-- I Nengah Suandi
WACANA profesionalisme guru tampaknya tidak pernah selesai untuk dibicarakan lebih-lebih dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang guru (Bab I, Pasal 1) jelas dan tegas menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, mengevaluasi peserta didik pada anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Terkait dengan pendidik profesional, Westly Gibson dalam Rindjin (1991:8) mengatakan bahwa ciri-ciri profesionalisme itu antara lain (1) masyarakat mengakui layanan yang diberikan atas dasar dimilikinya seperangkat ilmu dan keterampilan yang mendukung profesi itu; (2) diperlukan adanya proses pendidikan tertentu sebelum seseorang dapat atau mampu melaksanakan tugas profesi tersebut; (3) dimilikinya mekanisme seleksi standar sehingga hanya mereka yang kompeten boleh melakukan pekerjaan atau profesi itu; dan (4) dimilikinya organisasi profesi untuk melindungi kepentingan anggotanya serta meningkatkan layanan kepada masyarakat termasuk adanya kode etik profesi sebagai landasan perilaku keprofesionalannya.
Dalam upaya mewujudkan guru profesional, PPRI No. 19 Tahun 2005 (pasal 28 ayat 3) tentang Standar Pendidikan Nasional menyatakan bahwa guru diharapkan memiliki empat kompetensi. Pertama kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan guru untuk mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi. Kedua kompetensi kepribadian, yaitu kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Ketiga kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara meluas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Keempat kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, semua pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali, dan masyarakat umum.
Mengapa Guru Harus Menulis?
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai keempat kompetensi tersebut, khususnya kompetensi profesional dan kompetensi pedagogik adalah menulis. Menulis merupakan sebuah keterampilan berbahasa. Sebagai sebuah keterampilan berbahasa, keterampilan menulis tidak bisa dipisahkan dari tiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu keterampilan membaca, keterampilan berbicara, dan keterampilan menyimak. Keempat keterampilan berbahasa itu bersifat kronologis. Artinya keterampilan menyimak atau mendengarkan merupakan keterampilan pertama dan utama yang dilalui setiap orang ketika hendak memperoleh bahasa pertamanya. Keterampilan menyimak ini kemudian diikuti oleh keterampilan berbicara (ngomong), keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Karena sifatnya yang kronologis itu, muncul pandangan bahwa keterampilan menulis merupakan puncak keterampilan berbahasa dan sangat dipengaruhi/ditentukan oleh tiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Makin banyak pengalaman orang dalam menyimak, berbicara, dan membaca, maka keterampilan menulisnya semakin meningkat. Hal ini mudah dipahami karena keterampilan menulis itu sendiri pada hakikatnya merupakan muara dari ketiga keterampilan berbahasa lainnya.
Masalahnya sekarang adalah belum tentu orang yang banyak menyimak, banyak berbicara, dan banyak membaca akan banyak menulis. Biasanya, orang lebih mudah dan lebih suka ngomong/berbicara daripada menulis. Namun, ketika aktivitas menulis itu akan dan sedang berlangsung, seseorang merasa terpanggil bahkan dituntut untuk melakukan ketiga keterampilan berbahasa lainnya terutama membaca dan menyimak pembicaraan yang bersifat keilmuan.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan bahwa bukan hanya keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca memmengaruhi keterampilan menulis, tetapi keterampilan menulis itu sendiri secara tidak langsung juga memengaruhi ketiga keterampilan berbahasa sebelumnya. Salah satu keterampilan yang paling dipengaruhi adalah membaca. Artinya sebelum ada tuntutan menulis, ada kalanya seseorang enggan, malas, atau tidak ada minat sama sekali untuk membaca, tetapi demikian ada tuntutan menulis, seseorang mulai terpanggil untuk membaca sumber-sumber bacaan yang terkait. Banyak pengalaman menunjukkan, misalnya, ketika menugasi guru membuat sebuah proposal PTK (Penelitian Tindakan Kelas) sehubungan dengan pelatihan PTK yang diselenggarakan oleh instansi terkait, guru-guru secara spontan menanyakan tentang di mana mereka dapat memperoleh sumber bacaan yang relevan dalam upaya mewujudkan tugas proposalnya. Munculnya pertanyaan ini ke permukaan menunjukkan bahwa adanya tuntutan menulis membuat guru terpanggil untuk membaca.
Kegiatan menulis, mau tidak mau, menuntut guru untuk banyak membaca. Harefa (2007:61) menegaskan bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Hal ini dapat diartikan semakin sering orang menulis, semakin banyak aktivitas membaca yang dilakukan. Semakin banyak aktivitas membaca yang dilakukan, semakin luas wawasan berpikir seseorang. Karena pentingnya peranan membaca, tidaklah berlebihan jika ada orang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang warganya gemar membaca.
Prof.Dr. I Nengah Suandi, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
Sumber: Bali Post, Senin, 8 Mei 2011
No comments:
Post a Comment