teater juga berkesan membosankan. Bahkan, dalam beberapa adegan, dialog antarpemain tidak jelas, terdengar seperti gumaman. Untunglah dalam pertunjukan kali ini, set panggung dibuat lebih megah daripada lakon Doel tahun lalu.

Pun demikian, IANTA menggandeng berbagai elemen seni dalam pertunjukkan mereka. Salah satunya yang cukup membantu adalah hadirnya Bayang Pasir Orchestra (BPO) yang dimainkan oleh Fauzan Ja’far. Fauzan Ja’far memberikan kesan artistik yang memukau dengan kepiawaian Fauzan membuat bayangan pasir yang ditampilkan dalam layar ukuran raksasa di atas panggung. Penggunaan medium multimedia dan adanya gambar senja yang memerah, bayang pasir, dan gambar pembantaian dalam siluet yang indah, memberi kesan artistik tersendiri pada pertunjukkan ini. (sofian dwi)

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 8 Mei 2011

No comments: